Senyum menghiasi wajah Safina saat mendapati putranya sudah memejamkan mata. Tangan Safina bergerak lembut mengusap kepala Hanan. Setiap kali Hanan tertidur, Safina selalu memerhatikan lelaki kecilnya. Mencari ketenangan dalam raut Hanan yang polos.
"Sering-sering main ke rumah Om Jamal, Fin. Beliau pasti masih kangen banget sama kamu dan Hanan karena lama nggak ketemu. Kalau mau main telepon Gofar saja biar dia jemput pakai mobil aku."
Perhatian Safina teralih pada ucapan Wito, anak ketiga Asih. Dia yang mengantar Safina ke Bogor menggunakan mobilnya atas permintaan Jamal.
"Iya, Mas," balas Safina sambil tersenyum ramah.
"Kamu nggak ada keinginan cari calon ayah buat Hanan, Fin?" tanya Wito.
"Belum ada keinginan, Mas." Safian terdengar malas.
"Belum ada keinginan? Kenapa? Apa kamu masih nunggu tanggung jawab dari Haikal?"
"Nunggu tanggung jawab dari dia? Kayak nggak ada laki-laki lain aja yang lebih baik dari dia, Mas. Tanpa tanggung jawab dari dia, Fina masih sanggup membesarkan Hanan." Safina terpancing.
Balasan dari Safina seakan membungkam pertanyaan Wito. Suasana mendadak hening. Hati Safina pun mendadak bergejolak karena pertanyaan Wito. Safina berhak mengatakan hal itu karena kenyataannya memang tak pernah mendapat tanggung jawab dari siapapun. Lalu sekarang Haikal datang dan akan bertanggung jawab? Terlambat. Safina sudah tidak butuh tanggung jawab orang lain termasuk Haikal dan keluarganya.
Deringan ponsel memecah keheningan. Safina meraih ponsel dari dalam tas karena suara itu bersumber dari ponsel miliknya. Terlihat nama Wulan menghiasi layar ponselnya. Safina bergegas menggeser layar ponsel, lalu menempelkan pada telinga sambil mengucapkan salam.
"Wa alaikumussalam. Kamu jadi pulang sekarang?" balas Wulan diiringi pertanyaan.
"Jadi, Bi. Ini lagi di jalan di antar Mas Wito," timpal Safina.
"Ya sudah, nanti sore saja Bibi suruh Mas Rizal ke rumah kamu."
"Bukan buat jemput Hanan, 'kan?" tebak Safina.
"Nggak. Hanan sudah jadi tanggung jawab kamu sepenuhnya. Mas Rizal ke sana cuma mau menyampaikan amanah dari seseorang sama kamu."
"Amanah apa? Dari siapa?" tanya Safina penasaran.
"Ada, deh. Kamu bakal tau nanti sore."
Safina mengerutkan bibir karena kesal pada Wulan sudah membuatnya penasaran. Setelah mengakhiri obrolan, Safina kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Suasana kembali hening. Safina kembali mengusap kepala Hanan agar membuat putranya nyaman.
***
"Bunda. Ada Ayah di luar," ucap Hanan sambil mengguncang lengan Safina agar sang ibu segera bangun.
Mata Safina perlahan terbuka karena mendengar suara Hanan membangunkannya. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat Hanan persis di depannya memasang raut datar. Tangan Safina terulur untuk menyentuh pipi putranya.
"Kenapa?" tanya Safina sambil mengusap pipi Hanan lembut.
"Ayo keluar. Ayah ada di luar nungguin Bunda," ajak Hanan, lalu beranjak turun dari ranjang.
Safina bergegas duduk, lalu beranjak dari ranjang. Hampir saja lupa jika tidak dibangunkan Hanan bahwa Rizal akan ke rumahnya untuk menyampaikan pesan penting. Setelah mengenakan kerudung, Safina bergegas keluar dari kamar. Dia tertidur setelah menenangkan Hanan karena minta pulang ke rumah Wulan.
Pintu ruang tamu terbuka dan sosok Rizal terlihat sedang duduk di teras rumah. Hanan menyambut Rizal dengan raut bahagia. Safina segera menyuruh Rizal masuk karena tak enak hati sudah menunggu lama.
"Maaf ya, Om. Fina ketiduran karena cape banget," ucap Fina pada Rizal.
"Nggak apa-apa, Fin," balas Rizal setelah duduk di sofa sambil tersenyum ramah.
"Fina buatkan minum dulu," timpal Safina, lalu beranjak meninggalkan ruangan itu untuk menuju dapur.
"Ayah. Hanan mau pulang ke rumah Ibu, tapi Bunda Fina nggak bolehin Hanan. Hanan dikurung sama Bunda di kamar." Hanan mengadu.
"Rumah Bunda Fina rumah Hanan juga. Nggak apa-apa kalau Hanan tidur di sini. Lagian Hanan juga anaknya Bunda Fina." Rizal menasehati Hanan.
"Hanan bukan anaknya Bunda Fina. Kemarin Tante Fani juga bilang kayak gitu sama Hanan. Hanan bukan anaknya Ibu, tapi anaknya Bunda Fina. Nenek Asih juga bilang begitu."
Rizal kembali menasehati dan memberi pengertian pada Hanan jika Safina ibu kandungnya. Wulan hanyalah ibu asuhnya. Sudah berulang kali Rizal memberi pengertian, tapi Hanan kukuh tak ingin mengakui jika Safina ibu kandungnya dan lebih memilih Wulan sebagai ibu satu-satunya. Butuh kesabaran untuk membuat Hanan mengerti. Mereka tidak berhak memaksa.
Secangkir teh hangat dan sepiring camilan sudah tersaji di hadapan Rizal. Safina duduk sofa lain tak jauh dari Rizal. Hanan masih memasang wajah murung karena nasehat Rizal. Safina menghiburnya dengan mengizinkan Hanan menonton serial kesukaannya. Donosaurus.
"Sebenarnya yang mau Om omongin masalah apa? Apa masalah Ayah? Atau masalah Hanan?" tanya Safina membuka obrolan.
Rizal meletakkan cangkir di atas meja setelah menyesap teh didalamnya. "Bukan, Fin. Ini nggak ada hubungannya sama Om Jamal atau Hanan."
Dahi Safina berkerut. "Terus apa, Om?" Safina terdengar penasaran.
Pandangan Rizal beralih pada Hanan di sampingnya. "Kemarin Sofia datang ke rumah buat silaturahmi. Tujuan utamanya karena kamu. Dia ingin kakaknya taaruf sama kamu," ungkap Rizal.
Lidah Safina seketika kelu setelah mendengar ungkapan Rizal mengenai permintaan Ustazah Sofia untuk taaruf dengan kakaknya. Tak menyangka jika apa yang diucapkan Wulan menjadi kenyataan.
"Om juga sudah ketemu dan nanya langsung ke Kahfi waktu mau daftarin Hanan di SD yang kamu minta. Dia serius mau taaruf sama kamu," imbuh Rizal.
"Dia tau kalau Hanan anak Fina?" tanya Safina memastikan.
"Belum. Insyaallah, dia akan menerima kamu apa adanya."
"Tapi Safina nggak yakin. Apalagi Ustaz Kahfi berpendidikan. Dia juga dari keluarga taat agama. Sedangkan Safina? Status Safina nggak jelas. Belum lagi Hanan. Safina nggak bisa taaruf sama dia. Dia bisa dapat wanita yang lebih baim dari Safina." Safina menolak.
"Kenapa kamu jadi pesimis begini, Fin? Kalau dia tau masa lalu kamu dan dia menerima kamu apa adanya, kamu masih akan menolak?"
Mulut Safina kembali bungkam. Memilih untuk menolak sebelum mengungkapkan. Padahal bisa saja ucapan Rizal benar.
"Kamu belum ikhtiar, Fin. Coba ikhtiar dulu, dan kita lihat responnya. Atau Om suruh Kahfi ke sini buat dengerin penjelasan kamu dulu mengenai Hanan? Habis itu terserah kamu atau Kahfi mengenai keputusannya. Om nggak mau kamu menyesal karena sudah menolak Kahfi."
Safina menatap Hanan. Gimana kalau dia menolak aku saat tau kalau Hanan anak aku, bukan anak Bi Wulan. Aku bakal malu di depan dia dan Ustazah Sofia. Tapi gimana kalau dia mau terima aku setelah tau semuanya? Ya Allah, aku harus gimana?
Rizal memberi waktu untuk Safina agar istikharah. Tidak ada jalan terbaik bagi seorang muslim untuk meminta petunjuk saat diberi pilihan dengan cara salat Istikharah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Memilihku, Ustadz?
Teen FictionHanan tidak bersalah hadir dalam kehidupan Safina meski kehadirannya tak diinginkan oleh semua orang. Dia dan ibunya hanya korban laki-laki yang tak bertanggungjawab. Safina terpaksa mempertahankan Hanan karena tak ingin semakin mendapat dosa besar...