03 - Tawaran Mengejutkan
Aku menyisir rambut yang masih basah. Tadinya mau pinjam pengering rambut punya Widya, tapi orangnya sudah pergi lebih dulu. Alhasil aku harus rela belakang kemejaku basah. Bodo amat lah, yang penting aku bisa segera sampai di kampus. Nanti juga kering kena angin.
Sebelum pergi, aku sempat minum obat mencret gara-gara semalam. Ya, begitulah kalau aku berhadapan dengan AC. Pasti besoknya antara masuk angin atau sakit perut. Nyaris tidak bisa tidur karena keluar-masuk kamar mandi.
Ojek pesananku sudah tiba. Aku segera menaikinya setelah mengenakan helm, lalu motor memelesat cepat di jalanan. Berkali-kali aku mengecek arloji butut hadiah ulang tahun dari Farah. Sekitar tiga puluh menit lagi aku harus tiba di kampus, tadi aku dipanggil menghadap ke ruang dekan. Entah ada urusan apa. Seingatku, selama di kampus aku tidak pernah melakukan pelanggaran. Uang kuliah juga rutin diberikan oleh Pakde. Apa jangan-jangan pihak universitas berubah pikiran ingin memberiku beasiswa?
Aku menepuk kepala yang tertutup helm. Edan kamu, Sri. Halunya kebangetan.
Motor berhenti tepat di pelataran kampus. Usai membayar, aku berlari menaiki lift menuju lantai lima, letak ruang dekan. Masih ada sisa waktu sepuluh menit.
Tiba di ruangan tersebut, aku disambut baik oleh Pak Zainal. Jantungku jedug-jedug tak karuan saat disuruh duduk di kursi putar yang letaknya di hadapan beliau. Otakku berpikir keras motif mengapa aku dipanggil ke sini.
"Maaf membuatmu repot pagi ini." Pak Zainal mulai basa-basi. "Saya mau bilang kalau sudah telat seminggu kamu belum bayar uang kuliah. Saya sudah mencoba menghubungi wali kamu, tapi sampai saat ini orang tuamu susah sekali dihubungi."
Tanganku mendadak dingin, kakiku terasa seperti jelly. Lho, kok, bisa Pakde belum bayar uang bulanan? Biasanya beliau tak pernah terlambat. Apa terjadi sesuatu di rumah? Apa Pakde lagi sakit makanya belum sempat membayar?
"Saya mau kamu segera hubungi wali kamu, ya. Saya tunggu kabarnya sampai besok pagi."
Aku terbelalak. "Besok pagi, Pak?"
"Iya."
"Baik, Pak. Saya usahakan."
Aku keluar dari ruangan itu dengan langkah lemas. Tangan yang gemetar mulai merogoh isi tas, mencari ponsel. Dengan perasaan tak tenang, aku mulai menekan nomor Pakde dan menunggu telepon diangkat. Napasku berhenti saat mendengar suara wanita di ujung sana, suara Bude.
"Kamu ngapain telepon suami saya?"
"Sri belum bayar uang kuliah, Bude. Udah ditagih suruh bayar hari ini."
"Lha, itu urusanmu, bukan urusan saya apalagi pakdemu. Kamu ini udah kerja, masa nggak bisa cuma bayar uang kuliah?"
"Lho, tapi, Bude, kesepakatan Pakde sama Ibuk—"
"Kami sudah nggak punya urusan apa pun sama kamu. Nggak usah telepon kami lagi!"
Setelah itu telepon terputus. Aku menggenggam ponsel erat-erat. Kepala ini mendadak kusut. Bagaimana caranya aku mencari uang satu juta dalam waktu satu hari? Gajiku bahkan belum cukup untuk menutupi semuanya.
Aku berjalan sambil menangis. Sampai orang-orang heran menatapku. Pulang ke kampung terlintas dalam benak, tapi kalau pulang apa yang mau aku katakan pada Ibuk? Apa iya aku jujur kalau Pakde nggak mau membiayai kuliahku lagi? Bisa terjadi perang dunia nanti. Terus kalau teman-temanku lihat, apa kata mereka nanti? Aku pasti akan dicibir habis-habisan.
Tapi, bagaimana denganku kalau bertahan di sini? Siapa lagi yang mau membantu? Minta bantuan Widya, Siska, Lia, sama Anjar mana mungkin. Mereka juga sudah berat hidupnya. Minta uang sama Ibuk lebih nggak pantas lagi, kalau Ibuk nanyain kenapa, bisa runyam urusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Girl and Her Adorable Boss
Literatura FemininaJudul sebelumnya: Bayar Tukon Sri pergi ke Jakarta agar terbebas dari para lelaki yang hendak memintanya jadi istri di desa. Gadis berusia 19 tahun itu memilih kuliah di sana daripada pusing memikirkan nikah muda seperti yang dilakukan teman-teman s...