part 7

5 3 0
                                    

Waktu berjalan mengantarkan rembulan pulang, beriring dengan sinar bagaskara yang menyilaukan penglihatan, menyadarkan kedua belas sekawan itu dari alam bawah sadar. Pagi yang begitu jauh dari kata damai dan tenteram. Bisa kembali membuka mata saja, mereka sudah beruntung.

“Kita harus segera melanjutkan perjalanan,” ungkap Evis yang langsung mendapat anggukan dari semua.

Mereka bangkit. Setidaknya tidak ada lagi kaki-kaki gemetar karena menahan letih, serta peluh yang ikut mengganggu keadaan. Tekad masih tetap utuh, sekalipun runtuh, mungkin atas nyawa yang hirap.

Bunuh diri memang, melanjutkan perjalanan saat siang hari tentu akan memudahkan para zombie menemukan keberadaannya. Bisa saja, antiperspirant yang mereka gunakan mungkin tak akan berefek panjang.

“Lari!” Hera mengomando dengan lantang. Sukses membuat semuanya tersentak. Beberapa zombie tampak mengetahui keberadaannya, yang satu detik saja mereka terlambat bergerak, mungkin sudah berhasil menjadi santapan makhluk-makhluk itu.

Kejar-mengejar yang penuh ketegangan. Degup jantung berpacu sangat cepat antara hidup atau berhenti berdenyut. Aliran darah berdesir hebat ke seluruh tubuh. Langkah yang dipaksa untuk terus bekerja itu akhirnya berhenti. Bersembunyi di reruntuhan batu bata, tampak seperti bekas rumah tua yang terbakar. Napas yang tersengal itu bisa diatur sejenak. Apalagi, menyadari gedung yang mereka tuju sudah bisa dilihat di hadapan. Sedikit lagi. Hanya butuh satu atau dua tambahan kekuatan untuk sampai di sana.

Ika mengusap pipinya yang tanpa sadar telah basah. Untuk urusan menahan air mata, ia bukan ahlinya. Rizma yang melihatnya pun segera merangkul, mengusap pelan bahu Ika tanpa bertanya apa-apa lagi. Sedang Ika berusaha menahannya agar tidak terisak. Bagaimanapun, menyerah tak pernah ada dalam kamusnya.
 
“Bagaimana jika makhluk sialan itu mencium bau kita?” tanya Thania dengan napas yang tersengal. Raut kekhawatiran itu sukses menghiasi wajahnya. Menyadari bajunya yang telah basah berbalut keringat.

Perkataan itu seolah menjadi ramalan untuk beberapa detik ke depan. Makhluk menyeramkan itu semakin bertambah, menggerogoti batu bata yang menjadi istana persembunyian. Mereka kembali berlari. Melihat garis finish semakin dekat, tentu menambah kekuatan tersendiri. Sialnya, jumlah zombie yang mengejar semakin banyak. Seolah tak ada lagi jarak, barang sejengkal saja. Mereka hampir terkepung.

Dinda berlari sekuat tenaga mengejar ketertinggalan dari teman-temannya. Sesekali ia melirik Nadia di sampingnya yang tengah berusaha menyamai langkah. Lirikan penuh anala kejahatan itu memancar di kedua maniknya.

Dinda mendorong kuat bahu Nadia tanpa aba-aba. Tidak sampai hitungan menit, Nadia sudah menjadi santapan para zombie kelaparan itu. Teriak tak bersuara, ketika daksanya terkoyak, hancur digerogoti mulut yang kini bersimbah darah segar. Seketika aroma khas atas kesadisan menyeruak indra penciuman.

“Nadia! Tolong!” teriak Dinda melengking. Raut wajahnya berganti cemas dan ketakutan. Seakan memiliki dua sisi garis wajah yang berbeda.

Teriakan itu sontak membuat semua yang telah sampai di pintu utama berbalik menoleh ke belakang. Betapa tercengangnya Hera dan yang lainnya melihat pemandangan di hadapannya. Namun, tak ada pilihan lain. Mereka yang masih berteriak histeris harus bergegas masuk ke dalam gedung, jika tidak maka sudah pasti bernasib sama dengan Nadia.

Ruangan berdinding kaca tebal itu tertutup rapat. Sementara gemeretak gigi-gigi tajam dalam mencabik-cabik daging yang semakin hancur itu memenuhi gelombang suara. Mendengung seiringan dengan mencelosnya setiap atma yang melihatnya. Semua bergeming, terlebih Hera yang menutup mulut dengan telapak tangan, meredam luapan hatinya yang terus berteriak. Perlahan matanya memanas, menahan perih yang menyentak secara tiba-tiba. Saat itu juga, waktu seolah terhenti sejenak, menyaksikan nestapa baru.

Dinda tampak tak karuan, ia memilin bibir, menggigit ujung telunjuk, lalu menjambak rambutnya seraya berteriak, mengaku bahwa salah satu temannya itu terlalu lambat berlari, hingga terjebak di kerumunan makhluk menyeramkan yang jumlahnya semakin banyak itu.

“Aku tak sempat menolongnya.” Dinda berkata lirih, seraya menatap kenahasan yang terjadi tak jauh di depannya yang hanya terhalang dinding kaca. Gelagat itu sukses menandakan seolah ia saksi pertama yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika temannya terjebak dan berujung tewas.

Setelah teriakan histeris, kini semua bungkam untuk bicara. Sebenarnya mereka sudah bisa bernapas lega. Berada di tempat yang aman dari para zombie. Setidaknya ada letih yang diistirahatkan, meski harus kehilangan satu anggota teman dengan cara yang sangat konyol.

“Tempat ini cukup aman untuk kita.” Daniel Boston memecah suasana.

Mira menyandarkan punggungnya di dinding. Sejenak ia menghela napas. Matanya terpejam seolah meredam lelah. Febby yang juga ikut duduk di sampingnya melakukan hal yang sama. Lalu memanggil Dinda yang tampak masih bergeming untuk melancarkan sandiwaranya.

Evis mendekatkan wajah ke telinga Pika. Ia berbisik, “Apa kau merasakan suatu kejanggalan?” Suaranya nyaris hilang, tetapi indra Pika masih bisa menangkap gelombangnya dengan jelas.

Sedang pika mengangguk pelan. Ia membenarkan apa yang dikatakan Evis. Namun, hanya karena tak ingin mengundang permasalahan baru, ia mengatupkan mulut rapat-rapat.

“Kau juga merasakannya? Apa sebaiknya kita ....” Pika menjeda ucapannya. Mempertimbangkan kembali perdebatan dalam petemanan yang akan didapat setelah ia mengungkapkannya.

Evis menggeleng singkat. Tatapannya seolah menyampaikan isyarat bahwa hal ini sebaiknya dipendam saja. Mengingat suasana yang sedang kalut karena kehilangan Nadia.

Sementara suara ganas yang melahap mangsanya masih terdengar jelas. Hera terduduk lesu di lantai. Bergeming, tak ada pergerakan sedikit pun darinya. Ia terguncang, napasnya tersengal, degup jantungnya memburu. Apa yang ia saksikan benar-benar di luar nalar. Netra tak berpaling menatapnya dari balik kaca. Melihat kerumunan makhluk sialan yang berebut tubuh salah satu temannya.

Pikirannya kalut. Mengapa kejadian ini harus merenggut nyawa? Siapa selanjutnya yang akan menjadi korban? Sungguh, rasa-rasanya ia sudah membenci semua keadaan di muka bumi. Kecuali pertemanannya yang telah menyalurkan harsa dan kehangatan baru setelah sekian lama menjadi kurungan. Namun, kini pun ia telah kehilangan salah satunya.

Tbc

Flowing in The SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang