The Star 4.0

63 14 1
                                    

***

Shin Ah memarahiku lantaran aku tidak memberinya kabar selama beberapa hari terakhir. Aku meminta maaf padanya dan berjanji untuk mentraktirnya makan siang sebagai permintaan maafku.

Shin Ah bilang dia sangat khawatir padaku sampai-sampai dia hampir menyusulku ke kampung halamanku.

"Lalu mengapa kau tidak pergi menyusulku waktu itu?" tanyaku. Shin Ah mengembuskan napas pelan. "Yah ... apalagi kalau bukan aku yang takut kesasar. Kau tahu aku tidak tahu arah."

Aku tertawa. Shin Ah selalu saja bisa membuatku tertawa dengan segala ucapan atau perilaku konyolnya. Memiliki sahabat yang seperti ini dalam hidupku, aku sangat bersyukur.

"Baiklah, kau mau menonton bersama di tempatku nanti sepulang dari kafe?" tanyaku. Shin Ah mengangguk dengan cepat.

"Oh ayolah, kapan kafe itu membuka lowongan lagi? Aku tidak kuasa melihatmu harus datang ke sana setiap hari dan menghabiskan akhir pekanmu selalu dengan pesanan-pesanan memuakkan itu." Keluh Shin Ah.

Aku bergidik. "Kuharap manajer segera menindaklanjuti hal itu. Aku juga sangat tertekan akhir-akhir ini karena kafe yang mulai ramai. Apalagi di shiftku, jam di mana anak-anak muda mencari tempat untuk mengobrol atau mengerjakan tugas." Balasku. Aku dan Shin Ah mengembuskan napas bersama.

"Kau selesai kelas pukul berapa hari ini?" tanyanya.

Aku mengingat-ingat jadwalku. "Pukul satu siang, mengapa?" tanyaku.

"Kau butuh ponsel, kan? Jangan bilang kau lupa bahwa ponselmu rusak?" balas Shin Ah. Aku menepuk jidat. "Benar juga. Baiklah, temani aku sepulang kuliah nanti. Kau mau?" tanyaku kembali.

"Tentu saja. Aku akan mengikutimu kemanapun kau pergi." Jawab Shin Ah. Aku terkekeh.

"Memangnya kau sasaeng fans?" ucapku dengan kekehan. Shin Ah ikut terkekeh.

"Ya. Aku sasaeng fansmu. Aku sangat sangat sangat terobsesi dengan sahabatku yang sangat brilian ini." Sahunya dengan menautkan lengannya padaku. Setelah itu kami masuk ke kalas.

Sepulang dari kuliah, aku dan Shin Ah mampir untuk membeli ponsel baru. Namun itu percuma juga karena aku tidak bisa memegang ponsel itu jika belum berada di rumah. Akhirnya aku hanya membelinya dan langsung menuju ke kafe. Shin Ah tidak ikut karena harus menghadiri kelas sorenya, jadi aku berangkat sendirian menuju ke kafe.

Tae Joo telah menungguku di sana dengan senyumannya yang khas.

"Maaf aku selalu datang terlambat." Kataku. Tae Joo menggeleng.

"Tidak. Lihat saja jam mu." Balasnya. Aku melirik jam dipergelangan tanganku dan terkekeh. "Benar juga, masih ada lima menit sebelum berganti shift." Ucapku dengan senyuman.

"Baiklah, aku akan mengganti pakaianku dulu." Kataku kemudian berjalan menuju ruang ganti.

Selesai berganti pakaian, aku kembali ke tempat Tae Joo.

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Tae Joo saat kami menata toples-toples jenis kopi.

Aku menoleh padanya dan tersenyum. "Sudah tidak apa-apa. Maaf membuatmu khawatir dan menghilang selama beberapa hari." Kataku. Tae Joo melirikku dan tersenyum miring.

"Kau ini pintar sekali membuat orang lain khawatir, eh?" ucapnya kemudian terkekeh. Aku ikut terkekeh.

"Aku sudah meminta maaf padamu, ingat?" balasku kemudian kami tertawa pelan.

Tawa kami berhenti saat seorang pelanggan masuk dan memesan americano. Tae Joo yang membuat pesanan itu, sementara aku menunggu untuk mengantarkan pesanan itu. Sambil menunggu aku menata kembali beberapa dessert yang dipajang sambil memperhatikan pelanggan yang memesan americano tadi.

The StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang