SERPIHAN KENANGAN

10 3 14
                                    

Nakula mendengus sebal. Ia diberi tugas untuk membuat laporan keuangan osis. Menyebalkan.

"Nakulaa.. Mau kemana tuh?" Felicya Imita Shalari, gadis centil yang singgah di kelasnya.

Tangannya jail bergelantung di lengan kekar Nakula.

"Lepasin!"

"Mau kemana nih? Ikut dong!"

Ia menghela napas, memutar bola mata malas.

"Ngapain?!"

"Ihh kenapa si.. Kok Nakula kasar banget?!"

"Suka suka gue!"

"Minggir gue sibuk!" ia melenggang pergi setelah menghempaskan rangkulan tangan Felicya.

Sang gadis membelakan mata tak percaya,"Gue di tinggal gitu aja?! Sumpah?!".

"Ish awas aja lo Nakula! Lo bakal jadi milik gue. Apapun caranya!".


~•~•~•~


"Ini sumpah demi apapun gue mimpi apa semalem?! Kenapa gue dapet tugas beginian?!".

Pagi pagi dirinya sudah dibuat sangat jengkel. Pak Sarif wali kelasnya ini tiba tiba memberinya tugas untuk menyapu halaman kelas XI-IPA 2.

Ditambah daun daun kering yang terus berguguran dari pohon besar di sana. Dan sialnya mentari bersinar begitu terik. Dengan perasaan dongkolnya ia menyapu kesal halaman.

"Yang bersih!" suara tak asing mengintimidasinya.

Dengan senyum terpaksa lebih menggambarkan suasana seram, ia berbalik.

"Kan bener si gulungan karpet plastik ini lagi!" bisiknya jengkel.

"Apa lo bilang?!"

"Kenapa ngga terima?! Kakak kelas ngga ada adab lo. Tobat tobat, di azab ngga lulus lo entar!"

Sadewa mengerutkan dahinya,"Kurang ajar lo!".

"Kenapa, ngga suka?! Pergi gih. Jauh jauh dari sini, ngga usah balik!"

"Lo kangen, gue repot" Sadewa bersedekap sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon besar.

Kelana menganga,"Kangen?! Ngga salah denger tuh. Ngapain ngangenin modelan beginian?!".

"Kelainan lo! Buktinya semua cewe rebutan gue tuh!"

"Gue bukan semua cewe itu! Gue nggak akan pernah sama kayak mereka. Kelana tetep Kelana, bukan cewe centil yang ngarepin gulungan karpet plastik!"

Sadewa kehabisan kata kata untuk membalasnya. Sial.

Kelana kembali menyibukan dirinya menyapu sisa sisa daun yang berguguran. Sedangkan Sadewa diam memerhatikannya. Sejumput senyuman terukir di wajah dinginnya.

Pelipisnya semakin basah, dia menyeka keringatnya dari ujung kepala hingga bawah leher. Bajunya juga terasa basah kuyup.

Baru ia mau melangkah kedepan, kakinya tak sengaja menginjak tali sepatunya yang lepas. Sedikit kehilangan keseimbangan. Tubuhnya siap untuk jatuh.
Dengan sigap lelaki yang disana menahannya.

Kelana mengerjap, dia tak merasakan sakit apapun ditubuhnya.

Sungguh dirinya ingin menghilang. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia dapat melihat jelas setiap pahatan garis wajah Sadewa. Bahkan napas mereka saling bertubrukan.

Angin yang berhembus membawa daun daun gugur menambah suasana keromantisan. Helai helai rambut Kelana terbang menyapu lembut wajah sang lelaki.

Diverso ma unoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang