Djarieto I : Gue, Diajeng Aldira

72 70 125
                                    

On playing : It's Only Me - Kaleb J

 
*****

Buku-buku berjajar rapi dengan susunan warna yang cukup kontras. Pada baris pertama dipenuhi dengan buku berwarna merah, disusul dengan baris kedua berwarna hijau, dan baris terakhir dengan warna putih. Menarik untuk dipandang, namun jika diperhatikan lebih detail buku-buku itu terlihat tidak terawat. Debu menyelimuti setiap satuan buku juga dengan sarang laba-laba di setiap celah rak menjelaskan bahwa benda itu sudah lama tidak disentuh.

Gemericik suara air dari kamar mandi terdengar merdu disusul dengan keluarnya Aldira dari kamar mandi dan berjalan santai ke arah lemari pakaian yang menyimpan seragam sekolah miliknya. Hari ini adalah hari Rabu, ia kemudian mengambil seragam batik khas SMAS 5 Braga. Aldira menatap cermin besar yang memantulkan tubuhnya dengan sempurna dari kaki sampai kepala.

Seragam itu terlihat pas dengan paduan sneakers berwarna putih. Tidak lupa rambut yang dibiarkan tergerai panjang membuatnya terlihat bersinar. Namun, sinar matahari mengalahkan sinar Aldira karena sekarang sudah pukul 10.00.

Mungkin jika  murid normal, mereka sekarang sedang berada di kantin untuk mengisi bahan bakar perutnya setelah berperang waktu dengan pelajaran pertama yaitu Matematika.

Berbeda dengan Aldira yang masih santai menuruni satu per satu anak tangga dengan gaya casualnya. Seragam kebanggaan itu telah tertutup oleh jaket berwarna biru dongker dengan pinggiran berwarna putih. Pada bagian belakang terlihat jelas kata "Elite Majority" berwarna putih.

"Baru berangkat, Dir?" tanya Teh Ayin, satu-satunya asisten rumah tangga Aldira.

"Kalo udah tau jawabannya kenapa nanya?" jawab Aldira dengan pertanyaan juga.

"Basa basi? Basi." Berjalan melewati Teh Ayin yang hanya menghela nafas perlahan.

Pagi-pagi sudah emosi adalah kebiasaan Aldira. Bahkan hanya karena salah menyebut nama saja ia akan marah kepada temannya.

Teman-teman Aldira lebih sering memanggilnya Dira. Anak kedua dari Nyonya Sekar dan Tuan Fajar. Mamanya berasal dari Jawa Tengah, sedangkan papanya merupakan warga asli Bandung.

Ketika masih pacaran, keduanya tidak mendapat restu dari orangtua mereka. Keluarga Nyonya Sekar adalah keluarga yang percaya tentang doktrin pernikahan Jawa-Sunda. Sudah tidak asing lagi tentang sejarah ini.

Masyarakat Jawa melarang anaknya untuk menikah dengan keturunan Sunda, sebaliknya juga masyarakat Sunda. Tetua mereka mengatakan bahwa akan ada sesuatu yang terjadi dalam rumah tangganya apabila masih bebal untuk menikah.

Dan hal itu benar terjadi di kehidupan rumah tangga Nyonya Sekar, setelah memiliki dua momongan yang usianya tidak terlalu jauh, Tuan Fajar meninggal dunia karena kecelakaan. Saat itu, Dira sudah berumur 8 tahun sehingga benar-benar merasakan kehilangan. Sejak saat itu pula, Dira enggan untuk bertemu orang baru, ia menjadi seseorang yang tertutup. Ia merasa berbeda dengan teman-teman yang masih memiliki ayah.

"Kamu udah sarapan?" tanya Teh Ayin lagi.

Bukannya menjawab pertanyaan yang jelas di dengar oleh telinga Dira, ia justru melenggang pergi dan segera masuk ke dalam mobil. Ia mulai menyalakan mesin mobil dan segera melesat meninggalkan pekarangan rumah.

Jalanan ramai karena sudah siang, apalagi Jalan Braga adalah jalan utama. Dira dengan gesit berbelok arah, menuju jalan alternatif. Tidak sampai 30 menit ia sudah menginjakkan kakinya di parkiran sekolah.

"Pagi, Ra."

"Selamat pagi, Cantik!"

"Pagi, Kak Dira."

Aldira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang