The Star 11.0

55 13 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Berminggu-minggu setelah percakapan itu, baik aku maupun Renjun tidak menyinggungnya sama sekali. Entah karena Renjun yang tidak mau, atau aku yang terlalu takut untuk menyinggungnya lagi. Itu karena kami sama-sama tahu apa yang akan terjadi jika kami tetap melanjutkan pembicaraan itu.

Ya, aku takut. Aku takut jika aku menyinggung hal itu lagi, aku akan kehilangan Renjun. Dan kurasa Renjun juga berpikir seperti itu. Jadi kami menganggap hal itu tidak pernah kami bahas.

Kami melalui sisa musim panas kami dengan terus bersama hingga akhirnya Renjun kembali sibuk dengan comeback selanjutnya. Dia bilang akan ada projek lagi untuk tahun ini. Dia berharap aku menyukainya walaupun dia tahu aku tidak mengikuti hal-hal yang berbau K-Pop.

Saat ini aku sedang menunggunya untuk makan malam bersama di tempatku. Dia bilang akan menjemputku pukul sembilan setelah aku menyelesaikan pekerjaan paruh waktuku. Saat ini masih pukul setengah sembilan, namun kafe tempatku bekerja sudah mulai tutup karena manajer menyuruh begitu.

Tae Joo menepuk pundakku saat dia baru keluar dari kafe dan mengunci tempat itu. Aku tersenyum padanya.

"Kau sudah selesai membersihkan dapur?" tanyaku. Tae Joo mengangguk yakin.

"Kerja bagus hari ini. Terima kasih atas kerja kerasnya!" kataku.

"Terima kasih atas kerja kerasnya!" balas Tae Joo. Lalu, "mengapa kau masih di sini? Menunggu Shin Ah?" tanyanya. Aku menoleh padanya sekilas kemudian menggeleng.

"Ah ... tidak kok. Hanya menunggu seseorang." Jawabku.

"Seseorang yang kau maksud itu, pasti pacarmu, kan?" katanya. Lalu dia menambahkan, "hm ... aku sudah penasaran tentang ini sejak lama, sebenarnya seperti apa pacarmu?" tanya Tae Joo. Aku tertawa kecil.

"Jadi kau tahu aku sudah punya pacar, ya?" kataku sambari terkekeh. Tae Joo ikut terkekeh.

"Mana mungkin aku tidak tahu. Kau selalu menghubungi seseorang setiap sebelum bekerja dan sesudah bekerja. Jika bukan pacar, siapa lagi?" balasnya. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.

"Yah, dia orang yang sangat luar biasa." Kataku. Lalu, "Dia laki-laki yang berhasil meluluhkanku hanya dengan bernapas. Bahkan aku tidak tahu lagi aku berada di tingkat mana dalam mencintainya saat ini. Namun dia jauh berada di langit atas yang terkadang membuatku ragu apakah aku pantas memiliki hatinya." Jawabku.

"Woah ... kau mengatakannya seperti kau sedang mengucapkan kalimat sajak." Balas Tae Joo. Aku menoleh padanya dan tertawa bersama.

"Jadi, kau berada di titik mana? Mencintainya, atau menyakitinya?" tanya Tae Joo. Aku mengernyit.

Kapan aku menyakiti Renjun?

"Maksudmu?" tanyaku. Tae Joo membenarkan kerah bajunya kemudian menatap langit malam sejenak.

The StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang