Bagian 5

1.1K 158 10
                                    

Keputusan Safina sudah bulat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keputusan Safina sudah bulat. Dia tidak akan ikut Rizal untuk ke rumah ayahnya. Masih belum siap bertemu laki-laki itu. Entah sampai kapan Safina akan menjauhkan diri dari ayah dan keluarganya. Rasa takut menghantui Safina ketika kejadian beberapa tahun lalu melintas pikirannya.

"Bunda nggak ikut? Kata Ibu, Bunda mau ikut Hanan ke rumah Eyang?" tanya Hanan pada Safina.

"Nggak. Bunda di rumah saja. Nanti saja ke rumah Eyang. Bunda masih banyak pekerjaan." Safina tersenyum pada putranya. Tersenyum paksa menutupi gejolak di hatinya.

Obrolan mereka terjeda ketika mendengar suara ketukan pintu disertai salam dari arah ruang tamu.

"Ayah," ucap Hanan, lalu bergegas turun dari ranjang untuk menyambut Rizal.

Safina mengikuti putranya dari belakang untuk menemui Rizal. Hanan langsung menyambut Rizal saat pintu terbuka. Safina menginstruksi Rizal untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Mau Fina bikinin teh, Om?" Safina menawarkan.

"Nggak perlu, Na. Om langsung jalan saja. Keburu siang." Rizal menolak, memilih untuk langsung pergi menuju Jakarta.

"Oh, ya sudah. Hanan juga sudah siap. Dari tadi nungguin Om."

"Kamu beneran nggak mau ikut, Fin?" tanya Rizal.

"Nggak, Om. Kapan-kapan saja Fina ketemu sama Ayah." Fina tersenyum getir.

"Fin. Jangan sampai karena satu kesalahan yang  beliau lakukan menutup hatimu dari banyaknya kebaikan yang pernah beliau lakukan dalam kehidupanmu. Jangan menyimpan dendam terlalu lama karena nggak baik buat keadaan hati kamu." Rizal menasehati.

Kepala Safina hanya mengangguk lemah.

Orang bisa saja melakukan kesalahan karena tersudut. Tapi menyalahkannya terus-menerus pun tidak baik. Jamal memang melakukan kesalahan karena sudah menyakiti Safina saat itu, tapi dia melakukannya karena khilaf. Bagaimana mungkin seorang ayah tidak marah saat putrinya hamil sedangkan laki-laki yang menghamili Safina tidak mau bertanggungjawab karena tidak ada bukti. Pengakuan Safina ditolak keras saat itu.

Setelah kepegian Rizal dan Hanan, Safina kembali ke kamarnya. Dia mengempaskan tubuh di atas ranjang. Pikirannya kembali dipenuhi akan kata-kata Rizal dan Wulan. Selama ini, Safina percaya pada dua orang itu karena di saat dia dikucilkan keluarga dan tetangga, hanya Wulan dan Rizal yang mau membantu dan menyemangati agar mempertahankan Hanan saat di kandungan.

Apa aku harus menemui Ayah? Bagaimana kalau nanti aku diusir oleh Bude atau saudara Ayah yang lain? Aku masih ingat jelas perlakuan mereka waktu itu. Sampai sekarang nggak akan bisa aku lupa. Safina membatin.

Lamunan Safina buyar saat mendengar deringan ponsel tanda panggilan masuk. Dia bergegas meraih benda pipih itu untuk memastikan sang penelepon. Embusan napas keluar dari mulutnya ketika melihat nama Wulan tertera di layar ponsel. Safina menggeser layar ponsel, lalu menempelkan benda itu pada telinga. Sapaan salam terdengar dari seberang sana.

"Wa alaikum salam," balas Safina datar.

"Kamu benar-benar, ya. Apa kamu nggak kasihan sama beliau? Kamu lupa kalau Ayah kamu lagi sakit? Dia ingin lihat kamu, Fina," timpal Wulan dengan nada kesal.

"Apa waktu itu Ayah kasihan sama Fina?" tanya Safina balik.

"Safina!"

Safina terdiam saat bibinya terdengar marah.

"Kalau kamu nggak mau temui Ayah kamu, Bibi nggak akan izinin Hanan ketemu kamu." Wulan mengancam.

"Tapi Hanan anak Safina. Kenapa Bibi larang Safina ketemu Hanan?"

"Tapi Bibi yang besarin Hanan. Bibi punya hak dan bisa bujuk Hanan supaya nggak nurut atau tinggal sama kamu."

Sambungan telepon terputus tiba-tiba. Safina menatap layar ponsel karena Wulan mematikan sambungan telepon sepihak.

Kenapa Bibi jadi bela Ayah? Padahal Bibi tahu jelas dan lihat badan aku membiru bekas pukulan Ayah saat itu. Kenapa dia harus menjadikan Hanan alat untuk mengancam aku? Semoga ancaman beliau nggak serius.

***

Safina melangkah cepat menuju teras setelah turun dari motornya. Sejak kemarin Wulan tak membalas pesannya. Safina khawatir jika Wulan benar-benar akan menjauhkan Hanan darinya karena tak mau menemui sang ayah.

Pintu ruang tamu tak dikunci. Safina bergegas masuk ke dalam rumah Wulan. Tujuan Safina adalah kamar bibinya. Wanita itu pasti ada di sana. Benar. Wulan ada di kamar sedang menyusui bayinya saat Safina membuka pintu kamar bibinya.

"Bibi kenapa nggak angkat telepon aku? Kenapa nggak balas chat aku? Bibi serius marah sama aku karena masalah aku nggak mau ke rumah Ayah?" tanya Safina beruntun.

"Ngapain Bibi balas pesan kamu. Bibi serius marah sama kamu," balas Wulan tanpa menatap keponakannya.

Safina mengedarkan pandangan. "Hanan mana?"

"Nggak ada. Bibi nggak akan biarin kamu bawa Hanan sampai kamu jenguk Ayah kamu."

"Nggak. Fina nggak akan ke sana." Safina bergegas meninggalkan kamar Wulan setelah mengatakan hal itu.

Pandangan Safina mengitari setiap ruangan di rumah Wulan. Berharap Hanan ada di rumah itu. Harapannya pupus karena semua ruangan sepi. Entah di mana keberadaan Hanan saat ini. Tak mungkin Hanan ikut bersama Rizal yang sedang mengajar di madrasah.

Apa Hanan di sekolah? Nggak mungkin. Hanan sudah libur sekolah dari kemarin. Tapi bisa saja. Lebih baik aku telepon Om Rizal.

Safina bergegas meraih ponselnya di dalam tas untuk menghubungi Rizal. Tersambung. Tak ada jawaban. Safina mengetik pesan untuk Rizal.

To: Om Rizal
Assalamu'alaikum.
Om, Hanan lagi sama Om nggak?

Pesan sudah terkirim. Safina masih menunggu balasan dari Rizal. Cukup lama dia menanti, tapi balasan dari Rizal belum kunjung masuk. Safina mendesah karena Rizal tak kunjung membalas pesannya. Perhatian Safina teralih saat mendapat pemberitahuan pesan masuk. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat balasan dari Rizal.

From: Om Rizal
Nggak, Na. Kemarin Hanan nggak mau ikut pulang. Dia nginap di rumah Bude Indah. Istri Om belum kasih tau kamu?

"Bibi!" seru Safina sambil bergegas dari posisi untuk kembali masuk ke dalam rumah.

Tatapan Safina tertuju pada sang bibi saat kembali masuk ke dalam rumah dan melihat Wulan sedang duduk di ruang makan. Tatapan Safina mengintimidasi. "Kenapa Bibi biarin Hanan tidur di rumah Bude Asih?" tanya Safina kesal.

"Ya biarin aja. Hanan yang mau, kok. Kamu kalau mau ketemu Hanan silakan jemput sendiri ke sana. Hanan betah di sana karena rame." Wulan membalas cuek tanpa menatap Safina yang berdiri tak jauh dari posisinya.

Safina lupa jika Hanan pernah diasuh oleh budenya saat Wulan masih mengajar. Satu tahun lalu Asih tak lagi mengasuh Hanan karena ada masalah pribadi. Asih adalah kakak kandung ibunya Safina. Entah apa alasannya mau mengasuh Hanan sedangkan saat itu dia ikut mengucilkan Safina.

"Kalau kamu punya banyak alasan buat nggak datang ke sana, Bibi juga punya banyak cara supaya kamu datang ke sana. Cuma Hanan cara paling manjur biar kamu mau ke sana."

Pikiran Safina buyar. Dia beranjak meninggalkan ruangan itu setelah mendengar ucapan Wulan. Tak menyangka jika Wulan akan melakukan segala cara supaya Safina menemui ayahnya. Safina bergegas mengendarai motornya untuk pulang ke rumah. Pikirannya tertuju pada Hanan di sana. Menjemput Hanan, atau menunggu putranya pulang sendiri.

Kenapa Memilihku, Ustadz?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang