Kotak menyenangkan // Eps. 10

26 2 0
                                    

Rutinitas Ranya bersiap untuk pergi ke sekolah tiap harinya tak ada yang berubah. Seperti sekarang, seluruh orang dalam rumahnya sedang mempersalahkan hal masing-masing hingga satu rumah, seperti berada dalam pasar yang begitu ramai, termasuk dirinya yang kini sedang meributkan kaus kaki yang sudah hilang, ketika sebelumnya ia sudah mempersiapkannya sebelum mandi.

"Ma! Kaus kaki Ranya dimana, kok nggak ada?" teriaknya dari kamar, membuat sang ayah yang terbiasa berangkat siang ke kantornya, mengomel.

"Ranya.. kalau ngomong sama Mamanya yang bagus!"

Ranya yang merasa sebentar lagi akan mendapat ceramah dari sang ayah, langsung turun dari kamarnya, lalu ia melihat mamanya sedang memanggang roti di dapur. "Ma, kaus kaki aku mana?" tanyanya kembali, kali ini lebih lembut, tak lupa juga dengan pelukannya yang selalu ia lakukan tiap pagi.

"Coba tanya Abang, sana," ujar Rain, sudah hafal sekali dengan kelakuan anak pertamanya yang terkadang suka sekali menjahili Ranya.

Sementara perempuan itu kini sedang menatap tajam ke arah Azka, sang pelaku yang menjadi tuduhan mamanya. Tanpa sengaja matanya menangkap kaus kaki yang begitu dikenalnya, sudah terpasang rapih di kedua kaki Azka. Ranya yang melihatnya, langsung menghampiri pelaku yang kini sedang menyengir.

"Bang! Pake punya sendiri dong!" serunya sebal. Alih alih mengembalikannya, Azka terlihat terburuu-buru ketika melihat jam yang melingkar ditangannya. Ia melahap semua sisa rotinya, lalu menenggak susunya secara cepat, "Minjem dulu, gue udah telat, mau nge-print tugas dulu soalnya!" serunya, lalu menjulurkan tangannya pada sang ayah yang duduk di sebrang meja makan, "Yah, jalan, Ma, Abang jalan!" serunya, tak sempat bersalaman dengan mamanya.

"Iya, hati-hati, Abang!

"Bang, kaus kaki Ranya melar nanti!"

Keduanya berseru secara bersamaan, membuat rumah semakin terasa ramai, membuat Reynand yang sedang membaca koran, merasa terganggu. "Suaranya, hei.. kecilin dikit dong.."

Keduanya hanya menyengir, mengibarkan bendera perdamaian, membuat suasana rumah kembali tenang, namun tak berlangsung lama, ketika Ranya tiba-tiba menyeletuk, "Ayah tiap hari baca korannya tentang banjir mulu, mending bikin kolam renang dirumah,"

"Iya, nanti kamu nangis, tenggelem kayak waktu SD,"

Rain tertawa mendengarnya, membuat Ranya semakin cemberut. "Ayah jahat, kayak Abang!" serunya, mengigit roti dengan rakus dan tidak sabaran, membuat selai roti menjadi berceceran di bibir gadis itu.

"Ada es krim di kulkas," ujar Reynand santai, namun mampu membuat perasaan Ranya menjadi terombang-ambing. Rasa sebal dan sedih menjadi satu kesatuan sekarang.

"Ayah.."
"Hmm.."
"Raihan kambuh lagi.. kemarin."

Jelas, kalimat Ranya sudah pasti membuat Rain mendekat pada gadis itu, juga Reynand yang menutup korannya. "Apa yang terjadi, Ra?" tanya Rain, yang merasa begitu khawatir terhadap laki laki itu. Bahkan kini dirinya sudah duduk di salah satu bangku, begitu ingin mendengar jawaban dari Ranya.

"Dia.. dia udah megang pisau, Ma.." lirih Ranya, tak sanggup mengatakannya. Dadanya kian terasa sesak, kala susunan kata itu terucap, membentuk kalimat yang paling dihindarinya.

"Astaga.."

Seperti yang Ranya duga, Rain dan Reynand sama terkejutnya dengan dirinya, "Ra, kamu harus selalu bersama Raihan, awasi dia, jangan sampai kejadian ini terjadi lagi."

"Iya, Ra.. Sebenarnya memang Raihan nggak salah.. dia nggak salah." Sahut Rain, keduanya berpelukan, saling menguatkan untuk memulihkan laki laki itu, meski kenyataannya, mungkin saja tak bisa sepenuhnya.

FriendzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang