Argalino Adhitama

9 2 0
                                    

"Boleh aku duduk di sini?" Pria dingin itu hanya menoleh sejenak, kemudian dia mengangguk dan kembali membaca buku yang ada di tangannya.

"Kamu suka baca buku, ya? Pasti kamu salah satu murid dengan prestasi terbaik di sini. Ya, kan?" Mina masih berusaha mengajak Lino bicara. Namun, pria itu tampaknta belum tertarik. Ia hanya mengangguk.

Suasana hening terjadi di antara mereka. Lino sibuk dengan bukunya, sedangkan Mina hanya mengayun-ayunkan kakinya. Sesekali ia memandang ke sekitar, membalas senyuman murid yang menyapanya, dan tentunya menoleh ke arah Lino yang masih sibuk berdiam diri. Sifat Lino yang dingin justru membuat Mina semakin penasaran.

"Kamu nggak lapar? Mumpung ini masih jam istirahat, bagaimana kalau ke kantin? Kebetulan aku udah lapar, nih. Mau nggak, Lino?"

Lino mendongak dan menatap ke arah Mina. Gadis itu terkejut saat mata mereka saling bertemu. Lino melepas earphone dan menutup bukunya. Ia kemudian berdiri, Mina juga mau tidak mau ikut berdiri juga.

"Ayo." Suara Lino terdengar lirih. Namun, sepenggal kata itu membuat Mina tersenyum. Mereka berjalan menuju kantin.

Setibanya di kantin, mereka seolah-olah menjadi pusat perhatian di sana. Semua mata tertuju ke arah mereka, sesekali juga terdengar samar ada yang saling berbisik. Mina menoleh ke arah Lino yang sudah berdiri di depan stand makanan. Pria itu benar-benar cuek akan sekitarnya. Mina menyusul, terdengar Lino memesan seporsi siomay dan jus jeruk. Mina memesan menu yang sama.

Lino masih tak bersuara. Matanya mengedar mencari tempat duduk kosong, setelah dapat, dia berjalan menuju tempat itu. Sementara itu, Mina hanya sibuk mengekor. Kini mereka duduk berhadapan. Entah mata-mata siswa siswi yang ada di kantin masih saja menatap aneh ke arah mereka. Mina merasa terganggu dengan ini. Namun, melihat Lino cuek saja dan mulai menyuap siomay perlahan, ia juga ikut cuek dengan situasi ini.

"Kenapa kamu duduk di depanku?" Pertanyaan itu membuat Mina tersedak. Ia menyeruput jus jeruk miliknya, kemudian mengerutkan dahi ke arah Lino.

"Ya ikut kamu. Lagi pula nggak ada tempat kosong lagi. Kenapa?"

"Aku nggak nyuruh kamu untuk mengikutiku. Gara-gara kamu mengikutiku, mata mereka menatap aneh seperti itu! Bikin risih aja!" Lino beranjak, ia pergi meninggalkan kantin begitu saja tanpa memedulikan jawaban atau panggilan Mina.

***

"Maaf kalau membuatmu merasa terganggu. Aku nggak akan mengikutimu lagi," ucap Mina saat tiba di meja mereka. Lino tak menjawab, pria itu hanya fokus membaca buku tebal yang tadi.

Mina kembali mengerucutkan bibir. Namun, tak lama kemudian ada yang menepuk bahunya. Mina menoleh, Ditha mengerlingkan mata. Gadis itu kemudian berbisik di telinganya, "Lino emang dingin kayak es batu." Ditha kemudian kembali ke mejanya. Mina hanya mengangguk paham.

Pelajaran selanjutnya dimulai. Mina masih penasaran dengan Lino, ia juga tidak tahu alasan rasa penasarannya begitu menggebu seperti ini. Entah ini perasaan yang dibawa dalam permainan itu atau bukan. Namun, sosok Lino memang benar-benar menyita perhatiannya. Sesekali ia menoleh ke arah pria yang tampak serius memerhatikan guru di depan. Lino benar-benar murid teladan, tentu saja ia akan menjadi saingan Mina.

Hari pertama Mina di sekolah berlalu begitu saja. Lino jauh lebih menarik perhatiannya daripada kembaran gang yang merundungnya dulu. Selepas pelajaran usai dan bel sekolah berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas. Sama halnya dengan Lino, pria itu langsung menyambar tasnya dan berjalan cepat keluar dari kelas. Mina mengembuskan napas, ia rasa sangat sulit untuk mendekati Lino.

Beberapa murid tampak berjejer di depan gerbang, tentu saja menunggu seseorang yang menjemput mereka. Sementara itu, murid yang membawa kendaraan sendiri bergantian melewati gerbang keluar. Mina masih menunggu ayahnya yang akan menjemput, beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya dan berbisik, sesekali itu mengganggu dirinya. Namun, gadis itu mencoba memberanikan untuk menoleh ke mereka dan tersenyum. Senyuman Mina tidak sia-sia, mereka membalasnya.

Kini pandangan Mina teralih pada seseorang yang baru saja melintas di hadapannya dengan motor berwarna hitam. Mata gadis itu tak dapat beralih hingga sosok yang ditatapnya itu perlahan menghilang dari pandangannya. Senyum di sudut bibir Mina mengembang, ia tadi menyadari jika sosok yang ternyata adalah Lino itu sempat menoleh ke arahnya sebelum melanjutkan perjalanan.

"Mina? Kok bengong?" Suara itu membuyarkan lamunannya. Sosok sang ayah sudah menyapa dari dalam mobil. Mina hanya menggeleng kemudian memasuki mobil.

***

Lino meletakkan tasnya di atas meja belajar. Ia kemudian menghempaskan tubuhnya di kasur. Sesekali ia menghirup dan mengembuskan napas. Matanya memandang lekat langit-langit kamar, kemudian ia menoleh pada sederetan buku yang ada di rak. Bola matanya memutar, ditariknya bantal kemudian ia gunakan untuk menutupi wajahnya.

"Kakak? Kakak udah pulang?" Suara langkah kaki mungil memasuki kamar Lino. Anak lelaki berusia lima tahun itu memandang kakaknya yang tertidur dengan menutup wajah menggunakan bantal.

"Kata Mama, jangan lupa mandi. Lalu makan malam bersama. Kakak mendengarku? Kak Lino! Kakak!" Anak kecil itu mengoyak tubuh Lino dengan tangan mungilnya.

"Berisik!" Suara keras Lino yang membentak adiknya, membuat anak kecil itu mengerucutkan bibir. Ia kemudian berlari keluar kamar Lino dengan menangis kencang dan memanggil sang mama.

Lino beranjak dari kasurnya, ia mengambil handuk dan baju ganti dari lemari. Pandangannya beralih karena ponselnya di atas nakas menyala. Sebuah pesan dari Dion yang mengajaknya untuk ikut bermain malam ini. Biasanya pesan seperti ini sama sekali tidak menarik perhatiannya, ia menoleh ke arah rak buku, ada rasa jenuh juga yang akhirnya mengusik relungnya. Setelah membalas pesan Dion, ia segera melanjutkan langkah menuju kamar mandi.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Lino yang sedari sore tadi berdiam diri di kamar, terpaksa harus melangkah keluar dari kamarnya karena suara berisik sang mama sudah memanggilnya terus menerus. Mereka kini berhadapan di meja makan. Sang adik terlihat masih kesal dengan kakaknya.

"Lino, sudah berapa kali Mama bilang jangan membentak Bian? Mama nggak suka kalau hal itu terjadi lagi." Anya--Mama Lino-- menyendokkan nasi dan lauk ke piring masing-masing anaknya.

"Ah, iya, katanya hari ini ada murid pindahan jalur beasiswa, ya? Mama kenal dengan ibunya, kita berteman baik. Meskipun begitu, Mama harap prestasimu tidak turun dan nggak kalah dari anak itu. Kamu paham, Lino?"

Lino hanya mengangguk. Rasa sesak menggerayang di dalam dadanya. Ia mulai menyuap makanan ke dalam mulutnya meskipun rasanya enggan. Anya selalu memaksa Lino untuk selalu fokus belajar dan tidak akan tinggal diam jika posisi prestasi Lino menurun. Kekangan itu semakin lama semakin membuat Lino ingin memberontak. Namun, mengingat kini ia hanya memiliki sang mama tanpa kehadiran papa, ia berusaha bertahan dengan situasi ini.

"Lino mau keluar sebentar. Ada kerja kelompok di rumah Dion." Lino mengenakan jaket jeans berwarna hitamnya.

"Jangan malam-malam pulangnya, ya," ucap sang mama sambil memerhatikan Lino dari atas hingga bawah.

"Ma, Lino bukan anak kecil lagi." Merasa tidak mau mendengar ocehan sang mama lagi, Lino segera bergegas menuju garasi untuk menyalakan motornya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KUBUS CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang