Matahari mulai menukik turun, ketika hujan telah mereda menghembuskan aroma wangi tanah. Biasanya sore begini Langit jika tidak sedang repot dengan pasiennya telah bermandikan keringat pulang joging atau sedang sok pamer gaya di tengah kolam renang keluarga. Bersama Langit, dia akan duduk di teras rumah atau di lantai paling atas menyaksikan tenggelamnya sang Surya, indah nian Langit itu, seperti namanya. Langit bagi Tegar adalah lebih dari seorang sepupu, dia adalah sahabat sekaligus kaka bagi Tegar. Selalu ada di kala dia membutuhkan bantuan. Walau diluar Langit selalu terlihat cuek dan seenaknya, dia begitu dewasa dan penuh kehangatan. Sejak kecil mereka tumbuh bersama, walau jarang bertemu karena Tegar tinggal dan bersekolah di Bandung bersama keluarganya. Namun selepas SMA Tegar memutuskan untuk hijrah ke ibukota demi mencapai cita-cita melanjutkan pendidikan di universitas. Dan semenjak saat itu dia dan Langit sering menghabiskan waktu bersama di tengah waktu luang kuliah mereka. Tegar begitu kagum dengan kerja keras Langit untuk mjenjadi dokter saat itu, betapa kuat dia memegang impiannya itu, betapa yakin dia akan doa dan segala harapannya akan terwujud. Komitmen Langit untuk sukses berhasil membuat Tegar belajar percaya akan impiannya sendiri. Bukan Langit jika berkata tak mampu, bukan Langit jika terpuruk dalam kegagalan, namun kenyataan ini telah begitu hebat rupanya menghempaskan sepupunya tersebut. Ingin Tegar tak mempercayai penglihatannya, namun berkali-kali Tegar mengerjapkan mata, sosok Langit yang tak berdaya tak juga berganti. Wajah bersih itu mulai tak terawat, terlihat kusut dan jauh dari rapi. Menurut tante, semalam Langit pulang larut dan tercium aroma alkhohol dari mulutnya. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan sekarang? Tegar bertanya lebih kepada dirinya sendiri.
Tegar tak bisa diam saja melihat Langit hancur. Langit harus bangkit, Langit tak boleh menyerah, terlepas dia bertanggung jawab atas kematian pasiennya atau tidak, mengenai kelalaian dan kegagalan cangkok ginjal itu, sekalipun Langit bersalah dia harus bertanggung jawab dengan berani sebagai Langit yang dikenalnya selama ini. Namun benarkah Langit bersalah? Semua masih belum jelas. Bukankah ada tiga dokter yang ada di meja operasi itu? Sekalipun ginjal itu bermasalah seharusnya ada pengecekan ulang sebelumnya. Apakah Langit lupa mengeceknya? Tidak mungkin, Langit adalah manusia super teliti bila telah mengenakan pakaian dokter kebesarannya. Mungkinkah ada sesuatu dibalik kejadian ini? Entahlah, Tegar tak bisa mengendalikan insting pengacaranya saat ini karena keterangan baru diperoleh dari ibunda Langit belum yang lain. Tegar juga harus menyelidiki motif sang pelapor menuduh Langit, kenapa tidak dokter lain? Atau kenapa tidak menuntut rumah sakit ? kenapa sang pelapor begitu yakin Langit yang harus dihukum, lagi-lagi entahlah, semua masih sangat transparan sekarang.
***
Adzan magrib berkumandang, mengalun pelan sampai ke gendang telinga Langit, mengusik tidurnya, menggangu lelapnya dan beberapa saat kemudian membuatnya terjaga. Langit membuka mata, memincingkan mata menembus kaca jendela kamar, rupanya sudah gelap, pikirnya. Langit duduk, kepalanya terasa begitu berat, dipandangnya berkeliling, sebelum kesadarannya kembali, dia ingat semalam dia minum sangat banyak sebelum akhirnya tak sadarkan diri sesampai dirumah. Hampir dua belas jam dia tidur, pantas saja dia merasa pusing sekarang, kerongkongannya juga terasa begitu kering. Langit bangkit, mencoba meraih air putih disisi tempat tidur, terhuyung-huyung melangkah, dan jatuh terjerembab karena kakinya tanpa sengaja menyandung buku kedokteran setebal bantal. Langit mengaduh dalam sumpah serapahnya. Benci yang dirasakannya menyulut amarahnya sendiri. Langit benci pada dirinya sendiri, karena dia tak berguna, merasa sangat bodoh, sehingga mengorbankan sebuah nyawa karena kelalaiannya. Dia menyalahkan diri sendiri dan jatuh dalam lubang kegagalan itu. Teringat kembali wajah gadis itu yang begitu muda dan penuh harapan, harus berakhir karena kesalahannya. Arghhhhhhhhhhhh!!!!!!!! Langit menjerit, tak kuasa menanggung beban itu. Meringkuk di lantai dalam penyesalan yang entah ada tepinya atau tidak.
***
Tegar sedang berdoa setelah menunaikan ibadah solat magribnya, memohon jalan keluar yang terbaik untuk Langit, memohon petunjuk kepada Allah, ketika tiba-tiba jeritan Langit membuyarkan segalanya. Setelah menyelesaikan doanya, Tegar buru-buru lari ke kamar Langit, rasa khawatir mengembara, takut sesuatu yang tidak baik menimpa sepupunya itu. Tegar tiba di depan kamar Langit dan miris melihat pemandangan di hadapannya, Tegar mendekat mencoba menolong Langit, namun tanggannya ditepis kasar oleh Langit.
"Aku tak butuh bantuanmu, tak butuh bantuan siapapun!" kata Langit sinis
"Oke, tak masalah. Aku tahu Langit itu manusia kuat bukan? Itulah yang kukenal selama ini. Bukan pria pengecut seperti ini. Semua ada jalan keluarnya,aku disini Langit, semua akan baik saja"
"Yah! Benar selain pengecut, aku juga seorang pembunuh sekarang!" kalimat sarkasme itu kembali diucapkan Langit, membuat telinga Tegar memerah
"Lalu apa? Kamu akan menyerahkan diri ke penjara? Tanpa ingin tahu kebenarannya?. Belum tentu kamu yang bertanggung jawab atas kematian pasien itu. Banyak hal, dan banyak kemungkinan di balik itu semua yang kita belum tahu kebenarannya. Setidaknya kamu menyelidiki semuanya sebelum menyatakan diri sebagai penjahat. Seandainyapun kamu bersalah, semua ada prosesnya. Kamu juga harus mempertanggungjawabkannya dengan berani. Bukan pengecut seperti ini!" suara Tegar bergetar karena marah.
"Lalu apa? Hahhh!!! Lalu apa? Seandainya aku terbukti tak bersalah sekalipun apa pasien itu akan hidup??!!" Tidak bukan???" Langit tak kalah marahnya, rasa sakit menhujam dadanya kini, nyeri karena kegagalan, penyesalan dan sedih sekaligus seperti tegangan listrik bervoltase tinggi yang siap meledak kapan saja.
"Benar, memang dia tidak akan hidup lagi, namun setidaknya setelah kita tahu kebenaran, kita akan menemukan jawabannya apakah Langit Raditya pantas disebut dokter atau tidak? Ataukah dokter Langit tidak lebih dari seorang yang egois dan memikirkan dirinya sendiri. Mana pengabdian yang berapi-api untuk menolong sesama? Mana cita-cata muliamu untuk memberi pengobatan gratis? Masih jauh Langit jika kamu ingin menyerah sekarang?? Sangat jauh cita-cita yang harus kamu selesaikan. Diluar sana masih banyak orang yang mendukungmu. Sekali lagi terlepas dari nanti kamu bersalah atau tidak, kita harus tahu kebenarannya"
Langit terdiam, mata elangnya menatap tajam ke arah Tegar. Napasnya bergemuruh, kepalanya berdenyut kian kencang, terseok-seok menerima memori kejadian saat operasi berlangsung, saat semua harapan tertuju pada keberhasilan operasi tersebut. Lalu senyum-senyum bahagia itu berganti tangisan yang memilukan tiga bulan kemudian. Langit semakin terjatuh dalam rasa sesal itu. Walau disisi lain, dia merasa telah melakukan yang terbaik, dia hampir yakin kalau ginjal yang dicangkokan itu bagus, dia telah memeriksanya sebelumnya. Tapi, kenapa pasien itu meninggal?.Langit tak mengerti sejujurnya, namun hasil tes itu valid. Kesalahan Langit begitu fatal, meluluhlantakkan semuanya, nama rumah sakit, mama, papa, impian-impiannya dan janji itu. Janji belasan tahun lalu kepada dua orang sahabatnya. Janji yang sanggup membuatnya bertahan selama ini, menggapai cita-cita yang bahkan awalnya serasa tak mungkin dia capai. Lalu bagaimana sekarang? Apakah semuanya harus dilepaskan begitu saja, segala kerja keras dan jerih payahnya selama ini?. Langit terpaku berjalan gontai mendekat jendela kamar, disana di warna gelap malam, secercah sinar menggantung di langit,rembulan sungguh terlihat menawan. Dan setiap dia memandang rembulan, wajah kecil Luna akan membenak begitu saja di pikirannya, sama halnya jika semburat jingga terlukis di balik bukit-bukit petang, bayangan Senja kecil akan seenaknya bermain di kelopak matanya. Dimana mereka sekarang? Tak sabar rasanya kemarin Langit menunggu waktu enam bulan mendatang, tenggang perjanjian itu diucapkan. Tak sabar Langit ingin berteriak dengan bangga di hadapan Luna dan Senja, bahwa dia berhasil memenuhi janji itu, menjitak Senja dan mengatakan kepada dunia bahwa dia sekarang berhasil menjadi dokter , bukan tukang parkir, penjual bakso, atau satpam seperti perkiraan Senja dulu. Namun , mungkinkah masih bisa dia lakukan?. Kenyataan malah mengantarkan Langit pada pahit ini.
Tegar mendekati Langit memegang bahunya, mencoba meyakinkan dan menguatkan Langit. "Allah bersama kita Langit, kita hanya perlu yakin dan berusaha, maka nkebenaran akan terlihat, dan apapun yang akan terjadi nanti kamu pasti bisa menghadapinya" Tegar menutup kalimatnya malam ini, tidak terlalu peduli apakah Langit mendengarnya atau tidak, yang jelas Tegar akan melakukan hal terbaik untuk Langit, bukan untuk membebaskannya dari perkara hukum, tapi untuk mengetahui kebenaran. Dan doanya kembali terpilin ke langit, dimana pendar rembulan meliuk indah di atas sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNA di LANGIT SENJA
Teen FictionEhm bagaimana kalau kita bertiga berjanji?" Luna memberi ide, membuat dahi Senja mengkerut bertanya, Langit diam berfikir tentang judul profesi yang lain. "Iya...minggu depan Luna berusia 10 tahun , nanti 16 tahun ke depan, disini, pada tanggal ya...