1 : Elang dan Ares

1.6K 122 47
                                    

Seorang lelaki berkacamata berumur hampir kepala lima melempar dengan kasar sebuah amplop berkop ke wajah seorang pemuda berseragam SMA. Wajah lelaki itu memerah karena marah.

"Mau jadi apa kamu, Lang?" bentak lelaki itu kepada anaknya yang sedang berdiri dan menundukkan kepala di depan meja kerjanya, "lagi-lagi surat peringatan datang dari sekolah. Apa kau tak bosan membuat malu orang tua?!"

Barata –nama lelaki itu- bangkit dari kursi kerjanya dan berkacak pinggang. Sebenarnya ia sudah bosan memarahi bocah yang tak pernah mendengarkannya itu. Elang, anak kedua Barata yang saat ini didamprat hanya menundukkan kepala sambil menahan ngilu akibat luka-luka memar di wajahnya. Ia sering mendengar amarah Barata karena kenakalannya. Namun, kali ini ia merasa kecewa.

"Perbuatanmu kali ini benar-benar keterlaluan dan bisa berpengaruh terhadap nama baik perusahaan. Kau mau ayah dan ibumu dikejar-kejar wartawan dan masuk TV karena anaknya dilaporkan ke polisi atas tuduhan penganiayaan?! Seharusnya kau berpikir panjang sebelum menghajar temanmu!" Nada Barata semakin meninggi.

"Dia bukan temanku." Elang mulai berani menatap ayahnya.

"Jangan mendebat Ayah!" Barata menatap Elang dengan tajam. Suasana hening selama beberapa saat.

"Yanu, panggil Ares!" perintah Barata kepada Yanu, asisten pribadinya yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Yanu, pemuda berumur tiga puluh tahun itu mengangguk dan beranjak meninggalkan ruangan.

Barata mendesah panjang, ia duduk di kursi kerjanya dengan tangan berpangku di meja. Setelah berbicara dengan nada marah beberapa waktu lalu, kali ini ia merendahkan nada suaranya. "Ayah tidak tahu lagi bagaimana harus menasehatimu. Kali ini kau beruntung karena Ayah bisa bernegoisasi dengan keluarga Aswatama sehingga masalah bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Tapi, sekali saja kau terlibat dengan masalah semacam ini lagi, jangan harap Ayah akan turun tangan."

Suara pintu diketuk mengalihkan perhatian Barata. Yanu datang bersama seorang pemuda berseragam SMA. Yanu kembali ke tempatnya semula di belakang Barata, sedangkan sang pemuda mengambil posisi berdiri di samping Elang. Sekilas, pemuda berkacamata itu melirik Elang, adiknya, lalu tatapannya beralih ke ayahnya.

"Ayah memanggilku?" tanyanya.

"Ares, jaga dan awasi adikmu. Setiap hari kalian harus berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Kalau Elang ingin pergi ke suatu tempat dia harus mendapat persetujuanmu dulu, kalau perlu kau harus menemaninya," ujar Barata yang masih menunjukkan wajah kesal.

"Ayah? Ini berlebihan," protes Elang.

"Kau diam saja! Atau kau lebih memilih diawasi bawahanku setiap saat?" kata Barata sambil mengacungkan telunjukknya ke arah Elang.

Melihat ayahnya yang menatapnya dengan tajam, Elang menundukkan kepala lagi dengan enggan. Barata tahu dan sudah hapal dengan sifat anaknya itu, Elang tidak suka diawasi oleh bodyguard suruhannya.

"Apa tidak bisa sedikit saja kau meniru kakakmu? Rajin belajar, selalu disiplin, dan tidak neko-neko. Coba lihat semua prestasi yang diraih Ares. Apa yang dilakukan kakakmu itu membanggakan dan membawa nama keluarga kita baik di depan masyarakat. Ayah benar-benar tidak bisa memahami semua kenakalan yang kau timbulkan itu. Contoh kakakmu dan pikirkan masa depanmu!"

Rahang Elang mengeras, tanpa sadar ia mengepalkan tangannya. Untuk kesekian kali ayahnya berkata demikian. Ia tak peduli lagi dengan rasa ngilu dari luka di wajahnya, hatinya lebih ngilu daripada luka itu. Nasehat semacam itu selalu diulang-ulang dan membuat Elang muak. Kalau dapat divisualisasikan, nasehat-nasehat itu terlihat seperti anak panah yang selalu menusuk telinganya. Ares melirik Elang, ia tahu bahwa adiknya itu sedang marah.

Jewel In The King's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang