28. Tujuh Purnama

813 111 2
                                    

Rutinitasku sebagai kawula Majapahit tidak selalu monoton. Aku selalu mendapatkan hal baru dari masyarakat yang sering terang-terangan bilang menyayangiku. Katanya, sejak aku hadir di lingkungan mereka, Biyung Mitha tak lagi temperamental dan rumah yang kami tempati makin nyaman disambangi. Tetangga-tetangga hampir setiap hari bertandang ke rumah Biyung, membawa bakal anyaman tikar pandan yang kemudian mereka jual bersama. Menurut tuturan Lakshita, dulu Biyung tidak pernah menerima tamu dan menghindari komunikasi. Namun, ia berubah drastis sejak kehadiranku di rumahnya. Hal itu membuat Yu Nirmala, Yu Arumi, Mbok Siem, dan yang lainnya antusias untuk berbuat baik pada Biyung supaya ia tak lagi terbayang masa lalu kelamnya bersama Wiluya.

Kerukunan itu membuatku kian betah berada di zaman ini, merasa bahwa keseharianku berjalan mulus tanpa ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Tak ada lagi persaingan demi memperebutkan nilai tertinggi. Tak ada lagi ambisi untuk memenuhi tuntutan orang tua yang membuat depresi. Tidak ada lagi tugas kuliah yang membuat kepala mendidih. Penantianku terhadap Arya selama tujuh purnama tak terasa berat. Semua berjalan mulus, membuatku sempat curiga akan ada hal yang membuatku amat terpuruk nantinya, karena roda kehidupan itu berputar.

Tidur lelapku digugah oleh kecupan hangat dari bibir seseorang yang amat kunantikan. Tangis haru menyelimuti kami setelah itu. Arya telah kembali dengan tubuh lebih berotot dan rambut yang sudah dapat digelung sepenuhnya.

"Aku merindukanmu, Kangmas," ucapku disela-sela isak tangis. Aku menunggu balasannya. Satu menit. Tiga menit.

Aku mendongak, kedapatan Arya yang menatapku nanar dengan mata berkaca-kaca. Ada apa?

"Maaf, Nimas." Ia merengkuhku sangat erat dan air mata yang menetes pun semakin deras.

"Ada apa? Tolong ceritakan padaku!" Aku gelagapan melihat suamiku tiba-tiba seperti itu.

Ia tak kunjung menyahut, malah mengulum bibirku dengan anak sungai yang terus mengalir di pipinya. Rasa cemas seketika berganti menjadi gairah. Kami pun melakukan kewajiban yang selama tujuh purnama terakhir tidak kami lakukan.

"Maaf, Nimas," hanya itu yang dikatakan Arya setelah kami memuaskan hasrat yang lama tertahan. Perasaanku ikut teriris mendengar nada pilu penuh penyesalan darinya. "Aku sudah membicarakan ini pada Biyung, dan ia murka. Aku khawatir kau pun akan geram setelah mendengarnya," ucapnya dengan suara bergetar.

"Katakanlah, aku tidak akan marah," balasku sungguh-sungguh karena terlampau ingin tahu, seraya mengusap kepalanya dengan sayang.

"Maaf, aku sungguh minta maaf. Aku ..."

"Lanjutkan, Kangmas.".

"Sebelum berjalan pulang, aku pesta tuak bersama kawan seperguruan. Kemudian di jalan tak sengaja aku menyentuh seorang gadis," jelasnya dengan cepat.

"Keparat! Kau tak berbeda dengan bapamu itu!" bentakku sambil beranjak dari dipan dan bergegas memakai kembali kembanku. Aku terlampau naik pitam, tak siap membayangkan percintaannya dengan perempuan lain. Sebuah pengkhianatan tidak bisa ditoleransi meski itu sebuah keteledoran. Berkhianat itu pastilah ada unsur kesengajaan. Entah itu dari si perempuan sundal yang memancing atau dari lelaki itu sendiri yang tak puas memiliki satu wanita.

Seharusnya aku tahu makna pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Arya sama seperti ayahnya, sama-sama bajingan.

Tak kuhiraukan panggilannya dan terus melesat ke Desa Kapundungan meski butuh waktu berjam-jam untuk tiba.

"Nimas, aku sungguh minta maaf." Arya berhasil menarikku dalam dekapannya ketika aku kembang-kempis di tengah bulakan penuh ilalang yang menjadi batas desa kami.

"Bagaimana kalau gadis itu hamil?! Kau tidak tahu seberapa hancurnya aku mendapat pengkhianatan! Pulangkan aku kepada Emak Lastri!"

"Tidak! Nimas, jangan meninggalkanku!"

Aku menghempaskan lengannya yang melingkari tubuhku kemudian berlari melewati jalur setapak yang sering dilalui kuda. Kilas balik membayangiku ketika melintasi jalan yang menjadi saksi bisu atas perlawananku terhadap tiga bandit, serta saksi ketika aku kepergok Dadari sedang berciuman dengan lelaki bajingan yang gampang tergoda oleh jalang.

Arya mencengkeram lenganku sampai aku tak bisa berkutik lagi. Aku tidak sanggup memberontak, sekujur tubuhku lemas. Air mataku mengucur, mulutku terkunci. Kekecewaan bercokol di relung hati terdalam, membuatku tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

"Maafkan aku, Nimas!"

Aku terkulai, bersimpuh di atas tanah kering yang retak layaknya hatiku. Kututup wajah kemudian merintih atas betapa nyeri dadaku mendapat sebuah pengkhianatan. Tak kuhiraukan dekapan Arya yang seolah-olah tak rela aku pergi barang sejengkal.

"Kau tahu? Selama ini aku menunggumu seraya mendoakanmu yang terbaik. Aku tidak pernah menghalangi apa pun yang kau kehendaki. Aku membiarkanmu berguru di tempat jauh bukan berarti kau bisa bersenang-senang dengan jalang!" Aku merutuk dengan lemah sambil memukul dadanya.

"Aku benar-benar menyesal. Aku tidak sad-"

"Kau harusnya ingat keluargamu! Tidak usah minum tuak segala. Apa gunanya minuman keras yang merusak tubuh itu? Jika mulutmu itu tak hanya membual bahwa kau mencintaiku, mengapa kau bisa tergoda jalang murahan?"

Matahari telah menyorot dari sela dedaunan. Tak ada kicauan bahagia dari burung-burung, seolah tak sudi menghiburku.

"Astaga kalian kenapa?!" seru seseorang yang rupanya ialah Dadari, sedang membawa setandan pisang di dalam bakul.

"Anakku! Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!" Kali ini Emak yang kalang kabut. Ia menjatuhkan bakul berisi kacang-kacangan kemudian ikut bersimpuh untuk merangkulku.

Tangisku lagi-lagi pecah sementara Arya cuma bisa menunduk pasrah. Aku tak mampu membendung ini sendiri.

"Mak, Arya menyetubuhi perempuan lain," aduku lirih. Emak melepas pelukannya kemudian memegang dadanya sendiri. Sementara itu, Dadari menutup rasa terkejutnya, menampakkan raut setenang mungkin seraya membantu Emak berdiri.

"Kenapa? Kenapa Arya? Kau pernah bersumpah padaku untuk tidak membuat putriku menangis," kata Emak, terang-terangan menampakkan kekecewaan.

"Sebaiknya masalah ini diselesaikan di rumah Mak Lastri saja. Sebentar lagi para petani akan tiba di sini," usul Dadari.

Kami berjalan kuyu menuju rumah Emak. Perempuan renta itu sudah lebih tenang dan mengelus punggungku prihatin. Sedangkan Dadari berjalan di belakang bersisian dengan Arya sembari merutuki pria keparat itu.

Entah bagaimana hubungan kami ke depannya. Aku sungguh patah arang pada lelaki itu, tetapi tak ayal rasa cintaku pun sama besarnya.

Asmaraloka JawadwipaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang