SENJA ZAKIYAH PUTRI

20 2 0
                                    

SENJA ZAKIYAH PUTRI

Langit menurunkan anugrah Tuhan, bersamaan pendar kelabunya sejenak kemudian jutaan rintik air jatuh ke bumi. Hujan mengguyur ibu kota di tengah malam. Kala hampir sebagian manusia merapatkan selimut di peraduan, tenggelam dalam mimpi indah atau sudah mulai terkantuk-kantuk terbius dingin yang terhembus. Namun tidak begitu dengan Senja. Gadis pendiam itu masih terjaga, lihat saja paras cantiknya yang terbalut jilbab? Terlihat dingin, sangat dingin. Tak sedikitpun senyum itu tersirat, padahal baru siang tadi gadis muda itu berhasil menang di meja persidangan, lagi dia sukses menekuk penjahat-penjahat berdasi yang mengambinghitamkan rakyat kecil. Mereka salah jika berfikir uang bisa membeli segalanya, keliru menganggap semua pengacara bertekuk lutut dibawah harta, manusia-manusia munafik itu pantas terkunci di balik jeruji besi. Masih teringat jelas wajah-wajah sinis yang seolah tak takut apapun itu, dengan sombongnya mereka merendahkan manusia dengan semena-mena, lupa jika masih ada Tuhan yang Maha Kuasa dan dengan mudah menurunkan ketentuanNya. Mungkin tinggal segelintir manusia jujur yang tak terbutakan harta dan kedudukan, dan Senja adalah salah satunya.

Senja Zakiyah Putri, siapa yang tidak mengenalnya? Pengacara muda yang hebat dan jujur, baru dua tahun dia lulus dari sebuah universitas ternama, namun karirnya telah meroket. Cerdas, cantik, dan pendiam. Namun, jangan tanya jika dia berada di depan hakim, dengan lantang dan penuh keberanian suaranya akan membombardir penjahat bagai pesakitan yang tinggal menunggu kethukan palu hukuman. Wajah dinginnya tak menyurutkan kehangatan yang terpancar jelas dari sikapnya. Tanpa disadarinya Tuhan telah menganugrahi Senja kepekaan dan empati yang tinggi tentang perasaan orang lain, bahkan kadang dari gesture atau mimik wajah, Senja bisa mengerti.

Senja merapatkan sweater rajutan ungu yang membalut badan kurusnya, merapatkan syal ke leher, dingin malam menyeruak membuat tulang serasa ngilu dan seperti biasa Senja sempurna menyembunyikan kecemasan di hatinya. Dan bentuk lain dari semburat kegelisahan itu bernama Dava, seorang pria yang setahun terakhir perlahan membuatnya melabuhkan impian masa depan. Bersama Dava Senja berani sedikit menerbangkan perih dan sunyi yang didekapnya sendiri, dia mampu membuat Senja percaya kalau dia istimewa, dan satu lagi dia dan Dava sama-sama pekerja keras dan pantang menyerah. Senja meneguk kopi hangat, mengalirkan di kerkongkongannya, mencoba menepis khawatir yang kian bergulir, alasan kenapa Dava memintanya bertemu selarut ini. Tapi, firasat Senja belum pernah keliru, kala matanya menangkap wajah pria terkasihnya telah berdiri di hadapannya, dia tahu semua tinggal menunggu waktu untuk mengucapkan salam perpisahan.

***

"Senja kenapa menangis?" suara gadis kecil nan manis membuatnya menengok, buru-buru dihapus air matanya. Dia tak terbiasa menangis dihadapan orang lain sesedih bagaimanapun perasaannya.

"Tidak apa-apa menangis saja, aku juga kadang menangis kok" anak laki-laki satunya muncul di sisi Senja dengan senyum . Dua anak itu duduk di samping kanan dan kirinya menatap ke arahnya.

"Kami akan selalu ada untuk Senja" anak perempuan manis itu memeluk Senja. Senja terdiam h tak bergerak dalam pelukannya , rasa nyaman menjalar memenuhi dadanya, diapun menangis tersedu melepaskan semua beban, menyandarkan kepalanya di pundak anak laki-laki di sisinya, lalu jauh terlelap.

"Kriiiiiiingggggggg!" dering suara alarm membuat senja terjaga, terbangun, kembali ke dunia nyata. Senja mencari dua bocah tadi di kanan kirinya, matanya menangkap semua bayangan benda di sudut sudut kamarnya, hanya udara dan kekosongan. Mimpi. Senja tergugu dalam diam, meraba dadanya yang nyeri, sakit menghujam-hujam disana. Lubang dihatinya yang telah menganga puluhan tahun, perlahan tertutupi seiring berjalannya waktu, kini perih itu muncul di permukaan. Senja belajar memahami, belajar menerima, dan sedikit belajar untuk berdamai dengan takdir dan kehidupan, sampai suatu saat Dava membuat usaha kerasnya menjadi sedikit ringan. Dan kini, saat takdir kembali menggerus impiannya, dalam hati Senja ingin berontak, Senja mendadak merasa lelah menjalani semuanya sendiri, jauh dari kedua orangtuanya di kampung halaman. Lagipula, mana tega Senja menularkan beban itu kepada wajah tua ayah ibu. Mereka cukup tahu anak gadisnya sukses, sehat, dan baik-baik saja. Tapi, harus diakui Senja sekarang. Dia kesepiaan.

Bayangan Dava bermain-main di pelupuk matanya, disusul bertubi-tubi latar pantai sore hari, gulungan ombak, jeritan anak gadis itu, semua kembali terlihat sangat jelas. Senja terkesiap, berdiri, berjalan terhuyung meraih air putih di sisi tempat tidur. Hari ini semua getir itu terpaksa dikulumnya sendiri, tanpa ada Dava yang biasa menenangkannya. Dava? Bukankah jika dia mau sedikit egois untuk menahan Dava menerima beasiswa S2 ke Inggris Dava tidak akan pergi, dia akan disisnya sekarang, menemani Senja, menguatkannya, menjadi tempat berbagi. Ah, namun sayang sekali Senja tahu makna sebuah impian yang tak terbeli oleh apapun termasuk mengatasnamakan cinta sebagai alasannya. Bukankah impian itulah yang mampu membuatnya bertahan sampai sekarang, terlebih karena dia telah berjanji 16 tahun lalu, di pantai itu, tempat segala pahit dan getir dimulai. Sejuta pedih itu tiba-tiba kembali bersarang di dadanya, segunung rasa bersalah, walau jelas kerinduan di matanya tak bisa tertutupi. Waktu melesat begitu cepat, delapn bulan lagi tenggang waktu perjanjian itu terpenuhi, namun sampai sekarang, sampai detik ini rasa bersalah itu tak kunjung pergi. Walau tak ada seorangpun yang menyalahkannya atas kejadian masa kecilnya itu, walau telah jauh Senja meninggalkan tempat itu, segala bentuk penyesalan tak kunjung turut menghilang. Seandainya pada saat itu dia bisa tegas melarang Luna berjalan ke tengah laut, andai dia bisa memegang tangan Luna lebih erat, mungkin sahabat karibnya itu tak terseret ombak. Luna? Bagaimana pula kabarnya sekarang? Tak sedikitpun Senja tahu dimana Luna sekarang. Terakhir setahun lalu, saat dia ditemani Dava mengunjungi kota kecil itu, rumah yang dihuni Luna dan keluarga telah kosong. Apa Luna baik-baik saja ya Allah? Bukankah setelah tragedi itu Senja melihat Luna koma di rumah sakit. Seminggu Senja tak mau masuk sekolah hanya ingin menunggu Luna di rumah sakit, Luna masih diam. Sebulan kemudian keadaan Luna masih sama, dan ketika tiga bulan berlalu tak ada kemajuan sedikitpun yang terjadi malah keadaan Senjalah yang memburuk. Senja divonis mendekati depresi oleh dokter karena guncangan hebat dan rasa bersalah yang luar biasa, dan demi kebaikan Senja, orang tuanya terpaksa membawanya menjauh , meninggalkan kota kecil itu, meninggalkan Luna.

Pandangan Senja mengabur, bulir bening kian deras menetes setiap gadis itu mengerjapkan matanya. Sekuat dan setegar apapun Senja hanyalah manusia biasa, gadis muda berusia 25 tahun yang tetap memelihara serpihan-serpihan harapan dalam balutan luka yang mengembara. Dan harapan terbesarnya saat ini adalah bertemu dua sahabat yang akhir-akhir ini selalu menjadi bunga tidurnya. Sahabat masa kecilnya yang menghilang, Luna terpisah karena tragedi itu. Lalu Langit? Sejak dia dijemput orang tuanya kembali ke ibukota, sampai sekarang mereka belum bertemu. Apakah Langit pernah kembali ke pantai itu? Atau Langit pernah bertemu Luna setelah tragedi itu?. Senja tidak tahu. Namun harapan itu terbentuk menjadi sebuah keyakinan, saat Senja tengah selesai sembahyang subuh, harapannya melayang tinggi dalam setiap untaian doa. Ya Allah, ijinkan hamba bertemu kembali dengan Langit dan Luna. Jawabannya adalah iya

LUNA di LANGIT SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang