prolog

32 12 0
                                    

"Di depan sana! Cepat!" Teriakan itu mengudara dengan lantangnya.

Napas-napas muda itu memburu, hormon adrenalin mereka benar-benar terpacu. Jika tidak cepat sampai ke tempat aman, mereka akan melambat ketika adrenalin berhenti mengalir lalu kelelahan. Ketika hal itu terjadi maka malaikat maut akan mulai mengangkat sabit sekelam malamnya kepada jiwa-jiwa yang akan dijemput. Jantung berdegup kencang, memompa darah dengan begitu cepat dalam setiap langkah yang saling berpacu.

Jerit menggema di setiap rungu, seolah menusuk dan mengoyak. Namun, terlambat. Tak ada yang bisa menolong. Semua sudah terlambat, ia sudah jatuh ke dalam jurang yang terlalu dalam untuk diselami. Mendatangi tangan-tangan koyak penuh belatung para zombie. Dalam kondisi terburuk mungkin saja ia akan berubah menjadi salah satu dari makhluk berbau busuk itu.

Hanya karena sebuah pertanyaan yang menginginkan kedamaian, seorang terkorban. Salahkah bila mereka ingin segalanya kembali seperti sediakala? Sebegitu tidak inginkah semesta memihak ke-12 orang yang rindu akan kasih sayang buana yang begitu menghipnotis?

"Aaa! I-itu ... itu---" Seseorang menunjuk dengan jeritan yang kian berdengung di udara, penuh kepanikan. Berhasil mengambil seluruh atensi semua orang yang ada di sana. Matrik kuat tembus pandang penuh debu itu seolah tidak pernah ada. Seolah benar-benar terjadi di depan hidung para remaja tersebut. Rasanya seperti dihujani ribuan belati. Terdiam, tak ada yang bisa diperbuat.

Hera Lyona menatap nanar pemandangan mengerikan di bawah langit yang seperti memiliki beban tersendiri. Di sana, berbaur dengan deraman makhluk tak berakal, bersama dengan suara daging yang dicabik-cabik tanpa ampun, jerit pilu itu perlahan-lahan menghilang dalam luasnya kesunyian. Cairan merah mulai memainkan perannya, mengotori tanah dengan genangan darah. Membuat bau anyir yang begitu khas dengan mudahnya terbawa embus angin dingin yang sendu.

"Berakhir! Sudah berakhir! Semuanya berakhir! Kita pasti akan mati!" Jeritan itu mengawali kegaduhan lain. Wajahnya dipenuhi sirat ketakutan yang sangat kentara. Siapa pun itu tentunya tak ingin mengakhiri hidup. Siapa pun itu, kematian adalah hal yang menakutkan juga dihindari. Tak ada yang ingin bertemu maut cepat-cepat.

"Tenanglah." Mencoba menenangkan, tetapi agaknya rasa takut lebih mendominasi akal sehat. Tangan baik hati itu langsung ditepis kasar dan disusul sebuah bentakan.

"Kau tidak lihat itu? Kenyataan itu! Itu nyata! Takdir itulah yang menunggu kita semua pada akhirnya!"

Daksa tak lagi berjiwa, begitu nahas dalam penjara yang menggerogoti dengan keji. Hera Lyona melihat dengan mata kepalanya sendiri, sesuatu yang ditunjuk temannya hingga begitu histeris. Begitu menarik atensi bercampur gemuruh emosi tak dikenal.

"Aku ... apa ini salahku? Apa karena jawabanku waktu itu ... dia mati?" Hera bergumam samar dengan kedua mata yang sama sekali tak berpaling. Menatap gerombolan zombie yang sama sekali tak waspada.

Memang begitulah manusia, terlalu ahli dalam menyalahkan diri sendiri juga liar dengan insting bertahan hidupnya.

Agaknya hal itu tak bisa dibohongi. Apa pun akan dilakukan manusia untuk tetap hidup. Berkoloni, beraliansi, dan bekerja sama semata-mata untuk saling mempertahankan diri dari kerasnya buana yang tak lagi memiliki afeksi.

Namun, sepertinya realita manusia tak akan semudah itu. Apa yang terlihat belum tentu yang sebenarnya.

"Kalian jangan khawatir! Kita ada satu sama lain. Bersama-sama kita pasti bisa sampai sana dengan selamat!" Ucapan itu, yang seolah selalu berhasil mengambil hati ... berujar penuh aura positif yang menenangkan. Wibawa dan kharisma yang sempurna.

Dua belas orang dengan sebuah tujuan, bertemu dan membentuk suatu ikatan. Pada dasarnya para remaja yang beranjak dewasa ini sama halnya dengan orang lain. Meskipun diawali ketidaksengajaan, nurani pun berperan kala itu, hingga berakhir dengan kekerabatan bak keluarga sendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang tentunya tak bisa hidup sendiri. Tanpa sadar, ikatan teman telah terjalin di antara mereka.

"Teman ada untuk saling melindungi, benar, bukan? Kita tidak akan meninggalkan satu sama lain!"

Teman tak pernah berkhianat, mereka hanya akan datang dan pergi silih berganti. Jika berkhianat, maka ia bukanlah teman, tetapi hanya seorang yang memiliki tujuan terselubung dan akan pergi ketika sesuatu yang diinginkannya tercapai.

Hal itulah yang dipercaya banyak orang. Teman adalah orang yang akan saling bersama dalam suka maupun duka. Ikatan yang saling menguntungkan dan murni. Namun, bukankah hanya dengan sebuah opini saja, dapat mengubah cara berpikir manusia 180 derajat?

Hera Lyona, seumur-umur perempuan itu belum pernah merasakan apa itu kebebasan, kesedihan, kebahagiaan, dan sebuah emosi yang kerap kali ada di dalam sebuah jalinan pertemanan. Dirinya yang selama ini berada jauh tersingkir dari kehidupan sosial itu seolah menemukan cahaya. Namun, kembali dipaksa mengecap kembali kepahitan yang begitu mendalam di sebuah momen yang begitu singkat. Lagi dan lagi. Seolah kesialan selalu tertanam di dalam dirinya dan selalu menghantui dari balik bayang kegelapan.

Perjalanan yang mendasari segala tragedi yang akan terjadi. Bunga kematian mulai mengeluarkan harum dari sang kematian. Kala itu, menit itu, sekon itu. Waktu telah dihitung mundur. Semua telah berakhir.

"Kita harus terus maju!" Menjeda perkataan, seulas senyum kembali ditampilkan. "Setidaknya dia bisa tersenyum melihat keberhasilan kita dari atas sana."

Semua telah berakhir? Sedang bercanda, ya? Lagi pula omong kosong dari mana itu? Segalanya justru baru saja dimulai.

Sebelum malapetaka yang sesungguhnya terjadi.

Tbc

Flowing in The SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang