•
"Terkadang, hidup itu lucu. Apa yang diharapkan selalu lari, apa yang ingin dilupakan selalu datang kembali."
•••
Suara bisingnya kota sudah terdengar sejak pukul dini hari, suara opelet dan bus besar terdengar dari jalan besar. Terbiasa tinggal di Temanggung yang merupakan kaki gunung membuat Rara sering mendengar kokokan ayam, tetapi lain lagi dengan pagi ini di mana telinganya disambut keributan di kos-kosan.
Rara menatap jam dinding yang menunjukkan pukul empat lebih tiga subuh. Desahan khawatir keluar dari mulutnya karena sejak tadi kamar mandi masih dibuat rebutan. Gadis itu bahkan belum menjalankan kewajibannya untuk salat subuh karena semua keran dipakai. Rara hanya takut, dia melewatkan waktu yang baik untuk sujud di hadapan Tuhan.
"Wudu di luar aja. Ada mushola di deket sini."
Suara merdu itu membuat Rara menoleh. Ada Shaka di sampingnya, telah rapi dengan setelan formal. lelaki itu tampak tampan dengan snelli dan kacamata yang nangkring di hidung bangirnya.
"Di mana?" tanya Rara tercekat. Masih syok jika Shaka mengajaknya bicara. Malu juga dengan hal memalukan yang terjadi kemarin.
Shaka menunjuk pintu keluar. "Yang jelas di luar."
Tanpa Shaka beritahu pun Rara tahu mengenai hal itu. Bahkan bayi yang baru lahir juga tahu kalau mushola tidak akan mungkin berada di dalam kos-kosan, kecuali mushola rumah—bukan mushola umum yang ukurannya besar.
Rara mendengus, mendelik pada Shaka. Entah dapat keberanian dari mana. Saat hendak keluar mencari mushola, Leah sudah lebih dulu keluar dari kamar mandi—rapi dan wangi siap menjalani hari Seninnya. "Sini, Ra. Gue udah selesai, nih."
•••
Jalan Antariksa terletak di sebelah timur laut UNS atau yang sering disebut Universitas Sebelah Maret. Dari Kos Pulau Kapuk, Rara memilih jalan kaki karena jaraknya yang tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu kurang lebih 7 menit berjalan sejauh 1,3 km hingga Rara mencapai gerbang bagian depan UNS.
Gadis yang mengenakan kemeja putih dan rok hitam di bawah lutut sambil membenarkan tata rambutnya yang diikat menggunakan tali rafia itu masih harus berjalan jauh menuju auditorium kampus yang jaraknya membuat dengkul Rara serasa ingin copot. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada kendaraan umum di dalam kampus. Gadis itu—Rara—menghela napas, membenarkan letak name tag-nya yang miring.
Saat daftar ulang beberapa minggu yang lalu, para maba memang dikumpulkan oleh senior untuk diberi arahan dalam ospek atau orientasi pengenalan kampus. Mereka dibekali daftar barang dan apa-apa yang harus mereka kenakan selama masa ospek berlangsung, baik ospek universitas, fakultas, atau jurusan. Kebetulan, ospek universitas ini masihlah aman, Rara hanya harus mengenakan setelan hitam putih, sepatu hitam, dan mengikat rambutnya dengan tali rafia warna-warni. Beruntung, hari pertamanya itu tidak diwajibkan memakai topi bola atau papan nama menggunakan kardus raksasa. Bisa dikira orang gila kalau Rara berpakaian seperti itu dan berjalan di sepanjang Jalan Ki Hajar Dewantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunat Senat
Romance[ P e n d i n g ] #TWUTER21 #KadentyasPublisher Alesha Amaranggana atau yang sering dipanggil Rara tidak pernah tahu, jika Kota Surakarta akan mempertemukannya kembali dengan Shaka. Entah takdir sedang mendukung atau justru hendak menjatuhkannya...