Mereka terdiam sejenak, hanya ada suara angin yang berembus kencang.
“Ada!” Semuanya terlonjak kecil, mata mereka seketika tertuju ke pemilik suara. Yakni, Daniel.
“Ada, kemungkinan itu sangat ada! Namun, itu akan membutuhkan effort dan usaha yang melelahkan. Sebaiknya, jangan ke sana, banyak desas-desus tempat itu penuh dengan zombie-zombie mutasi yang jauh lebih mengerikan daripada yang ada di sini sehingga peluang untuk hidup pun sangat kecil,” sambung Daniel. Semuanya menahan napas, tak menyangka berada di posisi yang sulit seperti ini. Terlebih lagi, semuanya sedang berjuang untuk bertahan hidup. Entah hidup sebagai manusia, maupun hidup sebagai zombie di masa mendatang.
Hera teringat dengan masa di mana ia pernah terkurung sebagai objek penelitian. Hera kemudian menceritakan bagaimana dulu dirinya terkurung di suatu ruangan putih dan hanya ada buku-buku yang menemaninya. Setiap ada suara sirine berbunyi, maka saat itulah dirinya bersiap-siap untuk dijadikan bahan eksperimen berikutnya. Eksperimen itu biasanya ia adakan sebulan sekali. Hera tak tahu zat kimia apa saja yang ada di dalam tubuhnya.
“Tak ada yang aneh dalam dirimu?” tanya Evis.
Hera mengangkat bahunya tanda tak tahu apa efek sampingnya. Evis melihat Hera hanya baik-baik saja dan tak ada sikap agresif yang keluar dari sikap Hera selama ini. Evis juga melihat ke arah Nadia, ia teringat Nadia pernah tercakar zombie, tetapi sudah diselamatkan oleh Daniel.
“Bagaimana dengan lukamu, Nadia?” Nadia melihat ke arah Evis dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja sembari mengusap bekas cakaran zombie yang ada di sebelah tangannya.
Di sisi lain, Hera melanjutkan cerita di mana dirinya ketika keluar dari kurungan itu, dia sangat terkejut dengan keaadan dunia yang sudah dipenuhi oleh zombie dan sudah banyak korban yang berjatuhan. Hera melihat dunia dengan kehancuran dan penuh teriakan manusia-manusia yang dikejar oleh zombie-zombie yang menggila.
Dinda, Mira, dan Febby merasa cemas dengan keadaan mereka sekarang. Ketiganya mundur ke belakang, saling menatap satu sama lain seolah sedang bertelepati.
Dinda terlebih dahulu mengungkapkan isi pikirannya, ia berbisik pelan. "Kalian tahu? Aku tak ingin mati, aku masih ingin hidup!"
Mira mengangguk setuju, matanya menatap lurus teman-teman barunya yang sedang berbincang mengenai zombie ganas yang berkeliaran di luar sana.
"Aku juga tak ingin mati sia-sia, Dinda. Bagaimana kalau kita semua tinggalkan Nadia di sini?" sahut Mira tentu saja dengan ikutan berbisik, ia tak ingin teman-temannya yang lain mendengar ucapannya barusan yang tentu saja akan menimbulkan masalah baru. "Kalian tahu? Kalau kita terus-terusan membawa atau pun bersama Nadia, kita semua bisa saja kena bahaya karenanya."
Febby mengangguk setuju, ia menatap lama ke arah luka hasil cakaran zombie yang berada di lengan Nadia. "Sebaiknya kita tinggalkan saja Nadia di sini, lalu setelah itu kita semua mencari penawar untuk menghentikan semua kegilaan ini."
Ketiganya terdiam sejenak, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dinda kembali berbisik, membuat Febby maupun Mira dengan siaga mendengarkan.
"Kalian tahu? Bukan hanya Nadia yang membuat kita semua di sini terancam, tapi masih ada satu orang lagi."
Febby dan Mira mengerutkan keningnya pertanda keduanya bingung dengan ucapan dari Dinda barusan.
"Siapa? Daniel?" Febby mencoba menebak, di pikirannya terlintas nama Daniel.
Dinda merotasikan kedua bola matanya, ia menatap jengah Febby.
"Hey, yang benar saja! Daniel itu penyelamat kita di sini, kita semua sangat membutuhkannya."
Ketiganya kembali terdiam, pikiran mereka sedang dikaluti banyak hal. Terutama mengenai hidup mereka semua yang terancam bahaya.
Banyak zombie-zombie di luar sana yang tentu saja mengincar mereka. Meski sudah mencoba serta membasmi semua zombie, tetap saja semuanya kalah jumlah dengan banyaknya zombie.
Ika yang saat itu duduk di samping Rizma menangis dengan tersedu-sedu. Ia sangat takut saat ini, ia takut kalau ia akan mati setelah ini. Ika tak ingin mati sia-sia, terlebih lagi mati di tangan para zombie. Ia tak ingin, Ika bertekad untuk terus bertahan hidup dan mengalahkan semua zombie dengan apa pun caranya.
Ika mengusap kasar air mata yang mengalir di pipinya, ia menoleh sejenak ke arah Rizma dan mengucapkan terima kasih karena Rizma sudah membantu menenangkannya.
Nadia sadar kalau sedari tadi Febby, Mira, dan Dinda menatapnya dengan terang-terangan. Ia tentu bingung, tetapi lebih memilih diam. Toh wajar karena ketiganya memiliki mata, Nadia berusaha tak memedulikan itu. Ia menunduk menatap luka hasil cakaran zombie tadi, perih dan sakit tentu saja.
Darahnya tak lagi mengucur deras karena Daniel tadi sempat membantunya, Nadia tahu kalau setelah ini ia bisa saja terbunuh dengan tragis oleh zombie. Apalagi dengan adanya luka ini, para zombie tentu saja bisa menemukannya dengan cara mencium aroma darahnya.
Tersenyum miris, Nadia hanya menunduk. Kalau pun ia akan mati nantinya, ia senang sudah mendapatkan teman seperti Evis, Ika, Thania serta lainnya. Ditambah lagi ia mendapatkan dua teman baru yakni Hera dan Daniel, ia sangat berterima kasih pada Tuhan yang sudah mengirimkan orang baik berada di sampingnya.
Nadia tak takut kalau ia akan mati ke depannya, toh ia bisa menyusul kedua orang tuanya yang sudah berubah menjadi zombie. Tak mengapa kalau ia mati di tangan zombie, asal ia bisa bergabung dengan kedua orang tuanya.
"Bagaimana kalau kita pergi ke tempat di mana aku dikurung sebelumnya?"
Suara dari Hera membuat semuanya mendongak secara bersamaan, mereka bingung dengan ucapan Hera barusan.
Bukankah itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa?
Hera paham kalau semuanya tak mengerti dengan ucapannya barusan, ia kemudian menjelaskannya pelan-pelan.
"Maksudku, kita harus pergi ke sana. Aku yakin kalau di sana ada vaksin untuk mengubah kembali para zombie menjadi manusia. Sebaiknya kita bergegas ke sana karena malam akan tiba, dan zombie tak akan bisa menemukan kita."
"Bagaimana kalau kita mati sebelum menemukan vaksin?" ucap Thania dengan nada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.
Hera menoleh cepat, ia mengendikkan bahunya dengan tak acuh.
"Percaya padaku, kita semua akan hidup dan mengembalikan semuanya seperti semula." Hera berdiri, ia menatap semuanya satu per satu. "Jadi, siapa yang ingin ikut denganku?"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Flowing in The Soul
Science Fiction(sci-fi - complete) Di dalam sini, kamu dapat menemukan bukti, bahwa manusia lebih buruk dibandingkan dengan iblis. Terus mengalir dalam tubuh. Dia tiba-tiba sudah mengambil alih tubuhmu, sepenuhnya.