13 : Rencana Gila

517 59 2
                                    

Elang menatap tajam gadis di hadapannya, matanya memicing mencari sorot ketakutan dalam mata hitam Naya. Namun, hanya tatapan rasa bersalah yang kini beradu dengan matanya. Ia baru ingat bahwa baru kali ini ia bertemu dengan orang yang bertahan untuk tidak menunduk melihat tatapan tajamnya.

"Maaf, aku lupa ngembaliin kunci ruang klub sepak bola," ujar Naya seraya mengulurkan sebuah kunci dengan bandul berbentuk bola sepak dan sepatu. Sejenak, tak ada respon dari Elang yang tetap bersandar di kusen jendela lorong dan membagi pandangan antara Naya dan kunci di hadapannya tanpa ekspresi.

Naya gelisah, ia merasa tak nyaman berada di tempatnya sekarang, selain bukan areanya, ia juga menjadi pusat perhatian beberapa murid kelas XI yang sedang melewati lorong.

Kenapa malah diem, sih? Aku beneran nggak mau lama-lama di sini, batinnya berteriak.

"Kok bisa lupa, sih, dek? Siniin kuncinya," Bimo buka suara dan mengulurkan tangan. Perhatian Naya teralihkan dan sekaligus lega ada respon meskipun bukan Elang, ia hanya ingin mengembalikan kunci itu, lalu cepat-cepat pergi dari lorong lantai 2 gedung kelas XI itu.

"Tunggu," Elang baru membuka mulutnya ketika Naya hampir berhasil menyerahkan kunci itu kepada Bimo. Elang melipat tangannya di depan dada, tatapan tajamnya masih melekat kepada Naya, membuat gadis itu tak nyaman. Mau apa lagi dia sekarang? benak Naya bertanya-tanya.

"Nggak usah dibalikin. Mulai sekarang kamu harus membersihkan ruang klub sepak bola paling nggak dua kali dalam seminggu. Jangan mencoba berbuat curang, aku punya banyak mata di sini."

Kedua alis Naya menyatu. Melihat reaksi Naya, Elang mendesah keras dan memutar bola mata, "Kenapa? Protes? Pengen dikirimin kado lagi?"

Naya menggeleng lalu memasukkan kembali kunci yang dibawanya ke dalam saku. Ia menghembuskan napas kesal, Naya mengingatkan diri sendiri dalam hati bahwa ia harus ekstra sabar menghadapi Elang, "Oke." kemudian melangkahkan kaki dengan kesal dan pergi.

"Eh, ide bagus tuh, Lang. Ruang klub kita nggak kayak gudang rongsokan lagi," Adit tersenyum miring.

"Aku benar-benar muak melihatnya, lama-lama pasti dia nggak akan betah sekolah di sini, semoga aja dia cepat angkat kaki," ujar Elang.

"Jangan terlalu besar benci sama orang, entar situ malah jatuh cinta baru tau rasa," ledek Bimo sambil menyikut lengan Elang.

Elang menoyor Bimo yang cekikikan. "Asem lu, nyet."

"Ih, nggak bakal kejadian, lah. Cewek kayak gitu bukan selera Elang, ya kan, Lang?" Zizi tiba-tiba muncul, membuat perhatian ketiga cowok itu teralihkan. Ia memandang Bimo dengan ekspresi tidak suka.

Sadar akan maksud tatapan Zizi, Bimo tersenyum miring, "Wush! Ibu menteri datang-datang marah, nih, takutttt...." Bimo menunjukkan ekspresi takut dan menggigil yang dibuat-buat. Zizi tak mengacuhkannya, alih-alih menghampiri Elang.

"Kalau mau, aku bisa turun tangan membuat cewek itu nggak nyaman di sekolah ini. Jadi, kamu nggak perlu repot-repot. Aku nggak suka melihat dia berada di sekelilingmu."

Elang berdecak sebal, "Berhenti mencampuri urusanku," kemudian tanpa mengacuhkan Zizi, Elang melangkahkan kaki menjauh, diikuti Adit dan Bimo. Zizi masih terpaku di tempatnya menatap sendu punggung Elang yang semakin jauh. Tangannya terkepal, Sampai kapan kamu bakal bersikap kayak gini, Lang? 

-----##-----

Bola mata Tiara mengekori Ares sejak cowok itu beranjak dari bangkunya sampai menghilang keluar kelas sambil sesekali mengobrol dengan Faizal. Hari ini ia lebih banyak diam di kelas. Lebih memilih menjadi murid pasif. Perasaannya kacau karena ia tidak terpilih menjadi penyanyi di konser Ares.

Jewel In The King's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang