Empat

22 19 17
                                    

Di sinilah Zura dan Devan berada. Di tengah lapangan. Mereka berdua mendapatkan hukuman karena telah terlambat datang ke sekolah.

Sedari tadi, Zura mengumpat di dalam hatinya. Merutuki dirinya yang ceroboh. Kalau saja semalam Zura memasang alarm sebelum tidur, pasti ia tidak akan terlambat datang ke sekolah dan berakhir di hukum seperti ini.

Devan memandang wajah Zura dari samping. Walaupun hanya di lihat dari samping, tetapi kecantikan Zura sangat terpancar.

Zura yang menyadari bahwa Devan tengah memandang wajahnya, menoleh, menatap Devan tanpa ekspresi. "Apa?" Tanya Zura. Devan hanya menggeleng sebagai sebuah respon. Lalu Devan membuang pandangannya. Zura juga kembali fokus menatap ke depan.

Saat sedang melakukan hukumannya ini, Zura merasakan nyeri di perutnya. Bukan hanya itu, namun kepala Zura juga terasa pusing. Zura lupa, kemarin malam ia tidak makan nasi. Zura hanya memakan nasi di pagi harinya saja. Dan pagi ini ia melewatkan sarapan, padahal ia punya penyakit maag. Dasar ceroboh!

Zura berusaha untuk tetap melanjutkan hukuman yang diberikan oleh Bu Asta sambil memegangi perutnya.

Devan yang mulai curiga karena melihat gelagat aneh Zura, akhirnya mendekat. "Lo kenapa?" Tanya Devan sedikit khawatir.

Zura hanya menggeleng pelan. Pandangannya kini mulai kabur. Dan .... Hap! Devan menangkap tubuh Zura yang nyaris terjatuh.

"Zura! Zura bangun Zura!" Devan menepuk-nepuk pipi Zura. Berusaha membuat Zura kembali membuka matanya. Namun yang dilakukan Devan ini sia-sia.

Devan menggendong Zura ala bridal style. Membawa Zura ke UKS untuk diperiksa oleh dokter UKS.

Devan membaringkan tubuh Zura di atas ranjang UKS dengan sangat hati-hati. Setelah membaringkan tubuh Zura, Devan berlari ke kantor untuk memanggil dokter yang biasa berjaga kalau ada yang tiba-tiba sakit.

Tidak lama, dokter itu datang dan memeriksa kondisi Zura. "Gimana Ka Erva?" Devan bertanya pada dokter perempuan yang masih muda ini.

"Maag nya kambuh. Sepertinya dia telat makan kemarin. Dan kelihatannya hari ini dia belum makan. Tolong di beri makan nanti saat dia sudah siuman. Sama di beri obat maag. Obat-obatan ada di sana." Ka Erva menunjuk kotak obat yang letaknya tidak jauh dari Devan.

Devan mengikuti arah jari Ka Erva, kemudian mengangguk. Setelahnya Erva kembali ke kantor.

Devan mengambil duduk di samping Zura. Tangan Devan menyeka kening Zura yang berkeringat. Devan memandang wajah Zura lamat-lamat. Wajah Zura terlihat begitu sempurna.

"Enghh." Rintihan kecil terdengar dari mulut Zura. Zura membuka matanya perlahan. Tangannya meremat perutnya yang masih terasa nyeri. 

Zura melihat ke sekeliling. Dan dia terkejut saat melihat Devan yang berada tepat di sampingnya. "Biasa aja kali." Kata Devan saat melihat keterkejutan di wajah Zura. Zura buru-buru menormalkan ekspresinya.

Devan memperhatikan tangan Zura yang sedang meremat seragam sekolahnya.

"Rasa sakit di perut lo gak bakal ilang kalo lo ngelakuin itu."

Zura menatap Devan. Bagaimana Devan tahu kalau perutnya sekarang sedang tidak baik-baik saja?

"Bego!" Devan menjitak kening Zura hingga Zura mengaduh kesakitan.

"Maksud?" Tanya Zura tak paham.

"Lo punya penyakit maag kan? Kenapa sampe telat makan? Emang ortu lo gak ingetin lo makan?"

Saat mendengar kata 'ortu' mood Zura langsung hancur. Zura membuang muka. "Gak usah ngebahas tentang ortu." Sahut Zura dengan nada suara yang ketus.

COLD GIRL [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang