Kepulan asap rokok berterbangan memenuhi suasana sesak di sebuah bar ternama di sudut kota. Hingar bingar dentuman musik membahana menghentak jantung. Gadis-gadis glamour nan seksi atau hanya sepasang muda-mudi yang ingin bersenang-senang, mungkin para pria hidung belang atau oranng-orang yang sekedar melepas penat dari kejenuhan harian, menari, bercanda menertawakan apa saja atau sekedar menyeruput minuman keras, berusaha sejenak melupakan masalah dan melarikan diri dari kehidupan, sembunyi dari realita, jauh dari rasa ikhlas akan skenario sang Pemberi Nyawa.
Namun lebih dari itu rupanya, bagi seorang pemuda yang duduk di sudut gelap sendirian, entah berapa banyak nikotin yang masuk paru-parunya, bahkan sepuluh gelas alkohol pun tak mengurangi kesadarannya, tak menipiskan nyeri yang menyumbat dada. Tidak, selama dia hidup dia akan menanggung semua itu, menanggung luka dan kekecewaan yang dalam. Langit, lengkapnya Langit Biru Raditya, nama yang elok bukan dan arti tak kalah indah rupanya, adalah matahari di langit yang biru. Benar sekali, orang tua Langit, panggilan akrab pemuda itu ingin putranya seperti matahari, bersinar memberi kehangatan kepada orang lain di birunya langit, bermanfaat dan berguna untuk makhluk lain yang akan memuliakannya di sisi Tuhan kelak.
Langit mendesah, dengan kasar disambarnya gelas dihadapannya yang isinya tinggal setengah, dihabiskan dalam sekali teguk. Hidupnya lebih dari jenuh yang bekepanjangan, jauh diatas memikul berat beban yang disandang, benci, Langit membenci hidupnya, bahkan dia membenci dirinya sendiri yang tak berguna. Setiap manusia dan makhluk diciptakan Tuhan dengan alasan, namun Langit bahkan tak yakin keberadaannya di muka dunia ini beralasan untuk kehidupan seseorang. Kesepian, hanya itu yang dimengerti Langit sejak kecil kala kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter jarang di rumah dan tak punya waktu untuk bersamanya. Ingatan Langit tiba-tiba berlari kencang ke masa puluhan tahun silam saat dengan terpaksa dia dititipkan kepada kakek neneknya di sebuah kota kecil nan indah, berpuluh km dari ibu kota. Di sana udara segar yang hanya akan mengisi paru-paru, tak ada polusi, apalagi macet. Rumah-rumah kecil berderet diantara jalan setapak yang dikelilingi pepohonan. Dan yang lebih special lagi, kota kecil itu tidak jauh dari pantai. Saat itu orangtuanya harus pergi selama tiga bulan ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan. Dan di kota kecil itu Langit merasakan sesuatu yang belum pernah singgah di hatinya.Kedamaian.
Jelas sekali ingatan Langit, indahnya laut, damainya mendengar ombak, hangatnya sinar matahari semua terasa menyenangkan, bersama kakek nenek sederhana yang hidup dengan pemahaman baik. Terlebih karena Langit bertemu dengan kedua anak perempuan itu. Dua orang sahabat yang sangat istimewa baginya. Luna, seperti apa dia sekarang ? bocah ceria nan baik hati itu seperti ibu peri buat Langit, selalu membantu, memberi tahu apapun, mengajari dan berbagi. Apakah dia masih seperti dahulu? Yang jelas memandang dunia ini indah dan akan baik-baik saja. Luna tentu saja dia mungkin sekarang masih indah seperti namanya. Bocah satu lagi, Senja namanya, Langit ingat betapa usil anak itu, selalu menakut-nakutinya dengan cerita karangannya yang dulang-ulang seperti kaset kusut, hantu penghuni pantai, dan anehnya lagi selalu berhasil membuat Langit bergidik. Beda dengan Luna yang lebih dewasa, bila bertemu senja Langit selalu bertengkar, hal kecil sedikitpun bisa menjadi bahan pertengkaran bagi mereka, tapi dibalik itu semua Langit tahu Senja adalah anak yang cerdas dan setia kawan. Bersama mereka Langit berani mengenal mimpi, hal yang tak sekalipun terbersit di benaknya.
" Luna pengen jadi penulis nanti kalau sudah dewasa" Luna kecil tersenyum puas, merasa tepat akan cita-cita yang dipilihnya itu.
"Kenapa? Apa hebatnya penulis?" tanya Langit, masih sibuk dengan istana pasirnya yang belum selesai di bantu oleh Luna
"Ya tentu saja hebat Langit, Luna kan bisa nulis apa aja. Komik, buku, cerita, trus banyak uang. Bisa buat jalan-jalan, membantu orang tak mampu, mendirikan sekolah. Apa saja, termasuk buat beli kamu dapet selusin malah" Senja terbahak sendiri dengan jawabannya, terlebih berhasil membuat Langit mendelik kesal. Luna tertawa melihat dua sahabatnya itu
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNA di LANGIT SENJA
Genç KurguEhm bagaimana kalau kita bertiga berjanji?" Luna memberi ide, membuat dahi Senja mengkerut bertanya, Langit diam berfikir tentang judul profesi yang lain. "Iya...minggu depan Luna berusia 10 tahun , nanti 16 tahun ke depan, disini, pada tanggal ya...