SEBUAH BERITA DI KORAN PAGI

23 2 0
                                    


         Pagi hari, awal suatu impian menggantung, pintu-pintu harapan tebuka lebar, serta janji-janji kehidupan di jelang. Dimana kembali semua manusia disibukkan dengan rencana-rencana, rutinitas harian, menyamarkan jutaan perih kemarin. Itulah pagi, selalu indah dan mempesona bagi Luna, lihat saja baru empat puluh menit jarum jam beranjak dari angka enam, gadis itu telah duduk manis di belakang meja kerjanya. Sepi? Jangan ditanya, baru Luna, satpam penjaga kantor dan Parto, OB yang berbaik hati menyajikan kopi panas kegemaran si manager muda ini.

        Tak ada yang heran jika Luna selalu tiba lebih awal dari para staf dan karyawan yang lain. Luna mencintai pekerjaannya sebagai jurnalis, sebagai manager muda dan penanggung jawab sebuah majalah remaja ternama di ibu kota, Luna cukup memiliki dedikasi. Terlepas dia adalah putri pemilik perusahaan tersebut. Luna suka menulis dari kecil, apapun itu, setiap kejadian, peristiwa, cerpen. Macam-macam piala pernah dia peroleh dan berderet di kamarnya, tumpukan cerpenpun tesimpan rapi, apalagi buku diary. Namun satu hal yang Luna tak mengerti, tentang sesuatu yang menghilang. Bagian tertentu ingatan masa kecilnya mengabur. Hal lumrah, jika memori tentang masa balita atau taman kanak-kanaknya samar bersamaan berjalannya waktu. Tidak berlaku untuk anak usia Sekolah Dasar seharusnya. Namun, inilah kenyataannya. Luna hanya ingat teman-teman SD nya semasa kelas enam, lalu kemana bagian memori sebelum itu?. Apakah dia menderita kelainan otak? Kehilangan memori? Atau apalah namanya?. Luna tak tinggal diam untuk tahu. Pernah Luna memerikasakan diri ke om Wirya, dokter spesialis keluarganya, bertanya ke saudara-saudara dan teman-temannya, termasuk kepada kedua orang tuanya. Hasilnya, Luna divonis sehat dan tak ada memori hidupnya yang hilang, namun kenapa hati Luna tak bersedia tenang?. Luna tak mengerti.

      Luna menyeruput kopi panas dihadapannya, berharap bersamaan kehangatan yang menjalar, hatinya ikut lapang menerima kenyataan. Namun, ternyata tak semudah yang diharapkan, sesuatu mengganggu pikirannya, kenapa tak ada selembar fotopun yang menceritakan kejadian masa kecilnya sebelum kelas 6 SD? Kenapa pula tak ada segores tulisanpun yang menerangkan masa-masa itu di diary Luna kecil. Bukankah dia sangat suka menulis? Ada yang salah sepertinya, terlebih sikap mama yang suka berlebihan mengenai larangan Luna bermain ke pantai, padahal dia telah dewasa saat ini. Entahlah, semakin Luna ingin percaya, semakin sering mimpi-mimpi itu muncul. Tentang bocah perempuan kurus, ombak sore hari, langit Senja. Dan kemarin ada bocah laki-laki di mimpinya, samar -samar dia ingat anak perempuan kurus itu memanggilnya Langit. Langit? Siapa Langit?. Siapa pula Senja?. Kepala Luna tiba-tiba berdenyut kencang demi mengingat itu semua. Siluet dua bocah itu bermain di kelopak mata. Luna memejamkan mata, berdiri dari tempatnya berada, mencoba menghilangkan gelisah yang kian tak berarah, beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu, namun tangannya tanpa sengaja menjatuhkan koran yang diletakkan Parto di tepi meja. Langit? Luna melihat nama itu tercetak besar besar di halaman depan, buru-buru dibukanya koran lebar-lebar demi melihat judul headline berita hari ini dan demi nama yang sepagi ini sudah membuatnya gelisah. " KEGAGALAN DOKTER LANGIT RADITYA". Dokter? Langit Raditya?. Rumah sakit Cahaya Sejati? Sepertinya semua ini begitu akrab di telinga Luna. Atagfirulloh! Bukankah Rumah Sakit Cahaya Sejati adalah tempat dimana Rama, tunangannya bekerja? Mungkinkah dokter Langit ini sama dengan dokter Raditya, teman seprofesi Rama?. Luna mendesah, ketika benaknya menautkan Langit di mimpinya dengan semua ini, dia menggeleng pelan, mungkinkah ini hanya kebetulan?

***

Senja terkulai lemas di balik meja kantornya, semangatnya tiba-tiba saja menguap. Tumpukan file kasus dipandanginya dengan nanar, entahlah tak biasanya dia seperti ini. Dan tak seharusnya dia seperti ini. Senja adalah wanita tangguh, tak tergoyahkan dalam keadaan apapun, berdiri dalam kemandirian dan tanggung jawab yang luar biasa. Lihat saja, wajah anggunnya terlihat pias tak berekspresi dan dingin itu tetap tersirat disana. Apa yang menganggunya? Sebentuk sosok diam-diam memperhatikannya dibalik celah gerai kaca, dari ruangan seberang. Senja adalah gadis yang dengan mudah memporak-porandakan perasaannya, salah, lebih tepatnya gadis itu mampu membuat siapa saja jatuh cinta dengan mudah kepadanya. Walau sebagai rekan kerja hampir dua tahun, pemuda itu jarang sekali melihat senyum tertoreh di wajah gadis itu. Hanya sesekali, ketika Senja bersama seorang pemuda yang kabarnya kini mengikuti study lanjut ke luar negeri. Dava atau entah siapalah nama pemuda itu, yang tak terlalu penting baginya. Dia hanya ingin menikmati pendar optimisme dan semangat Senja yang sepertinya kian meredup. Jika Allah mengijinkan, dia ingin menjadi perantara yang bisa melukis senyum di wajah gadis itu, menjaganya seumur hidup dan entahlah, dia seperti melihat mendung yang terselip di dingin wajah ayu itu. Hfffff, Ya Tuhan, seandainya hamba bisa memiliki ciptaanmu yang indah itu. Doa lirihnya mengalun dalam senyum pengharapan yang tulus. Dan semua harapan itu harus berjeda sementara oleh nada dering handphonenya. Dengan malas-malasan mengalihkan perhatian dari gadis berjilbab di seberang ruangan, pemuda itu menekan tombol answer di handponnya.

"Ya, walaikum salam,,,alhamdulillah tante baik..tante bagaimana?...Apa? Berita pagi ini? Belum tante, ya..nanti Tegar segera ke sana,,Baik tante,,,Assalamualaikum..."

Pemuda yang bernama Tegar itu terdiam beberapa saat, mencoba mencerna pembicaraan yang baru saja terjadi. Sesuatu yang tidak bagus sedang menimpa sepupu sekaligus sahabatnya, ya,,koran,,!!. Tegar merasa sangat penasaran terhadap isi berita yang membuat tantenya demikian cemas, maka saat melihat Tania recepsionis kantor berjalan di koridor di depannya dengan menenteng koran, Tegar buru-buru meminjam koran tersebut. Dan Tegar mengerti sekarang apa yang sebenarya terjadi setelah melihat headline bercetak tebal di halaman paling depan koran itu, Nama Langit Raditya tertulis disana.

***

" Ram, baca koran pagi ini tidak?" Luna mencoba membuka jalan berkaitan dengan kegundahan yang tak bertepi. Nama Langit kembali berkibar-kibat di benaknya, menyulut rasa keingintahuan yang dalam. Dan ketika tiba moment makan siang bersama sang tunangan, dimanfaatkan Luna untuk mengurangi sedikit rasa penasarannya berkaitan dengan berita koran pagi ini.

"Berita pagi? Hari ini aku belum sempat baca koran sayang, pasien yang harus ditangani sangat banyak, belum lagi rumah sakit sedang ada masalah saat ini, berkaitan dengan...." Rama menggantung kalimatnya, berfikir sejenak dan kembali sibuk ke makanannya

"Dengan apa?. Dengan dokter Raditya, maksudku dokter Langit Raditya? Dokter muda berprestasi itu yang merupakan anak tunggal pemilik rumah sakit tempat kamu bekerja?"Luna mencoba menyelesaikan kalimat Rama.

Rama terdiam, menhentikan kegiatannya makan, dari pertama mengenal Luna dua tahun lalu, kepandaian gadis itu tak pernah diragukannya, intuisinya sebagai seorang jurnalis semakin hari semakin mengagumkan sekaligus mengerikan. Rasa keingintahuannya terhadap kebenaran melebihi manusiak normal. Tak ada yang bisa membuatnya berhenti sebelum dia tahu jawabannya. Rama maklum, tapi tidak untuk masalah rumah sakit tempatnya bekerja dan tidak tentang Langit pula, rekan satu profesinya di rumah sakit. Dokter yang tiga tahun lebih muda darinya itu memang diakuinya pandai, namun tidak saat ini. Lima bulan yang lalu ketika dia dan Langit terlibat dalam operasi pencangkokan ginjal yang untuk kali pertama bagi mereka dan untuk kali pertama pula mereka berada dalam satu ruang operasi menangani pasien semua masih baik-baik saja. Namun, ketika pasien itu meninggal karena diduga ginjal tidak sesuai, semua berujung fatal. Beruntung Rama tidak menjadi tertuduh, karena dokter yang bertanggung jawab penuh terhadap kompabilitas ginjal yang akan dicangkokan tersebut bukan dia tetapi Langit. Dokter muda itu lalai, membuat nyawa pasien melayang, dan mempertaruhkan kredibilitas rumah sakit tempatnya bekerja. Sudah cukup memforsir tenaga dan pikiran kasus ini bagi Rama, dan dia tidak ingin orang terkasihnya yaitu Luna terlibat dalam semua ini. Tidak boleh.

"Ram, kenapa diam?. Apa benar semua ada kaitannya dengan dokter Raditya?" Luna masih tak ingin menyerah, melihat Rama tanpa ekspresi

"Sudahlah Luna, Bisa kan untuk sejenak kita tidak membahas pekarjaan pada saat makan siang ini?" tatapan Rama memohon

"Pekerjaan?" tanya Luna tak mengerti. "Ram, pembicaraan kita ini tentang berita koran pagi, bukan tentang pekerjaan, kecuali,,,,," Kini giliran Luna menggantung kalimatnya, sesuatu seperti berkilat dalam tatapan matanya. Dan sepertinya Rama tahu apa yang dipikirkan Luna.

"Please, sayang....jangan kamu bilang, kamu akan menjadikan Langit profil di majalah kamu? Ini tidak lucu menurutku!!"

"Ram, tak pernah ada seorangpun yang mengatakan tulisanku itu lucu, akan aku buktikan. Kita lihat saja nanti". Senyum Luna berkembang, dengan cueknya dia kembali sibuk dengan menu makan siang, tak peduli dengan tatapan Rama yang melarang, atau entahlah Rama seperti menyembunyikan sesuatu. Luna tak peduli, hatinya mantap untuk menyelidiki semua ini. Kalau Rama tak bersedia membantu, masih ada seribu jalan untuk tahu.

***

LUNA di LANGIT SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang