Semua memandang Hera. Sedikit cahaya harapan itu tampaknya begitu melimpah. Namun, ekspektasi jauh dari realita. Di tengah keheningan itu Daniel bersuara dengan lantang, mencerca Hera dengan berbagai pertanyaan. "Memangnya sudah pasti ada di sana? Apa jumlah vaksinnya cukup untuk ribuan zombie? Lalu, bagaimana kamu akan menyembuhkannya? Tidak mungkin 'kan zombie yang mendatangi. Semua itu berbahaya, Hera. Kita semua hanya punya satu nyawa."
Thania membelalak mendengar pertanyaan Daniel yang menurutnya ... benar.
"Bagaimana ini," lirihnya ketakutan.
Sedangkan Evis adalah perempuan yang tidak bisa diam saja ketika salah satu temannya dalam masalah. Seolah mengerti dengan apa yang terjadi, secepat mungkin ia menghampiri Thania, mencoba menenangkan sahabatnya yang kini kian ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat, peluh membanjiri setiap sudut wajahnya, keringat dingin bercampur darah sukses menciptakan bau amis yang kian menyeruak.
Hera menatap satu per satu kesebelasan temannya, aura ketakutan terpancar jelas di wajah mereka, terutama Thania. Rasa iba tumbuh seolah menggelitik di bagian ulu hatinya. Netranya terpejam, berusaha memikirkan cara yang tepat agar bisa menenangkan mereka. Teringat akan perkataan Daniel tempo hari, Hera mencoba membuka suara. Itu adalah satu-satunya jawaban yang tepat akan jawaban dari pertanyaan Daniel barusan.
"Zombie adalah makhluk dengan penciuman tajam, sekalipun kita hanya punya satu vaksin kurasa itu sudah lebih dari cukup, yang perlu kita lakukan hanyalah mengubahnya menjadi gas, dengan begitu ada kemungkinan untuk para zombie menjadi manusia kembali, atau ...." Hera menjeda ucapannya, tak sanggup mengatakan kemungkinan kedua yang akan terjadi jika saja gas tetap diluncurkan. Bagaimanapun, para zombie yang tengah mereka hadapi saat ini adalah mahluk yang dulunya sama seperti mereka.
"Atau mereka akan menjadi mayat," lanjut Daniel menimpali.Mendengar penuturan Hera cukup membuat Pika dan kesepuluh teman lainnya menghela napas lega. Ternyata masih ada cara agar mereka bisa selamat dari naungan para zombie sialan ini. Karena, berlama-lama di tempat kumuh serta gelap ini cukup membuat mereka merasa sedikit jengah, tak ada kesenangan, hanya ada suara tangis serta teriakan-teriakan histeris para manusia yang sudah tak tertolong. Benar-benar menyiksa, sampai-sampai untuk sekadar tertawa saja, rasanya sulit.
Setelah beberapa saat berunding, akhirnya mereka memutuskan untuk tetap mengikuti saran Hera, mencuri vaksin dan mengubahnya menjadi gas.
Sial, mereka terlalu bersemangat untuk tetap hidup.
"Bagaimana kalau kita bersiap-siap terlebih dahulu? Hari sudah mulai malam. Kurasa ini adalah waktu yang tepat untuk kita pergi ke sana."
Evis berucap dengan nada lantang, ia melirik singkat semua yang ada di sana. Ia menghela napas panjang, entah ini jalan yang terbaik atau sebaliknya. Evis tak tahu, yang jelas ia hanya berusaha semampunya untuk mendapatkan vaksin yang dimaksud Hera di tempat di mana gadis itu terkurung sebelumnya.
Pilihan mereka hanya dua, yakni mendapatkan vaksin dan mengembalikan semuanya. Atau ... mati di tangan zombie dengan nahasnya.
"Bagaimana dengan lukamu, Nadia? Apa kau yakin bisa ikut ke sana?"
Pika ragu kalau luka Nadia hanya luka biasa, dari bentuknya saja sudah sangat mengerikan. Namun, bagaimana mungkin Nadia hanya diam tanpa kesakitan sama sekali?
Nadia tersenyum kecil, ia menunduk kembali menatap luka di lengannya.
"Aku tak apa, aku baik-baik saja. Aku sangat berterima kasih kepada Daniel, karenanya lukaku ini tak sakit lagi."
Dedei maju, ia berdiri di hadapan Nadia. Ekspresi wajahnya sangat datar, ia mendecih pelan.
"Kau yakin ingin ikut, Nadia? Bagaimana kalau nanti kita semua di sini kena bahaya karenamu?"
Nadia terdiam, ia memalingkan wajahnya. Ucapan Dedei ada benarnya, ia tersenyum miris.
"Maafkan aku, apa aku tinggal di sini saja? Tak mengapa kalau aku berubah menjadi zombie dan membusuk di sini." Nadia tersenyum getir, ia mengusap lembut luka di lengannya. "Terima kasih sudah menyelamatkanku, aku bahagia memiliki teman seperti kalian."
Hera menghentikan gerakannya, ia yang saat itu sedang memasukkan beberapa perbekalan ke dalam tasnya seketika terhenyak mendengar ucapan Nadia yang terdengar sangat menyayat hati.
"Dedei! Sebaiknya kau bereskan barang-barangmu, sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan siapa-siapa."
Hera menatap tajam Dedei, memberi peringatan kepada gadis itu agar tidak berbicara lebih jauh. "Nadia, sebaiknya kau ikut kami. Tak usah dengarkan apa yang diucapkan oleh Dedei tadi, ia hanya melantur saja."
Pika berjalan mendekati Nadia. Menyentuh pundak sahabatnya yang kini tengah terluka, mencoba menyalurkan energi melalui sentuhannya. "Hey, ayo semangat. Kau ingin kubantu menyiapkan semua perbekalanmu?"
Nadia menggeleng, tangannya ia sampirkan pada salah satu lengan temannya.
"Tidak perlu, Pika. Aku bisa sendiri. Terima kasih, ya, kalian semua sudah banyak membantuku hari ini."
Hera tersenyum kecil, kemudian melanjutkan kegiatan yang tadi sempat tertunda. Semuanya mulai mengemasi barang-barang mereka dan memasukannya ke dalam tas.
Setelah selesai berkemas mereka akhirnya sepakat untuk melanjutkan perjalanan, tidak lupa mereka juga menggunakan antiperspirant yang mengandung bahan aktif berupa garam aluminium yang berfungsi membantu mengurangi produksi keringat pada permukaan kulit.
Malam semakin larut, gemerisik dedaunan menjadi melodi yang menemani. Rintihan-rintihan kecil terdengar silih berganti dari satu indra ke indra lainnya. Langkah yang gontai, serta perut yang kini sudah mulai mengeluarkan bunyi, menahan lapar. Mereka lelah, ingin segera berhenti, tetapi takdir berkata lain. Ia seolah masih betah bermain dengan mereka semua. Baiklah, tak ada jalan lain. Saat ini, takdirlah pemenangnya.
"Berhenti!" perintah Ika tiba-tiba. Tubuhnya serasa diserang ribuan balok kayu. Kakinya kelu, tak dapat lagi digerakkan.
"A-aku lelah, bukankah sebaiknya kita beristirahat sejenak?"
Wajah kelelahan Ika sukses membuat Hera dan yang lainnya merasa simpati. Lagi pula, tidak hanya Ika, mereka juga merasakan hal yang sama. Lelah, serta lapar yang semakin menjadi-jadi.
Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Membuang lelah yang telah bersarang.
Saat mendudukkan diri pada tanah yang tak beralas, tak perlu waktu lama, mata itu seolah tersihir dengan sendirinya. Membawa satu per satu jiwa mereka menjauh, berkeliaran pada dimensi lain yang begitu asing.
Seseorang tersenyum, melirik sekilas semua kepala yang sudah terlelap, sesak. Dengan cepat ia menjangkau salah satu kantung yang terletak di saku salah satu temannya, mencoba memberikan sepercik info pada seseorang yang jauh di sana. Berkata dalam bisikan malam, "Kami sebentar lagi akan tiba di markas, bersiaplah."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Flowing in The Soul
Science Fiction(sci-fi - complete) Di dalam sini, kamu dapat menemukan bukti, bahwa manusia lebih buruk dibandingkan dengan iblis. Terus mengalir dalam tubuh. Dia tiba-tiba sudah mengambil alih tubuhmu, sepenuhnya.