Chapter 8

1.8K 244 6
                                    

Sudah beberapa hari anak lelaki yang kutolong ini tinggal seatap denganku. Ya, aku tidak mengusirnya dari rumah ini. Aku tak sampai hati jika harus mengusir anak itu.

Dan hal lainnya yang tidak kulakukan adalah aku belum meminta izin dari pemilik rumah ini.

Ya, pemilik rumah ini kan memang bukan aku. Tapi Ayah Lily, yaitu Duke Vito dan Ibuku Melisa.

Tapi aku tak memedulikan itu, lagipula mereka juga tak peduli akan keberadaan  'Margaritha' di rumah ini.

Jadi, walaupun tambah satu orang di rumah ini mereka tetap akan mengabaikannya bukan?!

"Nona, saya harus melakukan apa hari ini?!" Terdengar suara anak kecil di kamarku.

"Ah.. Entahlah." Jawabku sekenanya.

"Ya?!" Anak lelaki itu kebingungan ketika mendapati jawaban seperti itu.

"Aku juga tidak tahu kamu harus apa di sini."

"Dan perlu kau tahu aku di sini juga tidak melakukan apa pun. "

"Jadi, aku tidak tahu harus memberikan tugas apa padamu." 

"Itu karena anda seorang Nona." gumam anak itu dengan pelan.

"Ya?!"

"Tidak Nona." Jawab anak itu cepat.

"Omong-omong, namamu siapa?!" Tanyaku yang masih belum tahu anak ini memiiki nama atau tidak.

"Hm, saya biasanya dipanggil Moron."

Moron?! Bukannya itu artinya orang tolol.

"Kenapa kau dipanggil Moron?!"

"Aku hidup dijalan sejak kecil dan tidak ada yang memberikanku nama."

"Tampilanku dulu sangatlah kumal dan wajahku juga kotor akibat kerja dijalanan. Dan alasan utamanya dikarenakan aku tidak bisa membaca."

"Kemudian orang-orang banyak memanfaatkanku yang tidak bisa membaca.''

"Oleh karena itu, orang-orang akhirnya  memanggilku Moron.''

"Kau menerima nama itu begitu saja?!"

Anak lelaki itu menggangukkan kepalanya.

"Dasar bo--"

"Bocah. Ya, Dasar Bocah!" Ucapku dengan cepat untuk melarat kata yang seharusnya tidak aku ucapkan.

Fyuh! Hampir saja aku mengucapkan kata 'Bodoh'.

"Kau--"

"Ya, ada apa Nona?!"

"Hm, kau tahu arti dari kata Moron?!"

"Tidak."

"Memang apa artinya Nona?!"

"Huh! Sudah kuduga kau pasti tidak tahu artinya."

"Menurutmu kata itu memiliki arti yang baik atau tidak?!" Tanyaku pada anak itu seraya berdiri menghadapnya.

Anak itu masih diam sambil menunduk menatap ke arah ubin di kamarku.

Apakah ini termasuk tindakan yang bagus karena aku telah menolong anak ini?!

Anak ini terlihat lemah dan aku jadi tak yakin dia akan berguna untuk kedepannya.

"Kamu tahu tidak?! Jawablah jangan hanya diam dan menuduk saja."

"Itu menyebalkan!"

"Sepertinya kata 'Moron' adalah kata yang buruk." Jawabnya.

"Bukan sepertinya lagi tapi memang benar itu adalah kata yang sangat buruk."

"Kalau saya boleh tahu, artinya memang apa Nona?!"

"Tolol."

"Ya?!"

"Ah! Aku bukan memakimu tapi arti kata 'Moron' adalah tolol."

"Oh, jadi itu artinya."

What?! Reaksi macam apa itu. Dia tampak terima-terima saja.

"Kau tidak sakit hati?!" Tanyaku.

"Saya tidak memiliki alasan untuk sakit hati karena tahu arti nama itu."

"Kenapa begitu?! Kau harusnya marah atau sedih karena tahu arti dari nama itu."

"Bukan diam dan terima begitu saja."

"Memang saya harus bagaimana Nona?!''

" Sudahlah sekarang aku akan memberikan nama baru untukmu."

"Itu juga kalau kau mau mengganti namamu itu."

"Kalau kau tidak mau juga tidak ap--"

"Saya mau Nona!" Potong anak itu dengan cepat.

"Haha! Baiklah."

Anak itu tersenyum sumringah. Membayangkan akhirnya dia memiliki nama yang indah.

"Hm, kau memiliki ide nama yang kau inginkan."

"Saya tidak punya nama yang saya inginkan."

"Tapi, setelah tahu arti dari nama 'Moron', saya hanya ingin memiliki sesuatu yang berartikan cerdas."

"Karena katanya Nama adalah doa untuk kita."

Perasaanku kembali tergugah melihat bagaimana wajah anak lelaki itu yang sangat menantikan nama baru yang akan kuberikan ini.

Aku harus memberikan nama paling terbaik untuknya. Ayo Berpikir!

"Hm, jika ku berikan nama 'Nelson' untukmu bagaimana?!"

"Nelson?!"

"Ya, Nelson memiliki arti cerdas. Itu cocok untuk mengganti nama sialan itu."

"Nona!" Tegur Tina ketika mendengar Nonanya berkata kasar.

"Ah, maaf aku sangat kesal."

"Seharusnya Nona menahan diri walaupun dalam situasi seburuk apapun. Jangan sampai berkata kasar seperti itu."

''Itu tidak baik. Nona bukanlah bangsawan sembarangan."

"Jadi harus menjaga sikap serta martabat seorang Nona Bangsawan dari keluarga ternama."

Astaga! Tina benar-benar seperti guru BK. Aturannya ketat. Lain kali aku harus berhati-hati di dekatnya ketika sedang berbicara.

Tok...
Tok...
Tok..

Suara ketukan pintu yang cukup keras mengalihkan obrolan Tina yang sedang menegurku.

"Nona.. Nona.. Ada berita panas!"

"Dyla, kenapa kamu lari-lari begitu?!" Tanya Tina.

"Ah maaf, saya tadi buru-buru."

"Tidak apa-apa. Tapi lain kali janganlah seperti itu. Kita ini seorang pelayan yang memiliki etika.''

"Sekarang, minta maaflah pada Nona Ritha."

"Iya, maaf Nona saya sudah bersikap lancang."

"Eh tidak apa-apa."

"Tapi apa yang membuatmu begitu terburu-buru untuk mendatangiku?"

"Saya mendengar berita bahwa Tuan Erik dan Nona Lily akan kembali ke akademi."

"Apa?! Kau dengar dari mana berita itu."

"Saya tak sengaja mendengar obrolan dari kepala pengurus rumah dan pelayannya Nona Lily."

Shit! Lagi-lagi aku di anak tirikan. Ya, walaupun memang benar sih aku ini anak tiri. Tapi tetap saja seharusnya mereka adil pada anak-anaknya.

"Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menemui Melisa." Batinku merasa kesal.

MargarithaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang