Musim penghujan telah mengintip, menggeser kemarau yang kering. Panas itu berganti sejuk, bahkan nyaris dingin. Luna merapatkan blezer kerjanya, pandangannya beredar menyapu semua kemacetan di sekitarnya. Inilah ibu kota, magnet bagi sebagian manusia yang ingin memperbaiki nasib, menawarkan gemerlap kehidupan . Ada memang yang sukses meraih mimpi disini dengan kerja keras, dan komitmen yang luar biasa tentunya. Namun, tak sedikit yang terjebak dalam kepahitan hidup, tanpa iman, prinsip dan kepercayaan pada dirinya sendiri. Semua hal tentu tak akan lepas dari sebuah resiko. Selalu ada dua sisi dalam hidup, susah-senang, gagal-berhasil, hitam-putih, termasuk pro-kontra. Sederhana sebenarnya hidup ini bukan? Sesederhana caranya berfikir, ketika siang tadi beberapa jurnalis serta senior di kantor tak menyetejui ide Luna untuk menjadikan Dokter Raditya sebagai profil di salah satu rubrik majalah yang dikelolanya. Tak ada masalah seharusnya, mengangkat dokter muda yang terkenal baik dan jenius tersebut sebagai tokoh di majalahnya, terlepas dari kasus yang tengah beredar. Bagaimanapun, sisi semangat, kerja keras, komitmen dan kesetiaan akan profesinya selama ini bisa dijadikan salah satu bentuk keteladanan. Namun lagi-lagi, selalu keburukan akan lebih cepat terekam dalam otak dan berkembang pesat membentuk opini negatif, menutup segala kebaikan yang terdahulu. Ada sesuatu yang sering dilupakan orang, bahkan selalu ada alasan dari setiap kejadian, dan tentu saja berlaku pula untuk dokter Raditya.
Bulir-bulir air di jendela mobil mengalir turun bergantian, meliuk-liuk indah membentuk bayangan. Luna membenak tanda tanya dalam hatinyas ebelum akhirnya meluncurkannya ke dalam kata kepada pak Kosim,
"Pak Kosim, bapak tahu dokter Raditya?" tanya Luna kepada sopir yang telah mengabdi kepada keluarganya sejak kecil itu
"Dokter Raditya siapa non?" pak Kosim mengerutkan dahi, tampak sedikit berfikir
"Lupakan pak, mungkin memang dokter Langit Raditya tidak seterkenal itu" Luna mengurungkan niatnya bertanya, ragu kini mulai menggerogoti keyakinannya. Benarkah dokter Raditya adalah pahlawan orang-orang tak mampu yang biasa dia dengar selama ini?. Luna memang tak mengenalnya dengan baik, bertemupun belum pernah, hanya sesekali menonton televisi atau mendengar cerita dari Rama tunangannya. Tapi, bukankah keputusan telah Luna buat? Terlepas dari segala resiko yang akan membuntutinya, semuanya harus Luna tanggung.
"Adugh, maaf non!!" tiba-tiba pak Kosim menginjak rem mendadak, membuat Luna sedikit terpelanting ke depan." Itu, kalau dokter Langit yang non Luna maksud adalah orang itu, bapak kenal non" pak Kosim menunjuk seorang pejalan kaki yang hampir ditabraknya tersebut. Dengan senyum sopan dokter itu berlalu setelah sepertinya mengucap permintaan maaf karena kurang berhati-hati.
"Tunggu sebentar di sini pak?!" Luna tiba-tiba meloncat turun dari mobil, tak peduli tubuhnya basah oleh hujan, tak peduli tatapan-tatapan pengemudi yang lain. Sekuat tenaga dia berlari menerobos kemacetan petang ini, mencoba mengejar siluet dokter Raditya. Luna ingin sekali menemuinya langsung, Luna ingin tahu kebenarannya. Setidaknya akan sedikit memiliki alasan untuk mengikis segala ragu itu, untuk sedikit membuatnya tegar berdiri di kukuh pada keputusannya. Karena sungguh ini tak mudah untuknya, Luna sungguh penasaran dengan dokter Langit, walau dia sendiri tak mengerti apa yang membuatnya yakin bahwa dokter ini tak bersalah, ada alasan dan ada kebenaran yang masih tenggelam di dasar.
Luna masih berlari, menghindari apa saja di hadapannya, menajamkan mata. Dengan nafas tersengal dia mencoba mengejar bayangan dokter Raditya, namun ketika suatu tikungan bayangan itu menghilang, Luna sungguh tak bisa menemukannya. Dengan sedikit gontai gadis berjilbab itu kembali ke mobilnya, namun smangatnya tak padam begitu saja, masih ada hari esok, berarti masih ada harapan.
***
Deras, hujan di luar mengguyur deras, dingin menikam ke dalam tulang Langit. Perasaan bersalah itu masih mencuat di hatinya tak terkurangi sedikitpun. Jiwanya kian tak tentram jauh dari kehangatan, dia ingin menghilang sebentar, melupakan segalanya sejenak. Maka lima menit kemudian dengan santainya Langit mengembangkan payung yang bersandar di teras depan, tanpa mempedulikan pertanyan Tegar di ruang tengah. Langit hanya ingin pergi sejenak, mengikuti langkah kakinya di bawah hujan, menikmati dingin ini sendirian.
Tak ada tujuan, Langit hanya berjalan lurus tak tahu kemana kaki menuju. Sementara hujan mulai mereda dan petang mulai menghias ibu kota. Langit masih melangkah dalam lamunan, dalam pikirannya sendiri. Wajah rupawan itu terlihat begitu lelah, kesepian, dan sedih. Sesekali teringat wajah-wajah pasiennya yang tersenyum bahagia karena sembuh dari penyakit, lalu berganti cepat dengan korban donor ginjal itu, kemudian bergeser lagi ke masa kecilnya, Langit merindukan Luna dan Senja. Dan hatinya kian terasa perih.
"Jika kamu merindukan kami, pejamkanlah matamu Langit, dan yakinlah dimanapun kita, kita akan selalu ada di sini, di dalam hati. Dan mungkin saja keajaiban itu ada,,aku atau Luna akan di hadapanmu, begitupun sebaliknya" kata Senja kecil, ketika Langit kala itu dijemput oleh kedua orang tuanya, kembali ke ibu kota.
"Iya Langit, kita adalah sahabat. Dan kita akan ada disaat yang lain membutuhkan" Luna mengusap bahu Langit kecil, diikuti tinju ringan hadiah perpisahan Senja.
Langit tersenyum sinis, kembali ke dunia nyata. Dasar anak-anak!! Apa yang mereka tahu waktu itu? Dunia yang serba berwarna, tak ada hitam, tanpa abu-abu, terang benderang tak ada gelap. Nyatanya, hidup berjalan tak seindah impian kecilnya, yah! Mungkin dia berhasil menjadi dokter karena kerja kerasnya selama ini . Tapi apa??? Dokter macam apa ku ini???.Hatinya berteriak kencang dan seperti reflek atau dorongan hati yang tiba-tiba Langit memejamkan matanya, berharap Luna atau Senja muncul di hadapannya. Dan sebuah suara klakson mobil membuat matanya terbuka. Langit hampir tertabrak mobil yang dikemudikan pak Kosim, dimana ada Luna di dalamnya.
***
Senja putus asa, setelah lebih dari setengah jam dia berusaha mengganti ban mobilnya yang pecah dan tidak berhasil. Hujan mulai turun bersama petang yang mengudara, dan disinilah Senja tak bergerak di tepi jalan sepi, sendirian. "Ya Allah, kenapa aku begini bodoh??". Mana tahu Senja bagaimana mengganti ban, mana bisa dia mengerti kegunaan dongkrak? Bukankah sejak Senja memiliki mobil sendiri Dava selalu ada untuknya, mana pernah Senja sekalipun melakukan servis atau mencucikan mobilnya sekalipun. Semuanya Dava yang mengerjakan, dan sekarang setelah Dava tak ada Senja tak tahu harus berbuat apa, dia menyesal terlalu bergantung ke Dava kemarin. Penyesalan yang sungguh menyesakkan. Sedih sekali rasanya hari ini, Senja tak tahu harus bagaimana, dan ketika hujan semakin deras, Senja terduduk di tepi jalan, merunduk tak berteduh, dan di tengah letihnya hidup yang dirasakannya Senja mulai menangis. Menangis tersedu, mengeluarkan sesak yang dipendamnya sendiri, tanpa punya tempat untuk berbagi. Senja memejamkan mata, rindunya meluap-luap kepada orang-orang terkasihnya, ayah, ibu, tak terkecuali Langit dan Luna. Dalam naifnya diri, Senja berharap keajaiban itu datang, menemukan sahabat-sahabatnya itu ada dihadapannya. Senja menggigil, dingin merajam tanpa ampun tubuh kurusnya, bibirnya membiru. Letih dirasanya sangat, semua energi serasa pergi, Senja mulai tak tahan, dia ingin beranjak dan berteduh, namun ketika dia membuka mata dan samar-samar melihat sosok pemuda berdiri dihadapannya, saat itu juga semuanya menjadi gelap. Senja pingsan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNA di LANGIT SENJA
Teen FictionEhm bagaimana kalau kita bertiga berjanji?" Luna memberi ide, membuat dahi Senja mengkerut bertanya, Langit diam berfikir tentang judul profesi yang lain. "Iya...minggu depan Luna berusia 10 tahun , nanti 16 tahun ke depan, disini, pada tanggal ya...