Sendu

17 6 0
                                    


Wells hanya terdiam, menatap Alfonso yang terbaring dari luar ruang UGD melalui sela-sela kaca yang tidak tertutup rapat oleh tirai putih.

'Tau ga lu? Kalo gue temen kecil lu dulu?' Batin Wells. Mengusap kaca ruangan itu.

Lalu lalang orang-orang di dalam rumah sakit itu seperti tidak mengusik lamunan Wells.

'Dulu, lu bukan anak yang pendiem. Lu cerewet banget. Tapi kenapa lu berubah?' Wells lekat-lekat menatap Alfonso dengan mata lebam dan wajah nanar. Tetesan air jatuh dari pelupuk matanya, membasahi wajah Wells perlahan.

Wells masih tetap berdiri disana, karena dokter belum mengizinkannya untuk masuk ke ruang UGD.

Tak lama ponsel Wells bergetar, hingga membuat lamunannya pecah. Beranjak dari tempatnya berdiri untuk keluar rumah sakit.

"Halo!? Wells?" Ujar suara dari ponselnya.

"Kenapa Ray!?"

"Lu di suruh balik, ada client lu nyariin untuk schedule pembuatan bangunan yang mau lu urus." Jelas Ray.

"Lu gabisa gantiin gue dulu?"

"Mana bisa gila, kan draft filenya ada di elu."

"Tapi, ini Alfonso di rumah sakit."

"Yah mau gimana lagi? Kita gantian jaga tah?" Celetuk Ray.

"Boleh, yaudah lu kesini dulu. Baru gue pergi ke kantor."

Terlihat panggilan ponsel itu sudah tertutup, Wells kembali masuk ke dalam rumah sakit melalui lobi belakang, karena lebih dekat dengan ruangan Alfonso di rawat.

Lima belas menit sudah berlalu, Wells sudah menunggu kedatangan Ray. Ray sudah terlihat diujung koridor tempat Wells berdiri.

"Ini kenapa si Alfonso jadi ada di rumah sakit, Wells?" Ray langsung membuka percakapan karena tidak sempat menanyakan hal ini ke Wells saat di telepon tadi.

"Dia pingsan, dan dinyatakan anemia sama dokter." Jelas Wells, sembari menatap ke arah kaca ruang UGD.

"Hah!?" Ray terkejut, hingga setengah berteriak kebingungan. Membuat banyak mata langsung mengarah ke arah mereka berdua. Hingga akhirnya Ray menundukkan kepalanya beberapa kali ke orang sekitar.

"Iya, begitulah. Gue titip fonso yah. Gue langsung jalan ke kantor." Pamit Wells.

"Iya Wells. Santai aja nah sama gue. Gue pasti jagain dia. Soalnya client kita itu agak rewel sih. Dia gamau gue yang ngurusin dan draftnya sama elu."

"Sip, makasih ya Ray."

Wells pun pergi meninggalkan Ray. Sembari berlari kecil untuk ke depan lobi rumah sakit, dan memesan taksi.

***

Langit kali ini sudah sedikit terlihat cerah, tepat pada tengah hari. Namun tidak dengan perasaan Wells, dirinya hanya berjalan pelan menuruni taksi yang sudah terhenti di depan lobi kantor.

"Wells, cepet!!!"

"Wells itu udah di tungguin."

"Hee ... buruan, jangan klemar klemer."

Suara orang-orang kantor itu terdengar bersautan masuk ke telinga Wells. Dirinya tetap berjalan pelan menaiki tangga menuju lantai 2, seperti tidak bersemangat.

"Maaf, bro. Bisa agak cepet!?" Ucap seorang lelaki yang ada di depan meja kerja Wells.

"Iya, sorry." Ujar Wells, memberi senyum tipis palsu.

"Gue tau mungkin lu ada masalah. Tapi bisnis gue juga gabisa di kesampingin kan?"

"Sorry banget bro."

"Iya gak apa-apa, santai aja. Asal elu ga kebeban aja."

Wells dengan cekatan duduk di meja kerjanya, membuka beberapa file bangunan yang sudah disiapkan. Kemudian menunjukkan beberapa contoh serta bahan-bahan yang dibutuhkan.

:"Oke, gue suka design lu yang ini." Lelaki itu menunjuk ke sebuah design hotel tropical luxury dengan lobi yang disesuaikan enam belas sofa panjang kapasitas tiga orang berwarna peach cream dengan corak gores putih di beberapa bagiannya, delapan buah meja marmer berwarna hitam legam. Sirkulasi udara yang sudah disesuaikan dengan empat puluh persen nya jendela lebar dengan frame pohon palem. Front office dengan dua buah meja panjang tiga kursi. Lavatory berjumlah sepuluh pada bagian kanan dan kiri yang berjarak tiga meter dari front office. Di atas tanah seluas satu hektar.

"Baik, jadi elu mau design yang ini?"

"Iya gue suka design-nya."

"Udah ketebak sih, dari dulu juga gue tau sama kesukaan elu Adelard Gerhana."

"Hahaha, sok tau lu. Urusin aja sono temen kecil lu." Tawa lepas dari lelaki berkumis tipis itu terdengar hingga seluruh ruangan di lantai dua itu. Badannya kurus, tapi terlihat gagah. Tubuhnya tegap. Seperti model.

"Lu kan juga temen kecil gue." Balas Wells dengan ketus.

"Lah, terus ini kenapa elu kaya keliatan bete banget bro. Kaya kaga semangat gitu." Timpal Adelard, mencari tahu.

"Yah, dia ... kena anemia."

Percakapan itu menjadi sangat awkward setelah Wells menjelaskan hal tersebut. Mereka bertiga berteman sejak kecil. Namun Alfonso mengalami amnesia ringan akibat kecelakaan saat usianya tiga belas tahun, dan mengakibatkan ingatan beberapa tahun masa kecilnya hilang. Karena hal ini Alfonso seperti tidak mengenali Wells meski mereka dekat dulunya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang