Seventh Course: Sorbet (II)

3.3K 715 51
                                    

Aku beranjak dari sofa setelah Hell's Kitchen berakhir dengan kemenangan tim merah di episode ini, dan seorang peserta dari tim biru harus dipulangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku beranjak dari sofa setelah Hell's Kitchen berakhir dengan kemenangan tim merah di episode ini, dan seorang peserta dari tim biru harus dipulangkan. Sambil menenteng tas dan ponsel aku menuju pantri, beberapa alat masak yang akan aku gunakan besok sudah tertata dengan rapi. Aku pun tersenyum saat membuka kulkas dan bahan-bahan masakan untuk besok sudah berjajar untuk kueksekusi. Meski tidak merasa sebagai orang yang perfeksionis, aku memang membutuhkan keteraturan dalam pekerjaanku. Makanya sejak awal aku mengajarkan Gia untuk mengadopsi caraku dalam mempersiapkan bahan baku masakan dan alat masak, untuk mempermudah pekerjaanku setiap pagi. Gia yang setiap hari datang untuk membantuku memasak juga semakin dimudahkan karena tak harus sibuk mempersiapkan apa-apa. Keteraturan yang kutanamkan itu juga terbukti mengurangi kemungkinan adanya bahan yang terlupakan saat memasak.

Setelah puas memeriksa persiapan untuk besok aku meninggalkan dapur yang sudah rapi dan segera masuk ke kamar. Suara tv masih dapat kudengar sayup-sayup dari dalam kamar, tapi demi menjaga kewarasan aku menyetel lagu dari playlist ponsel untuk menemaniku mandi. Suara merdu Ronan Keating mulai mengalun ketika aku menyalakan pancuran. Sambil membuka kancing-kancing baju aku turut bersenandung. Suaraku tidak terlalu buruk, sesekali aku juga pernah diminta bernyanyi saat ada acara keluarga. Namun, aku memilih untuk mendedikasikan diri sebagai penyanyi kamar mandi penuh waktu dibanding harus tampil bernyanyi di depan orang banyak. Meski suaraku tak cukup untuk mempermalukan diri sendiri, berada di depan khalayak bukan hal yang kusukai.

Tiga lagu dari Ronan Keating menemani mandi malamku yang diakhiri dengan pilihan piyama satin berwarna ungu sebagai baju tidurku. Setelah merebahkan tubuh ke atas kasur pikiranku mengawang pada runutan kejadian yang membawaku menghadiri undangan makan malam dari Priam.

Aku masih ingat pesanan pertama yang kusiapkan untuk pria itu. Pesanan yang datang mendadak sehari sebelumnya itu dipesan oleh perempuan bernama Tasya. Aku juga ingat saat harus menyelipkan pesanan itu dalam daftar, meski sebenarnya slot hari itu sudah penuh. Alamat pengantaran yang berada satu gedung apartemen dengankulah yang membuatku menyetujui pesanan susulan itu. Kemudian tanpa terduga pesanan-pesanan ke alamat yang sama semakin sering hadir di daftar pengiriman Breakfast in Bed. Aku tak lagi memastikan siapa yang memesan sarapan untuk pria itu karena kebanyakan pesanan memang datang lewat Kayra.

Aku mengerutkan kening saat berusaha mengingat-ingat nama perempuan yang memesan makanan di kali terakhir. Lila? Lita? Ah... aku benar-benar tidak ingat nama yang diucapkan Kayra saat itu. Yang pasti bukan Tasya seperti yang kuingat memesan sarapan pertama untuk Priam.

"Haduh, kenapa jadi kepikiran, sih?" gerutuku sambil menutup wajah dengan selimut.

Aku menggeleng demi menghalau pikiran-pikiran lain tentang pria yang rajin menjamah itu. Namun, semakin aku berusaha menghalau pikiran tentangnya, ingatan tentang tangannya yang menangkup tubuhku dan hidungnya yang tak malu-malu menghidu aroma dari leherku justru menyerang bertubi-tubi.

"Ya Tuhan!" seruku terkejut ketika ponselku mendadak berbunyi.

Kutendang selimut hingga terbuka dan menyambar ponsel yang kembali menampilkan nama Kayra di layar.

"Kenapa, Ra?" tanyaku.

"Barusan ada pesanan masuk, nih."

"Ya, terus?"

"Pesanan khusus."

Akh menghela napas kesal. "Please dong, Ra. Jangan aneh-aneh lagi. Pokoknya urusan gue sama Priam udah kelar, gue udah ikutin mau lo buat melayani permintaan maaf dia pakai acara makan malam. Kalau ada permintaan khusus lagi dari dia yang berkaitan sama gue, tolak aja, deh."

Ocehanku terhenti saat mendengar Kayra yang tengah tertawa di ujung telepon.

"Lo ngerjain gue?" tanyaku seraya mendengkus sebal.

"Elo tuh, ya. Kebiasaan banget antipati sama orang. Priam tuh baik, Ca. Dia benar-benar merasa bersalah sampai mau repot-repot ngundang lo supaya nggak ada kesalahpahaman lagi," ucap Kayra. "Lagian pesanan khusus yang gue maksud tuh bukan dari Priam. Lo kok geer, sih?"

Kayra kembali tertawa. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Bodo amat! Gue matiin ya teleponnya," omelku.

"Jangan. Gue serius, nih," ujar Kayra masih sambil cekikikan. "Pesanan khususnya dari Bu Ambar."

Aku mengenal nama itu dengan cukup baik. Bu Ambar dan keluarganya memang kerap memesan sarapan dari Breakfast in Bed, pesanan khusus darinya juga bukan pertama kali diminta.

"Oh," ujarku lega. "Kalau dari Bu Ambar sih gue oke aja."

"Ini lumayan aneh, sih. Makanya gue mau diskusi dulu sama elo sebelum mengiakan permintaan dia."

"Emang apa sih pesanan khususnya?"

"Dia mau pesan sarapan kayak biasa, buat tiga orang. Tapi dia juga minta waktu lo buat nemenin Rutha ngobrol sambil sarapan."

Aku mengangguk-angguk meski sadar betul bahwa Kayra tak bisa melihat ekspresiku.

"Buat kapan? Kita harus adjust waktu pengirimannya, kan."

"Dia bilang kalau bisa weekend ini, Rutha ulang tahun dan pengen ngobrol-ngobrol sama elo," ujar Kayra. "Elo sebenernya pake pelet pengasihan dari dukun mana sih, Ca? Kok orang bisa segitunya terpesona sama elu. Nggak anaknya Bu Ambar, nggak si Priam."

"Mulut lo gue cabein ya, Ra!"

Kayra menanggapi ancamanku dengan tawa menggelegar.

"Okein aja permintaan Bu Ambar, nanti gue atur sama Gia gimana caranya biar waktu pengantarannga aman."

Kayra tidak menyahut karena masih sibuk tertawa.

"Ra, jangan ketawa gede-gede, ntar ada kunti yang ikutan ngikik bareng baru tahu rasa!"

Tanpa menunggu tanggapan Kayra aku langsung mematikan ponsel. Kayra bisa saja menggodaku terus tentang Priam, tapi aku juga selalu bisa balas dengan cara menakut-nakutinya. Sahabatku yang merupakan istri konglomerat itu punya ketakutan kurang masuk akal soal keberadaan hantu, terutama Si Miss Kunkun.

"Emang enak!" lekekku pada ponsel yang layarnya sudah padam. "Selamat tidur dengan lampu nyala terang benderang deh malam ini."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Breakfast in BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang