Selama bekerja di Turki, Safina mendapat banyak nasihat dari Wulan mengenai agama dan pengeluaran selama tinggal di sana. Safina sempat tak menghubunginya karena malas menanggapi. Bosan mendengar nasihat dari Wulan. Wanita itu selalu menasehatinya agar hemat. Harus ada tabungan atau memiliki investasi untuk masa depan Safina dan Hanan nantinya. Karena sering mendapat nasihat darinya, Safina pun akhirnya luluh. Beberapa tahun bekerja di Turki, Safina bisa membeli rumah yang dia huni saat ini dan beberapa tanah yang kini telah dibangun menjadi ruko. Setidaknya, Safina memiliki tunjangan selama dia tidak bekerja lagi. Pemasukan dia saat ini hanya dari kontrakan ruko dan sisa tabungan selama bekerja di Turki. Apa yang Safina miliki saat ini sudah lebih dari cukup untuk menunjang hidupnya bersama Hanan ke depan.
Lamunan Safina buyar saat ponsel di tangannya bergetar. Pandangannya sontak mengarah pada layar benda. Terlihat nama Wulan menghubunginya. Safina bergegas menggeser layar ponsel, lalu menempelkan pada telinga. Terdengar suara salam dari seberang sana.
"Wa alaikumussalam," balas Safina.
"Kamu di mana?" tanya Wulan.
"Emang habis hujan-hujan gini Fina mau ke mana?" Safina balik bertanya.
"Cepetan ke rumah Kakak sekarang."
"Nggak mau. Lagian Hanan masih tidur." Safina langsung menolak.
"Tumben banget dia tidur jam segini? Apa jangan-jangan dia habis hujan-hujanan?" tuduh Wulan.
Senyum menghiasi raut Safina. Sejak pagi, Hanan berada di rumahnya. Pasca melahirkan, Wulan jadi sensitif. Hanan sering mendapat teguran karena jail pada bayi Wulan, atau Hanan membuat ulah di rumah Wulan. Safina mendapat untung dari kejadian itu karena Hanan menjadi dekat dengannya.
"Kamu tau kan kalau Hanan habis hujan-hujanan nanti malam akan demam. Kenapa kamu biarin dia hujan-hujanan?"
"Kenapa sih, Bi? Lagian cuma sebentar. Habis hujan-hujanan langsung Fina suruh mandi pakai air hangat."
"Sama saja." Wulan terdengar kesal.
"Lagian Fina ibunya, jadi Fina bebas nyenengin Hanan. Dari pada di situ diomelin terus sama Bibi. Herannya, Hanan masih lengket saja sama Bibi," timpal Safina.
"Karena Bibi yang jagain Hanan dari bayi."
"Tapi darah lebih kental daripada air." Safina tak mau kalah.
"Ah, males ngomong sama kamu."
"Jadi cuma mau ngomong gitu doang telepon aku?" tanya Safina mengembalikan topik utama.
"Ah, Bibi jadi lupa, 'kan. Kamu, sih."
"Ih, Fina disalahin."
"Bibi dapat kabar dari bude Asih, katanya Ayah kamu masuk rumah sakit," ungkap Wulan.
"Terus?" tanya Fina malas.
"Kamu nggak ada niatan buat jenguk? Enam tahun loh, Na, kamu nggak pulang ke rumah. Nggak kasihan sama Ayah kamu? Gimanapun dia tetap Ayah kamu, Fina. Beliau yang kasih nafkah buat ngebesarin kamu, Gofar, dan Fani. Ingat, Safina. Kamu darah daging beliau. Masa iya kamu tega nggak maafin beliau dan masih sakit hati karena kejadian waktu itu."
"Fina sudah maafin, Kak. Tapi kalau buat ketemu dengan dia, Fina belum siap. Kejadian waktu Fina dipukuli masih teringat jelas."
"Makanya temui beliau dan kamu ungkapin kalau sanggup. Jangan sampai kamu nyesel kayak kejadian Ibu kamu."
Kalimat terakhir yang diucapkan wulan seakan menjadi belati yang menusuk hati Safina. Ibu Safina meninggal saat dia sedang di tanah rantau. Safina memang menyesal karena tak bisa melihat ibunya untuk yang terakhir kali, tapi dia masih belum sanggup jika harus bertemu dengan sang ayah. Kejadian perih itu masih membekas dalam ingatan dan hati Safina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Memilihku, Ustadz?
Fiksi RemajaHanan tidak bersalah hadir dalam kehidupan Safina meski kehadirannya tak diinginkan oleh semua orang. Dia dan ibunya hanya korban laki-laki yang tak bertanggungjawab. Safina terpaksa mempertahankan Hanan karena tak ingin semakin mendapat dosa besar...