[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01
Bagi Wisnu, hal yang paling menyakitkan adalah ketika dihadapkan dengan perpisahan. Karena mau bagaimana pun caranya, bagaimana pun keadaanya, perpisahan a...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
hai aku kembali! hehe
tapi kayaknya untuk update ngga akan terlaku sering, soalnya aku bener-bener lagi sibuk banget belakangan ini:( tenang aja, book ini insyaallah bakal aku lanjut sampai end kok.
Anw, makasih banyak untuk komentar positif di chapter sebelumnya ya!♥
Ayo komen yang banyak, hehe
Happy Reading!
Katanya rumah itu adalah tempat paling nyaman untuk pulang, tapi sayangnya Hanan tidak pernah menganggap itu benar ketika tahu kalau rumah yang ia miliki sekarang bukan lah rumah yang bisa ia pulangi. Sudah satu jam, saat setelah kakinya melangkah masuk ke dalam kamar, suara barang-barang pecah dan bentakan sang ayah dari arah ruang tamu masih menghantui telinganya.
Dari dulu, dari pertama kali ia diangkat menjadi anak dari dua manusia yang merangkap menjadi orang tuanya sekarang, Hanan belum pernah merasakan yang namanya keheningan di dalam rumah, setiap harinya selalu saja ada barang yang ayah banting hingga rusak, sampai-sampai tangisan bunda semakin terdengar hebat.
Ayah itu temperamental, apa-apa selalu di barengi dengan emosi. Hanan juga tak jarang mendapatkan perlakuan buruk dari ayah, sebab nya juga kadang tidak masuk akal, atau malah tidak terlalu parah. Sama halnya seperti sekarang, ayah membentak bunda hanya karena perempuan paruh baya itu berusaha melindungi Hanan dari bentakan ayah karena nilai ujiannya mengurang satu angka.
“Kamu belain aja terus anak yang begitu! Dia saya sekolahkan untuk jadi anak yang berguna, bisa membanggakan orang tua dengan nilai yang tinggi! Saya les kan dia di berbagai tempat itu karena apa memang, hah? Ya karena saya mau dia jadi anak yang bisa dibanggakan!”
Hanan semakin meremas selimut abu-abu yang sekarang ia simpan asal di pahanya. Teriakan ayah terdengar sampai ke kamar, bahkan napas beratnya pun ikut terdengar.
“Tapi ayah terlalu keras.. Hanan bukan robot, Yah..” suara bunda semakin pelan, selalu seperti itu ketika Ayah menaikan nada suaranya.
“Keras apanya? Dia yang terlalu lemah untuk ukuran laki-laki! Di bentak sedikit nangis, ngga ada bedanya sama kamu. Nyesel saya setuju untuk angkat dia jadi anak.”
“Ayah!” kali ini bunda sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, tatapan sendu itu berubah menjadi lebih tajam.
“Kalau Hanan dengar gimana? Ayah ngga mikirin perasaan dia? Dia masih labil, Yah.. Emosinya masih suka berubah-ubah.. Nanti kalau dia gimana-gimana memang ayah mau tanggung jawab?”