||01 - Kapan Nikah?||
"Sri! Sini!"
Kepalaku celingak-celinguk mencari suara perempuan yang sedang kucari sejak dua puluh menit yang lalu. Begitu sudah ketemu, ternyata Farah—orang yang kucari—sudah berada di pelaminan bersama mempelai pengantin. Kuambil langkah lebar menghampirinya, terdengar bunyi srek-srek dari rok yang kukenakan ketika berjalan.
Jelas sekali suara dia akan menarik perhatian para tamu undangan, apalagi saat aku datang. Anak itu memang urat malunya sudah putus. Kalau masih ada mana mungkin dia berani teriak-teriak manggil namaku dari jauh? Aku sebagai temannya sudah menebal muka, menampilkan senyum terbaik sampai bibir kebas dan lipstik retak.
"Selamat menempuh hidup baru, ya. Sakinah, mawaddah, warahmah," ucapku seraya menyalami pasangan pengantin baru itu satu per satu. Mereka tampak bagus dengan balutan pakaian adat Jawa dan mekap tebal.
"Kamu kapan nyusul, Sri?" tanya Risa, si pengantin wanita. Aku tersenyum kikuk. Pertanyaan klasik yang tak ingin kudengar meluncur juga. Membuat dada ini bergelora ingin mengucapkan petuah sumpah serapah.
"Nanti, ya, kalau kamu sudah punya anak lima," jawabku kalem. Ya, mana bisa aku menyemprot pengantin wanita, bisa-bisa aku kena razia hansip di depan.
"Lha, kelamaan. Keburu tua kamu."
"Justru yang tua itu paling menggoda. Uangku udah segunung, badanku masih singset, jelas banyak laki-laki yang antri mau melamar aku."
Wajah Risa seketika berubah, mulai mengeluarkan tanduk di kepala, sedangkan Reza—si mempelai pria—menggenggam tangan Risa supaya tidak menghantamku.
Dasar baperan. Padahal aku ini ngomong apa adanya. Lha siapa juga yang berani tanya 'kapan nyusul'? Dikira nikah itu semudah tahu bulat digoreng dadakan harga lima ratusan?
Lagi pula aku belum mau menyusul. Sejak lulus SMA dua bulan yang lalu, sudah ada beberapa dari teman-temanku yang menikah. Bahkan saat UN sedang panas-panasnya, malah ada yang sudah bayar tukon. Huh, aku heran kenapa nggak ada yang mau menikmati masa muda dulu sih? Minimal punya pengalaman, pekerjaan yang bagus, karier oke, otak cemerlang. Apa, ya, nggak ada yang pengin?
Hari ini saja aku sudah kondangan di dua tempat. Pertama di desa sebelah, namanya Sania. Dia menikah sama pacarnya. Ada rumor yang mengatakan kalau Sania sudah tekdung alias hamil duluan. Namun, aku tak mau bertanya lebih lanjut. Biarlah itu menjadi urusan mereka. Toh, kalau akhirnya mereka menikah artinya si laki-laki mau bertanggung jawab, to?
Itu menjadi salah satu alasan kenapa aku memilih tidak menikah untuk saat ini. Aku belum siap melihat laki-laki tidur di sampingku setiap hari, belum siap menghadapi hari-hariku dengan hamil, melahirkan, dan mengurus anak. Aku merasa belum punya cukup bekal yang cukup membesarkan seorang hamba Tuhan yang dititipkan untukku. Makanya aku memilih untuk kuliah saja sama cari kerja buat tabungan masa depan.
Balik ke resepsi Risa. Setelah foto bersama, aku dan Farah pamit pulang. Kami berpisah di perempatan. Aku berjalan sendirian menuju rumah. Langit mulai menampakkan warna jingga, angin berembus memainkan anak rambutku yang tidak terikat. Sambil melangkah aku terus mengusap badan. Jelas dingin wong aku pakai kebaya yang lengannya transparan itu.
Ketika pintu rumah dibuka, aku melihat Ibuk sedang ngobrol dengan seorang ibu-ibu yang kukenal. Namanya Surti, biasa dipanggil Lek Sur. Beliau tetangga belakang rumah. Kalau di meja ada piring berisi makanan, sepertinya Lek Sur baru saja menyisihkan sebagian rezekinya pada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Girl and Her Adorable Boss
ChickLitJudul sebelumnya: Bayar Tukon Sri pergi ke Jakarta agar terbebas dari para lelaki yang hendak memintanya jadi istri di desa. Gadis berusia 19 tahun itu memilih kuliah di sana daripada pusing memikirkan nikah muda seperti yang dilakukan teman-teman s...