Senja membuka matanya, mencoba beradaptasi dengan cahaya terang yang menghampiri, kepalanya terasa berat. Aroma parfum maskulin menyeruak di indera penciumannya,aroma khas Dava. Ya Tuhan, kenapa saat seperti ini Dava tak kunjung pergi dari otaknya, semenyedihkan itukah dirinya saat ini.
Dimana dia? Apa yang terjadi?. Dengan susah payah dia mencoba duduk, dilihatnya sekeliling, dia berada dalam sebuah kamar yang luas, di sudut ruangan ada piano, rak buku nuansa putih berisi buku-buku tebal terpajang rapi. Senja berusaha berdiri, namun dia begitu lemah ternyata, bahkan Senja baru sadar kalau tangannya terpasang jarum infus.
"Kamu pingsan" Tiba-tiba seorang pemuda masuk ke kamar tersebut. Pria tinggi, raut wajah tegas dan rahang kokoh, tipe pria yang memiliki pendirian. Insting pengacara Senja berjalan begitu saja, biasa menilai wajah-wajah baru yang dia temui. "Kenapa dengan wajah saya, ada yang salah? " Langit merasa tak nyaman.
"Maaf, apakah anda yang membantu saya? Lalu, apakah?" Senja teringat terakhir kali pada baju yang dikenakannya, dipastikan beberapa kali bahwa bajunya telah diganti seseorang.
"Baju anda basah, bibik yang mengganti baju anda." Langit seolah paham apa yang akan ditanyakan Senja. "Dialah disini sebentar, anda dehidrasi dan terlihat putus asa"
"Saya tidak putus asa" Senja tidak Terima manusia yang baru mengenalnya beberapa menit, menilainya sesuka hati
"Lalu apa sebutan perempuan yang sengaja hujan-hujan sampai pingsan? " Langit kembali sarkas, menyebalkan bagi Senja.
"Terimakasih sudah menolong saya, tapi saya baik-baik saja, saya ijin pulang, tolong lepaskan jarum infus di tangan saya"
"Saya tidak akan membahayakan pasien saya, apalagi pasien itu suka bertindak bodoh!"
Dua kali, pemuda itu menilainya dengan sembarangan, suasana hati Senja yang memang tak baik membuat emosinya tak terkendali. Dengan sekali tarik jarum infus terlepas, darah mengucur dari tangannya begitu saja, tanpa dia pedulikan, mencoba berjalan walau terhuyung beberapa kali, dan hampir jatuh jika Langit tak menangkapnya.
"Keras kepala itu beda tipis dengan kebodohan nona! " Langit berkata sengit.
"Lepaskan!, saya bisa jalan sendiri! " Senja menghentak lengan Langit yang menopang badannya, namun sejurus kemudian Senja terhuyung kembali.
"Keyakinan itu sebaiknya selaras dengan kemampuan nona, tidak perlu berpura-pura kalau itu bisa membuat celaka" Langit memapah Senja kembali ke tempat tidur, kembali memasang infus. "Nanti malam akan saya antarkan anda pulang kalau anda sudah sedikit baikan, saya juga malas berurusan dengan perempuan keras kepala seperti anda".
Senja mendengus sebal, tapi dia hanya bisa menurut dengan pemuda menyebalkan yang kebetulan menyelamatkan dirinya. " Saya juga sama malasnya berurusan dengan dokter arogan seperti anda, balas Senja.
Langit hendak bersuara tidak Terima, tetapi terpotong oleh suara ketukan pintu. Bi Imah membawa nampan berisi makanan untuk Senja.
"Letakkan di meja Bi" Perintah Langit, kemudian bi Imah undur diri.
"Makanlah!, biar ada kekuatan untuk berjalan"
Senja cemberut, meraih sup yang ternyata terlalu jauh dari jangkauan, malas meminta tolong kepada pria sombong di hadapannya.
Langit mendekat,mengambil mangkuk sup tersebut, duduk di kursi dekat ranjang Senja. Bukannya memberikan sup ke tangan Senja, Langit memaksa Senja membuka mulut, menyodorkan suapan sup.
"Saya bisa makan sendiri!" Senja menolak disuapin
" Jangan keras kepala, lekas buka mulut dan anda bisa segera keluar dari rumah saya"
"Jadi anda..! "
"Hak, buka mulut! " Langit berhasil menyuapkan satu sendok penuh makanan ke mulut Senja, sampai Senja mengunyah dengan kesusahan, membuatnya mendelik ke arah Langit.
Langit tak sengaja tersenyum melihat tingkah laku Senja, sedang sakit saja dia bisa begitu galak, apalagi kalau sehat. Sepertinya perempuan ini tipe perempuan tangguh. Langit jadi bertanya-tanya penyebab perempuan ini bisa pingsan di tepi jalan.
"Kenapa senyum-senyum!" Senja meraba wajahnya, kalau ada kotoran menempel, karena sedari tadi pria tersebut memandang wajahnya.
"Tidak usah Ge Er, tidak perlu berpikir macam-macam, segera sehat dan segera kita tidak perlu bertemu lagi! "
Senja menarik napas panjang, berusaha menahan emosi, pria ini tak ada manis-manisnya, tapi bagaimanapun dia yang menyelamatkan nyawanya. "Baik Pak Dokter, semoga saya tidak perlu sakit lagi dan bertemu dengan anda"
"Cepat habiskan makanan anda, saya masih banyak pekerjaan" Langit menyiapkan kembali makanan ke mulut gadis itu.
Senja cemberut, tapi kali ini memilih diam.
***
"Sudah sampai, terimakasih!" Senja membuka pintu mobil, berniat masuk ke dalam kontrakannya.
"Tunggu sebentar, dengan siapa anda tinggal? " Selidik Langit
"Apa urusan dengan anda?, jangan macam-macam!"
"Sebaiknya jaga makanan anda"
"Baik Pak dokter yang terhormat, terimakasih" Senja keluar dari mobil Langit berniat masuk ke dalam rumah
"Tunggu!"
"Ya Allah, apalagii sekarang?!" Senja kembali mendekat ke jendela mobil Langit.
"Anda punya satu hutang ke saya, saya akan menagihnya suatu saat! "
"Semoga suatu saat itu tidak pernah ada, dan semoga kita tidak bertemu lagi" Balas Senja
"Terserah, saya pegang utang itu, selamat malam!". Langit pun melenggang pergi dengan mobil silvernya, meninggalkan Senja yang tertangkap kaca spion cemberut terlihat kesal.
Langit tersenyum lagi tanpa sadar. Entah kenapa gadis itu mengingatkan dia akan teman kecilnya, siapa tadi namanya? Bahkan Langit tidak bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNA di LANGIT SENJA
Teen FictionEhm bagaimana kalau kita bertiga berjanji?" Luna memberi ide, membuat dahi Senja mengkerut bertanya, Langit diam berfikir tentang judul profesi yang lain. "Iya...minggu depan Luna berusia 10 tahun , nanti 16 tahun ke depan, disini, pada tanggal ya...