Tenth Course: Vegetables (I)

5.3K 849 118
                                    

Vegetables (Inggris) atau Legumes (Perancis) adalah sajian dari bahan dasar sayur yang disajikan bersama saus. Sajian yang biasanya berupa umbi-umbian, tapi bisa juga berupa sayuran lainnya yang bukan termasuk dalam salad. Sajian ini dapat berdiri sendiri, maupun digabungkan dengan menu-menu utama seperi entrée, joint atau roast.

Hampir sebulan setelah wawancara bersama Krisan, hari ini Kayra sudah sejak pagi mengingatkanku untuk mampir ke tukang koran untuk membeli sebanyak-banyaknya majalah tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir sebulan setelah wawancara bersama Krisan, hari ini Kayra sudah sejak pagi mengingatkanku untuk mampir ke tukang koran untuk membeli sebanyak-banyaknya majalah tersebut. Padahal tanpa diingatkan aku juga sudah memasang alarm untuk memastikan aku mendapatkan copy majalah tersebut. Aku bahkan meminta Gia untuk membeli beberapa eksemplar majalah untuk diberikan pada setiap pelanggan yang sarapannya kami sajikan hari ini. Lagipula, hari ini juga merupakan hari terakhir pelayanan Breakfast in Bed sebelum aku mengambil cuti sementara. Dapur yang akan dipindahkan dan diperbesar menggunakan ruko yang kami sewa tempo hari di area gedung apartemenku akan jadi urusan Kayra dan Gia selama aku menikmati beberapa hari libur untuk meluruskan kaki setelah hampir setahun tak pernah libur.

Rencananya setelah menyelesaikan semua antaran sarapan, aku akan langsung ke rumah Kayra untuk membahas tentang pembukaan kembali Breakfast in Bed setelah liburanku usai dan dapur selesai dipindahkan. Well, sebenarnya tidak banyak barang dari apartemenku yang dipindahkan kecuali beberapa peralatan masak, tapi tempat masak yang tadinya di apartemenku akan menggunakan tempat baru. Di ruko yang kami sewa tersebut juga rencananya aka nada ruang kerja untuk aku dan Kayra, juga ruang rapat kecil, tapi secara keseluruhan kantor kami tetap akan berbentuk dapur, bukan kafe. Kami tetap hanya menyediakan makanan untuk diantar ke rumah-rumah pelanggan, seperti konsep awal bisnis kami.

Aku membawa mobil masuk ke sebuah townhouse asri bergaya Bali. Satpam di pos jaga memberitahu alamat tujuanku, letaknya di ujung townhouse dan berhadapan langsung dengan taman bermain. Aku selalu menyukai konsep rumah tinggal bergaya townhouse. Tetangga yang jumlahnya tidak terlalu banyak, juga akses dan penjagaan yang biasanya lebih ketat dari perumahan besar membuatku merasa lebih aman. Hanya saja, untuk sementara waktu aku memilih untuk tetap tinggal di apartemen, sampai uangku cukup untuk membeli rumah nyaman sesuai impianku. Kuhentikan mobil di depan rumah pojok, ada pohon Kamboja yang menghiasi halaman depan rumah tersebut. Rumah itu tak jauh berbeda dengan rumah-rumah lain yang kulihat sebelumnya, memiliki satu pintu masuk berukiran Bali dengan patung batu yang menjaga di kanan-kirinya.

Aku bergegas meraih satu majalah dari kursi belakang, lalu mengambil tasku, dan bergegas menurunkan kotak-kotak makanan dari bagasi. Pesanan yang dibuat oleh pemilik rumah ini adalah Cheesy Italian Breakfast Bowl untuk dua orang. Resep ini sudah pernah beberapa kali aku berikan pada klien sebulan belakanga, dan mendapat tanggapan yang sangat menyenangkan. Penyajiannya yang tidak merepotkan juga menjadi pertimbanganku saat menguji coba resep ini.

"Pagi, Mbak. Mau mengantar sarapan, ya?"

Seorang perempuan paruh baya muncul saat aku menutup bagasi mobil. Aku sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba, tapi buru-buru memasang senyum ramah.

"Betul. Ini rumah Mr. Odin, betul?" tanyaku.

"Iya, betul. Silakan ikut saya."

Perempuan itu berbalik dan melangkah mendahuluiku menuju pintu utama, kemudian berbaik hati menahan pintu saat aku hendak memasuki ruangan.

