22. Diperjelas

1K 114 2
                                    

Kicauan perkutut menemaniku yang tengah bersantai menikmati hawa sejuk di pelataran. Gemercik air dari talang yang jatuh ke kolam ikan tak membiarkan suasana hanyut dalam hening yang ngelangut.

Sembari memejamkan mata, kuhirup dalam-dalam udara bersih yang membuat rongga hidungku dingin. Ketenangan yang kudambakan telah terwujud berkat takdir yang menempatkan jiwaku ke dalam raga perempuan bernama Nayaviva Citrakara.

Ketenangan itu berubah menjadi kerinduan terhadap Mak Lastri. Bagaimana keadaannya saat tidak bersamaku? Semoga ia baik-baik saja. Sedang apakah ia sekarang?

Wajah Arya sekonyong-konyong muncul di depan wajahku ketika membuka mata, membuatku refleks memukul kepalanya.

"Ah maaf! Aku tidak sengaja," ucapku panik seraya mengelus-elus kepalanya yang tadi kupukuli.

Arya terkekeh dan mencekal tanganku yang berada di kepalanya, mengalihkannya ke dada sebelah kirinya.

"Apakah kau juga merasa seperti ini?" tanyanya. Dapat kurasakan detak jantungnya yang cepat, seritmis dengan detak jantungku.

Wajahku memanas, segera kualihkan pandangan dan menarik tanganku. "Tentu saja! Kita kan sehati."

Gelaknya lepas setelah aku mengucapkan kalimat itu dengan buru-buru. Biyung yang mendekat membuat Arya menegakkan badannya.

"Cepat bekerja, Arya!" perintah Biyung tegas. Arya mengangguk lalu memelukku sebelum ia benar-benar hilang di balik dinding samping rumah.

Aku tak mau bertanya apa pekerjaan tetap dari suamiku itu. Aku malu kalau Biyung tahu bahwa aku tak becus memahami kehidupan Arya. Perlahan juga pasti aku mengerti semua tentangnya.

Biyung menepuk pundakku, membuatku mengerjap cepat. Ia tersenyum tipis kemudian berkata, "Aku mempunyai rahasia, yang mungkin akan membantumu."

Aku menaikkan kedua alis. "Rahasia apa?"

"Mempercantik diri. Dengan begitu, Arya akan semakin mencintaimu."

Aku terbengong sesaat, mencerna kata-kata Biyung barusan.

"Apakah sulit?" Aku mulai tergiur. Namun, aku menyadari bahwa mungkin rahasia mempercantik diri itu yang menyebabkan jiwa Biyung terganggu. Lagi pula, jika betul manjur, kenapa ia ditinggal suaminya?

"Cukup mudah, kau hanya perlu mandi bunga sembari mengucapkan mantra. Kalau kau mau, aku akan memilihkanmu bunganya."

🌼

Selepas pekerjaannya rampung, Arya mengajakku berkelana di dalam hutan. Keranjang serta anak panah melekat di punggungnya, pundaknya dijadikan tempat bertengger busur yang akan membantunya menangkap hewan buruan.

“Aku tak bisa memendam ini lagi. Sebenarnya apa sih pekerjaanmu itu?” celetukku sembari berlari kecil menyusul langkahnya yang lebar dan bebas dengan celana merah kedodoran sampai lutut itu.

“Bagaimana bisa aku malah belum memberitahumu.” Ia menepuk jidatnya kemudian mengulurkan tangannya untuk kugandeng supaya kami tetap sejajar. “Karena aku tak bisa memilih, maka aku melakukan semua pekerjaan ini secara berkala. Namun, yang sering kulakukan ialah sebagai angukir.”

Aku mengangguk-angguk. Pantas saja aku sempat melihat ukiran di kayu yang cukup rumit. Kupandangi tangan piawainya yang tengah menggandeng erat tanganku hingga berkeringat. Kudapati gelang kayu berukir naga yang persis melekat di tangan kami. “Jadi, gelang yang dulu kauberikan itu buatanmu sendiri?” Aku menatapnya terang-terangan bahwa aku terpesona padanya.

“Bukankah elok kita punya gelang ini? Orang yang melihat akan takjub dengan kemesraan kita yang berupa benda, bukannya perlakuan tak senonoh yang sering diperlihatkan sejoli di kerumunan.”

Asmaraloka JawadwipaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang