Sorbet (Inggris) atau Sorbet (Perancis) adalah makanan yang disajikan sebagai jeda antar menu. Sorbet digunakan sebagai penawar menu sebelumnya, dan menyegarkan selera makan untuk menu yang disajikan setelahnya. Sorbet disajikan dalam gelas-gelas dan memiliki rasa yang segar.
Aku mengempaskan tubuh ke sofa setelah meletakan tas di meja. Televisi yang menyala di hadapanku menayangkan siaran ulang Hell's Kitchen dan memperlihatkan muka merah Gordon Ramsey yang sedang mengamuk pada salah seorang peserta. Kondisi di dapur memang kerap kali intens, tak jarang menjadi semakin panas saat waktu kian mendesak, tapi aku tidak pernah membayangkan bekerja dengan makian yang diteriakkan langsung ke kuping. Mungkin aku beruntung karena masuk ke dalam dunia perdapuran lewat bisnisku sendiri, bukan menjadi juru masak yang berada di bawah kendali chef galak. Aku bisa kena strok kalau setiap hari ketemu bos yang hobi maki-maki kayak dia.
Bunyi ponsel membuatku kembali tersadar dari bayangan kehidupan dapur restoran yang mengerikan. Aku meraihnya dari dalam tas. Nama Kayra tercantum di sana, membuatku segera menekan tombol hijau.
"Hai, Ra," sapaku.
"Jadi gimana si Priam?" tanyanya tanpa basa-basi.
Ya, kami memang jarang berbasa-basi. Pertemanan yang terjalin selama bertahun-tahun membuat kami cukup sadar untuk menghindari basa-basi busuk yang tak perlu. Hanya saja kali ini aku sangat berharap Kayra mau sedikit berbasa-basi perihal pesan yang kukirim sebelumnya, bukan malah langsung membahas makan malam permintaan maaf dengan pria yang bikin hatiku gonjang-ganjing.
"Gimana apanya?" Aku balas bertanya.
"Ya menurut lo dia gimana? Ganteng, nggak? Baik, nggak? Cocok nggak masuk daftar calon pacar idaman?" goda Kayra. "Gue tadi sempet kepoin Instagram dia, ternyata dia lumayan rajin posting menu makanan dari kita, loh. Mukanya juga enak dipandang sih kalau gue liat-liat."
"Apaan sih, Ra. Gue tuh nyuruh lo nelepon gue cuma mau bahas panci presto, bukan mau ngebahas Priam."
"Menurut gue sih, kayaknya dia cocok deh buat elo," lanjut Kayra yang masih terus saja membahas pria itu. "Udah gitu lo tinggalnya satu tower, gampang banget buat ketemuan. Kayak lagu dangdut, 'pacarku memang dekat... satu lantai dari rumah'."
Kalau saja Kayra ada di sini, mungkin aku sudah menyumpal mulutnya dengan remote tv. Bisa-bisanya dia bikin plesetan lagu dangdut buatku. Berhubung dia jauh dan kita hanya ngobrol via telepon aku hanya bisa menghela napas menahan kesal.
"Gue nggak suka. Bukan selera gue. Dia terlalu ramah. Kay—"
"Dih, lo aneh deh," potongnya. "Cowok ramah kok malah nggak selera, sih? Terus lo maunya cowok jutek, gitu? Di mana-mana, perempuan tuh sukanya sama cowok ramah, bukan sama cowok galak."
"Ramah, rajin menjamah!" seruku sewot, sedangkan Kayra justru tertawa di ujung telepon. "Dia tuh tipe cowok yang suka banget pegang-pegang. Belum kenal aja tangannya udah rajin mampir ke badan orang, gimana kalau udah akrab."
"Mungkin love language-nya sentuhan, kali," tebak Kayra.
"Duh, penting banget ngebahas love language-nya dia? Semacam gue bakalan ketemu-ketemu lagi aja sama dia. Udah, ah!" seruku. "Pokoknya besok pas belanja gue mau beli panci presto yang gede, ya. Lo transferin duitnya ke rekening gue. Jangan sampe lupa."
"Iya, iya. Bawel banget. Panci presto tuh masalah sepele, urusan temen makan malem lo tuh lebih penting."
"Ngaco. Udah, deh. Bye."
Aku mendengar suara tawa Kayra yang menggelegar sebelum memutus sambungan telepon. Sahabatku itu seolah terobsesi membuatku segera menikah. Setiap ada kesempatan dia pasti akan melemparkanku ke pelukan cowok-cowok jomlo yang lewat di sekitar kami. Annoying sih kadang, tapi aku tahu dia melakukannya hanya sebagai bercandaan. Kayra tidak pernah benar-benar mempertanyakan statusku yang masih juga jomlo di penghujung kepala dua ini. Dia sahabatku, dia tahu seperti apa perjalanan hidupku, jadi kurasa Kayra akan membiarkan aku menikmati hidup, sambil sesekali memanfaatkan momen untuk membuatku masuk dalam perangkap singa. Buruknya, singa yang kali ini dipilihnya adalah Priam, yang mana adalah customer Breakfast in Bed.
Priam. Nama pria itu terdengar sangat maskulin. Menggambarkan dengan sempurna si empunya. Rahang keras yang dimilikinya berpadu indah dengan bibirnya yang padat. Namun, ingatanku justru mengingat tangan besar berotot yang kuyakin mampu dengan mudah mengangkat, membopong, dan melemparkanku dengan mudah ke atas tempat tidurnya.
Blanca, sadar!
Kenapa aku jadi ikut-ikutan Kayra mengkhayalkan hal yang enggak-enggak? Pria itu jelas punya pasangan. Siapa nama perempuan yang tadi dia sebut berkali-kali? Tasya? Ya, Tasya! Meski tidak diakui sebagai pacar, tapi suaranya yang selalu terdengar melunak setiap kali menyebut nama perempuan itu cukup menggambarkan kedekatan mereka yang mungkin saja intim.
Aku menghela napas, kemudian merebahkan kepala ke bantal sofa. Makan malam tadi hanya sebuah permintaan maaf yang berlebihan. Aku dan Priam tak harus bertemu lagi setelah ini. Kecuali pria itu memesan makanan dari Breakfast in Bed, aku jadi terpaksa harus mengantarkannya dan mungkin saja bertemu lagi dengannya. Ah... tapi itu juga bisa saja kuakali agar dikirim oleh Gia.
~~~
Hulla!
Selamat weekend. Aku mau berterima kasih banget buat kalian semua yang udah komen di part sebelumnya. Bener-bener nambah semangat aku buat nulis cerita ini. 🤍🤍🤍Anyway, berhubung sejak awal aku memang berniat update cerita ini seminggu dua kali, aku pengen tahu... Kalian lebih suka kalau jadwal updatenyaa ditentukan setiap hari tertentu, atau bebas aja? Please kasih tahu aku... Thanks!
Kisskiss,
KWP
KAMU SEDANG MEMBACA
Breakfast in Bed
أدب نسائيBreakfast in Bed Now open for business 🥂 Menciptakan sebuah jasa penyediaan sarapan spesial ala hotel tentu bukan perkara mudah. Sebagai pionir bisnis yang amat baru ini, Blanca dan sahabatnya, Kayra, harus belajar dan terus berinovasi agar Breakf...