4. Ketiban Rezeki

113 8 4
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Malaikat Mikail nggak akan nyasar bagiin rezeki. Kalau itu memang hakmu, rezekimu, mau di perjalanan ada hujan, badai, atau tsunami, apa yang seharusnya menjadi milikmu akan tetap menjadi milikmu. Tidak akan tertukar dan dibatalkan. Palingan prosesnya lama, harus ada jatuh bangun sebelumnya."

•••

    Jangan berpikir ada sesuatu di antara Rara dan Shaka setelah kejadian beberapa detik yang lalu. Karena sejatinya memang tidak ada apa-apa, kecuali Rara yang menebalkan muka dan menguatkan diri bahwa tragedi celana terbang itu adalah hal wajar.

   "Hati-hati, anginnya kenceng."

    Rara menyambar cepat celana dalamnya dan menyembunyikan benda itu di belakang tubuh. Kenceng dari mana. Celananya saja terbang karena dia tergesa-gesa. "Iya, makasih," balas Rara cepat. Gadis itu menunduk, menghindari tatapan menilai yang Shaka layangkan padanya. Sejujurnya, Rara merasa tidak nyaman. Terlebih lagi setelah kejadian memalukan barusan.

   "Kamu ...."

   "Kenapa? Ukurannya emang L, nggak boleh?" sewot Rara.

   Shaka mengernyitkan dahi. Bukan itu yang ingin dia tanyakan. "Aku nggak lagi bahas itu .... Aku cuma mau tanya, kamu udah selesai masak?"

   Wajah Rara merah padam. Bertambah sudah rasa malunya karena tingkahnya sendiri. Siapa suruh Shaka bicaranya lambat sekali, Rara keburu negatif thingking. "O-oh ..., itu. Udah kok, udah. Udah kutaruh di meja makan semua lauknya, tinggal dimakan aja." Rara mengangkat dagu tinggi, berusaha terlihat pongah dan tidak salah tingkah.

   "Ohhh. Oke makasih." Shaka berbalik badan, meninggalkan Rara yang menutup wajah malu dan menahan pekikan.

Kyaaa! Malu bangettt.

•••

     Alun-alun Lor Surakarta ramai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Alun-alun Lor Surakarta ramai. Lalu-lalang kendaraan silih berganti memenuhi jalan raya yang padat merayap. Sepanjang jalan, becak, taksi, dan delman berjajar rapi seperti para tentara. Pepohonan menari, daunnya bergoyang tertiup angin, menimbulkan nyanyian alam hingga beberapa daun jatuh berguguran. Pesapon sibuk menyapu dedaunan, pedagang cendera mata menjajakan barang jualannya. Turis mulai berdatangan, menyebar luas ke penjuru kota.

Sunat SenatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang