Ask Something

52 15 61
                                    

Park Yoo Na.

Sepuluh menit yang lalu aku tiba di sekolah. Dan sekarang, aku tengah duduk di kursiku–tentunya kursi pojok paling belakang–dengan earphone yang tersumpal di telingaku.

Playlist lagu barat mendominasi ruang dengarku dengan baik. Terus berputar dengan volume sedang.

Berbeda dengan pendengaran, indra penglihatanku justru terganggu dengan orang-orang urakan yang ada di kelas ini. Ricuh.

Seandainya telingaku tidak disumbat dengan earphone sekarang, tentu saja suara gaduh mereka membuatku pening setengah mati.

Dua orang tengah berlarian di dalam sini. Satu kelompok lelaki tengah menonton video–yang kuyakini blue film, samar-samar kudengar mereka berteriak heboh tidak jelas.

Satu kelompok perempuan tengah memamerkan barang-barang  branded mereka masing-masing.

Mereka seperti bocah sd saja.

Ck. Aku bosan. Sungguh bosan.

Aku juga heran. Bagaimana mereka bisa menjadi akrab satu sama lain hanya dalam jangka waktu 48 jam?

Sedangkan aku? Hanya di sini diam, menunggu seseorang datang dengan senyumnya bagai matahari pagi...

...yang tertutupi mendung.

Hahaha. Maaf, aku hanya bercanda.

Soobin. Aku sedang menunggunya daritadi. Dia belum datang bahkan bel berbunyi kurang sepuluh menit lagi. Apa dia memiliki kebiasaan datang terlambat?

Oke, baiklah. Akan kutanyakan padanya nanti. Jika iya, aku akan mengajaknya bolos.

Apa-apaan kau, Yoona.

Tiga menit berlalu hingga sosok lelaki tinggi yang ku tunggu-tunggu tengah berjalan menghampiriku.

Dan dia sepertinya juga memiliki kebiasaan yang sama denganku.

Mendengarkan musik tanpa jengah.

Terlihat dari earphone putih yang tengah menyumbat telinganya dan earphone miliknya sama dengan punyaku.

Satu fakta baru, aku duduk dengannya sejak kemarin. Dia terlalu memaksa untuk duduk di sampingku. Tentu saja aku hanya pasrah. Aku bukan tipe orang yang suka berdebat.

Dan ini dia...

"Annyeong, Park Yoo Naaaa.(hai)" katanya dengan nada semangat–tentu tetap mengecilkan suaranya. Tidak ketinggalan senyumnya ditambah dengan lesung pipinya.

"Nee, annyeong." jawabku sekenanya. Seperti biasa, aku hanya menatap lurus ke depan tanpa melihatnya.

"Bagaimana lukamu?" ia duduk, lalu beralih menatapku, "masih sakit kah?"

"Tidak."

Aku berbohong, tentu saja. Gara-gara luka ini, aku tidak bisa sarapan dengan baik tadi pagi.

"Assa...tidak perlu berbohong. Pukulan lelaki itu sangat keras kemaren."

Ya, tentu saja sangat keras. Pukulannya seolah mengatakan bahwa 'aku marah karena terjatuh setelah di pukul oleh seorang bocah sepertimu!'

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang