Di Minggu pagi, pada pukul tujuh tepat, Langit terbangun dari tidurnya dengan keadaan kepala yang masih sedikit terasa pusing, akibat kejadian semalam.
Laki-laki itu sedikit merasa terkejut, kala merasakan jemarinya tengah diganggam oleh seseorang.
"Sen-Senja?"
Senja yang merasakan ada pergerakan pada jemari yang tengah ia genggam mulai membuka kedua kelopak matanya.
"Lo di sini semalaman?"
Bukannya menjawab pertanyaan Langit, Senja justru meletakkan punggung tangannya pada dahi sang kekasih.
"Alhamdulillah, badan Langit udah gak panas."
Senja bangkit dari posisi duduknya. Ya, Senja memang tertidur dengan posisi duduk di atas lantai seraya menyenderkan kepalanya di atas ranjang yang ditiduri oleh Langit.
"Udah pagi, Senja pamit pulang dulu."
"Lo marah sama gue?"
Senja memberhentikan langkahnya. Namun, tak berniat untuk membalikkan tubuhnya.
"Jawab gue, Ja," pinta Langit yang kini sudah berdiri berhadap-hadapan dengan gadisnya.
Senja diam. Lantai kamar Langit sepertinya lebih menarik untuk gadis itu pandang dibandingkan dengan wajah tampan sang kekasih.
"Jangan diem kayak gini, Ja. Gue jadi bingung, kalo sikap lo kayak gini. Gue minta maaf, kalo gue ada salah sama lo."
Langit mengangkat dagu Senja menggunakan jari telunjuknya.
"Maaf."
Saling pandang antara kedua remaja itu hanya bertahan selama beberapa detik, sebelum Senja menghempaskan jari telunjuk Langit dari dagunya.
"Langit gak perlu minta maaf, karena di sini Senja yang salah. Senja gak bisa jadi pacar yang baik buat Langit. Karena itu, kan, Langit lebih milih pergi ke club malam dibandingkan cerita masalah Langit sama Senja."
Senja tersenyum getir. Sekarang, ia merasa menjadi gadis yang tak ada gunanya.
"Bukan itu maksud gue, Ja, gue cuma gak mau nambah beban pikiran lo."
"Langit tau, gak? Langit itu egois! Di saat Senja lagi ada masalah, Langit selalu maksa Senja buat cerita masalah Senja ke Langit, kan? Tapi kenapa, Langit gak menerapkan hal itu sama diri Langit sendiri? Apa karena itu semua akan percuma? Karena menurut Langit, Senja gak akan bisa bantu menyelesaikan masalah Langit, kan?!"
"Ngga, Ja. Gue gak pernah mikir hal itu. Gue cuma gak mau nambah beban pikiran lo, itu aja!" Jelas Langit, seraya menangkup kedua pipi gadisnya.
"Lepasin, Senja!"
Gadis itu mundur satu langkah dari tempatnya berdiri.
"Senja gak marah sama Langit. Senja cuma kecewa. Senja kecewa, karena Langit belum bisa percaya sama Senja untuk cerita masalah yang lagi Langit hadapi sekarang."
Senja mengembangkan senyumnya. Untuk pertama kalinya, Langit benci senyum Senja. Senyum penuh dengan kepura-puraan yang tersirat luka di dalamnya.
"Senja pamit pulang dulu."
"Gue antar."
"Nggak perlu."
"Please, Ja, lo pulang bareng gue, ya?"
Senja melepaskan jemari Langit yang menggenggam pergelangan tangannya.
"Gak perlu, Langit. Dari semalam, supirnya Guntur masih ada di depan rumah Langit. Biar Senja pulang sama supirnya Guntur aja. Senja gak enak sama Beliau, kalo akhirnya justru Senja diantar pulang sama Langit."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA'S WORLD
Teen FictionIni tentang Senja Alamanda. Tangisan serta amukan sang Adik sudah menjadi asupan sehari-harinya. Hidup dengan penuh kecemasan dan ketakutan, karena kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya di masa lalu, mengakibatkan Senja tak pernah menikma...