Dengan sedikit malas, Yusuf membuka pesan masuk dari Shafira. Lelaki itu merasa benar-benar kecewa dengan apa yang dilakukan istrinya di kafe tadi siang.
Wanita itu telah menyia-nyiakan kepercayaannya selama ini. Ia tak menyangka Shafira akan bermain cinta lain di belakangnya.
Tak lama kemudian, masuk satu pesan lagi berupa voice note yang berisi suara seseorang yang dikenal. Ya, suara Shafira, Rina, dan lelaki di kafe itu terekam semua di sana. Yusuf mengusap gusar wajahnya. Dia telah salah paham pada Shafira. Ternyata wanita itu tidak seburuk yang ia pikirkan.
"Astagfirullah, aku sudah salah paham padanya. Cemburu telah membutakan mata dan hatiku. Aku harus segera meminta maaf padanya," batin Yusuf.
Lelaki itu beranjak dari duduknya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berniat meminta maaf pada Shafira. Ini semua terjadi, karena cintanya yang begitu besar atau ego-nya yang tinggi, sehingga membuat dirinya cemburu buta seperti ini.
Yusuf tak mengerti dengan apa yang terjadi. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, baru kali ini ia tak percaya pada sang istri. Ada perasaan takut kehilangan yang begitu besar pada dirinya. Entah karena benar-benar takut Shafira pergi, atau karena memang sadar diri telah mengkhianati.
Yusuf bergegas keluar kamar. Pikiran lelaki itu dalam keadaan kalut. Ia merasa berdosa telah memfitnah istrinya, dan tak memberi kesempatan untuk menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya.
Yusuf mempercepat langkah. Ia ingin segera sampai di kamar Shafira, dan langsung meminta maaf padanya. Menghapus jejak air mata dan mengukir senyum indah di bibir ranumnya, lalu memeluk tubuh ramping wanita itu tanpa melepaskannya kembali.
Ketika beberapa langkah lagi menuju pintu kamar Shafira. Lelaki itu berpapasan dengan Almira. Wanita itu langsung menarik lengan Yusuf, lalu menatapnya dengan penuh selidik.
"Kamu mau ke mana, Mas? Jangan bilang kalau kamu mau ke kamar Mbak Shafira. Ingat, Mas! Malam ini jatahmu tidur di kamar sendiri."
Yusuf mengusap gusar wajahnya. Lelaki itu melirik sejenak ke arah pintu kamar Shafira. Tidak ada tanda-tanda wanita itu akan keluar kamar. Kalau ia tetap memaksakan diri menemui Shafira, maka harus siap-siap akan adanya perang dunia ke-10.
Yusuf mengembuskan napas kasar. Mungkin besok pagi, lelaki itu baru bisa meminta maaf pada Shafira. Ia tak bisa membayangkan wanitanya menangis semalaman karena perasaan bersalah. Namun, jika dipaksakan juga percuma, Almira tidak akan membiarkannya masuk menemui istri pertamanya itu.
Lelaki itu memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia tidak ingin menambah masalah baru lagi dengan istri keduanya. Yusuf mengacak rambutnya frustrasi, ternyata memiliki dua istri itu tidak semudah yang ia bayangkan.
"Mas, aku tidak bisa tidur. Boleh tidak, kalau aku tidur se-kamar denganmu!" teriak Almira.
Yusuf menghentikan langkahnya. Lelaki itu memejamkan mata sejenak. Tidak! Ia harus berusaha adil pada kedua istrinya. Apalagi masalah dengan Shafira belum selesai. Jika malam ini ia membiarkan Almira tidur sekamar dengannya, maka selain menjadi masalah baru, malam-malam selanjutnya Almira akan mengulangi permintaan yang sama.
Yusuf berbalik menghadap Almira. "Tidur di kamarmu saja! Malam ini jatahku tidur sendiri. Lagi pula, aku sedang banyak masalah. Jadi, tolong, jangan menggangguku!"
"Bukankah Mas Yusuf tadi mau ke kamar Mbak Shafira? Mungkin juga Mas akan tidur di sana, kalau seandainya tidak tepergok olehku?"
"Iya, tadi aku berniat ke kamarnya, tapi bukan untuk tidur di sana, melainkan untuk memastikan saja kalau Shafira sudah tidak menangis lagi," jawab Yusuf.
"Mbak Shafira sudah berhenti menangis dari tadi kok. Bahkan, tadi kudengar ia sedang teleponan dengan lelaki lain."
Yusuf kembali memejamkan mata. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, kalau apa yang dikatakan istri keduanya itu tidak benar. Ia tidak ingin kembali berburuk sangka pada Shafira. Cukup satu kali, ia melakukan kesalahan fatal pada istri pertamanya itu.