"Terima kasih," ujarku. "Dapurnya di sebelah mana, ya? Lalu sarapannya mau disiapkan di mana, Bu?"

"Sebelah sini," ujar perempuan itu sambil mengarahkanku menuju dapur. "Alat makannya pakai yang ada di sini saja."

"Kalau begitu saya perlu dua piring, dua gelas, dan dua set sendok, garpu, dan pisau roti, Bu," sahutku.

Perempuan itu meletakkan barang-barang yang kubutuhkan di meja dapur, kemudian juga menyiapkan sebuah nampan besar untuk aku membawanya.

"Kata Tuan, nanti sarapannya minta tolong disajikan di halaman belakang. Dia sudah menunggu."

"Oh, baik."

Sejujurnya aku jadi sedikit merasa bersalah karena sarapan ini mungkin diantar agak terlambat dari jadwal sarapannya sampai-sampai klienku harus menunggu. Karena itu aku segera menata sarapan ke atas piring, menuangkan jus apel ke dalam gelas, lalu meletakkan semuanya di napan. Tidak lupa aku meletakan satu buah majalah Krisan di sisi nampan, dan mengambil beberapa foto untuk kukirimkan pada Kayra.

"Saya antar makanannya dulu, Bu," ujarku seraya mengantongi kembali ponselku. "Saya titip barang-barang saya di sini dulu."

"Iya, Mbak. Saya juga mau ke atas, nyuci dan nyetrika. Kalau nanti sudah selesai dan mau pulang pintunya dirapatkan saja."

Aku mengangguk paham, kemudian berlalu bersama nampan besar di tanganku. Entah kenapa langkahku menuju halaman belakang terasa sangat berat. Padahal hampir setahun belakangan ini aku sudah melakukan hal yang sama ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali. Kenapa yang satu ini terasa begitu mendebarkan?

Pria yang disapa dengan panggilan Tuan oleh sang asisten rumah tangga itu sedang duduk di dalam pendopo kecil yang terletak di dekat kolam renang. Posisi duduknya yang membelakangi pintu keluar halaman membuatku tidak bisa mengamati sosoknya dari kejauhan. Pria itu hanya terlihat menggunakan kaus berwarna putih dan tengah disibukkan dengan laptop di hadapannya.

"Permisi, saya mau mengantarkan sarapan pagi," ujarku saat sudah berada di dekat pendopo.

"Hai, Blanca. Akhirnya sarapanku datang juga."

Pria itu menutup laptop, lalu memandangku dengan senyum paling mempesona yang pernah kutemukan di sepanjang hidupku. Sedangkan aku hanya bisa terpaku sambil menjaga agar nampan di tanganku tidak segera mencium tanah.

"Ini pesanan kamu?"

Pria itu mengangguk. Aku buru-buru meletakkan nampan di atas meja, lalu menyajikan makanan di hadapannya.

"Wah, edisi terbaru Krisan terbit hari ini? Kamu sudah baca? Suka nggak sama hasil fotonya?"

Jantungku berdegup kencang.

Tuhan, kenapa harus ada pria sepertinya di atas muka bumi ini?

Tampangnya memang enak di pandang, tapi dia jenis laki-laki paling berbahaya dan paling kuhindari. Sudah cukup aku merasakan patah hati beberapa kali di masa lalu. Aku juga bukan perempuan bodoh yang tidak bisa membedakan pria baik-baik dan playboy cap kodok. Lalu, kenapa harus pria maca mini yang kutemukan di usiaku yang sudah terlalu matang ini?

"Belum sempat baca. Tadi hanya beli beberapa sebelum mengantar sarapan," jawabku.

"Berarti kamu bisa baca sambil nemenin aku sarapan. Yuk, kita sarapan bareng." Pria itu menggeser posisi duduknya dan menyimpan laptop di ujung pendopo.

"Saya ... Aku ... Cuma mengantar sarapan."

"Aku pesan sarapan untuk dua orang, buatku dan kamu."

Aku mengerjap tak percaya. Namun, anggukannya yang mantap membuatku tak mungkin menangkap arti yang berbeda.

"Aku tahu ini pesanan terakhir yang kamu antar hari ini. Artinya kamu masih punya waktu untuk sarapan bersamaku sebelum rapat dengan partner bisnismu. Kayra, kan, namanya?"

 Kayra, kan, namanya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Breakfast in BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang