48 : Asmaradana (Part 2)

48 5 0
                                    

Maaf udah lama nggak apdet. Ini aku akan mengobati kerinduan kalian. Agak panjang di part ini. Semoga suka.

***

Naya tak habis pikir, sikap Elang padanya semakin hari semakin membuatnya sebal. Entah apa juga yang merasuki Tanu, adiknya yang berbalik membantu cowok itu. Lagian, kenapa juga cowok itu jauh-jauh menemuinya ke rumah kalau hanya untuk membuatnya kesal?

Tunggu!

Kesal? Kesal dengan cowok yang sedang berbincang instens dengan Lastri di seberang sana? Apakah karena Elang mendekati Lastri? Bukankah ia dan Elang tak ada hubungan apa-apa? Kenapa Naya harus kesal?

Hati nurani dan otak Naya seakan beradu mulut. Pikirannya mulai tak waras hanya karena melihat Elang dan Lastri mengobrol dan terlihat akrab. Bahkan Elang menampilkan senyum bak Arjuna yang sedang menggoda kepada cewek itu.

Tanpa sadar, Naya memukul keras saron di depannya, padahal gong belum berbunyi di bait terakhir. Ia terhenyak ketika menyadari bahwa sikapnya membuat latihan gamelan jadi rusak. Gong kemudian berbunyi, menandakan 1 tembang telah selesai, tapi mata para wiyaga yang menjadi rekannya tak terlepas darinya, bertanya-tanya kenapa Naya sampai salah memukul saron padahal sudah gladi bersih. Naya mengutuk dirinya sendiri. Ia teesenyum rikuh dan mengangguk untuk berpamitan. Dengan perasaan kesal, ia beranjak dan pergi menghirup udara segar di luar pendopo.

Aku kenapa, sih? Fokus Nay. Fokus!

Ia meneguk air mineral yang dibawanya. Entah kenapa meskipun ia sudah keluar dari pendopo, tetap saja ia merasa gerah. Ia mengipas-ngipaskan tangannya ke depan muka, berharap mendapat kesejukan. Tak lama kemudian ia terkesiap ketika seseorang mengipasinya dengan buku teks tipis.

"Gerah, ya?" Elang hadir di samping Naya dengan senyum miring khasnya.

"Menurut kakak?" tanyanya judes tanpa melihat lawan bicaranya?

"Kenapa? Padahal sejuk gini udaranya? Yang gerah kamunya atau hati?" ledek Elang.

Barulah Naya melotot ke arah Elang, "Hah? Maksudnya?"

"Udahlah, tinggal bilang cemburu aja kok susah, sih?"

"Apa? Cemburu? Cemburu sama siapa?"

"Sama Lastri, lah."

Deg! Kak Elang tahu?

"Ngapain aku cemburu sama Lastri?"

Elang menaikturunkan alisnya, "Benar kan kubilang? Kamu cemburu?"

"Enggak! Lagian kenapa juga aku harus cemburu sama Lastri?"

"Karena ..."

Duh, apa aku kelihatan banget salah tingkah? Jangan bilang, kak Elang jadi kege-eran dan bilang kalau aku cemburu karena Lastri dekat sama dia.

"Karena kamu nggak bisa kayak Lastri."

"Hah? Maksudnya?"

"Ya bener, kan? Lastri itu udah cantik, sopan, lemah lembut, pinter nari lagi. Sedangkan kamu? Cuma bisa galak sama orang dan nggak bisa menari."

"Apa kakak bilang? Jadi, kesannya kayak aku iri sama Lastri gitu?

Elang mengangguk, "Emang gitu, kan? Makanya kamu kelihatan kesel sama Lastri sampai-sampai nggak fokus latihan."

"Dengar ya, Kak. Aku nggak pernah iri sama Lastri. Aku nggak pernah cemburu cuma karena dia cantik dan pinter nari."

"Oh, ya? Nggak percaya."

Ish, nyebelin banget, sih, kak Elang.

"Terserah!" Naya hendak pergi, tapi Elang menahannya dengan menarik tangannya.

Jewel In The King's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang