Aku melewati jalanan Seoul yang begitu padat. Maklum, hari ini adalah hari minggu. Sebagian orang memilih untuk keluar, menikmati weekend. Begitu juga denganku.
Hanya saja, aku sedikit berbeda.
Mungkin mereka akan pergi ke Mall, arena bermain atau kedai jajanan tepi jalan, sekedar melepas penat setelah satu pekan terbeban dengan pekerjaan.
Tapi lihatlah aku sekarang. Aku tengah berada di depan bangunan tua yang terlihat menyeramkan.
Belum berniat masuk, aku menatap tepi rooftop gedung yang sudah lama tidak ditinggali ini lamat-lamat.
Akh! Sial.
Buru-buru kupalingkan wajahku.
Tidak, tidak. Jangan dulu.
Langsung saja aku melangkahkan kaki masuk, melewati daun pintu yang sudah rapuh dan menyelusurinya lebih dalam.
Aku menaiki anak tangga dengan fokus agar tidak terjatuh.
Lantai 14.
Tersisa satu lantai lagi.
10 menit berikutnya, aku sudah tidak menaiki anak tangga lagi. Sekarang, aku tengah mendorong daun pintu yang ada di ujung ruangan ini.
Rooftop.
Aku diam beberapa menit di ambang pintu, kemudian berjalan mendekat ke tepi rooftop.
Langkahku gontai–mirip zombie waras.
Tapi tenang saja, aku tidak sedang akan bunuh diri.
Yang kulakukan justru duduk bersilah, menikmati pemandangan dari atas sini yang begitu menenangkan.
Aku setuju dengan apa yang orang-orang katakan. Rooftop adalah tempat terbaik setelah kamar mandi dan kamar pribadi.
Di atas sini, aku dapat merasakan angin bertiup yang membelai tubuhku. Suara derum mobil yang terdengar samar. Juga langit biru yang terkontaminasi semburat jingga–menunjukkan hari menjelang malam.
Tarik napas...lalu buang perlahan.
Melihat semua ini, aku sudah tidak bisa lagi untuk tidak mengingatnya.
Aku sungguh merindukannya.
Hei, apa kau bisa mendengarkanku sekarang?
Aku ingin memelukmu.
Seandainya jika kau sedang di sini, aku akan menggenggam tanganmu, mensyukuri nikmat alam semesta dan dirimu yang telah diciptakan dengan sempurna.
Seandainya jika kau sedang di sini, aku akan memohon pada Tuhan untuk membekukan waktu. Tak perlu lama. Cukup sampai aku selesai mengucapkan maaf untukmu.
Seandainya jika kau benar ada di sini, aku akan meminta Tuhan untuk membawaku bersamamu.
Seandainya...
Tidak bisakah kau kembali?
Ada sesuatu yang belum kusampaikan.
"Ya! Choi Soobin," seseorang telah datang dan menghampiriku, "sedang apa kau di sini?"
Aku menoleh sebentar padanya, kemudian menatap langit yang senjanya masih tertahan di ujung sana.
"Kau sendiri, sedang apa di sini?"
Perempuan di sampingku menyodorkan sebotol soda berembun padaku. Dia juga memegang minuman yang sama dan membuka tutupnya. Aku juga melakukan hal yang serupa.
"Aku melihatmu di persimpangan. Lalu kau ke sini. Jadi...kuikuti."
Aku memutar bola mataku malas, "Geojitmal.(kau berbohong)"
Dia tersenyum, tetapi pandangannya tetap lurus ke depan, "aku masih tidak bisa datang ke sini tanpamu. Kau tau itu."
Ya, aku tau. Sebenarnya aku juga.
Tapi aku benar-benar merindukannya.
Aku bahkan berharap, jika aku ke sini aku akan bertemu dengannya, kemudian dia tersenyum padaku lalu aku memeluknya.
Naif sekali kau, Soobin.
Menit-menit berikutnya kami hanya diam, sama-sama menikmati matahari sore yang perlahan hilang di balik gedung-gedung di kota Seoul.
Lampu-lampu bangunan di sekitar kami mulai menyala hampir bersamaan.
Kepalaku mulai pening. Dadaku mendadak sesak. Mataku memburam karena cairan bening yang memenuhi penglihatanku.
Malam itu.
Sekelabat memori muncul tanpa kuinginkan, terus berputar bagai piring hitam yang dimainkan di atas gramophone.
Tidak ada yang memberhentikan nya. Siapapun itu, apapun itu.
Bahkan diriku sendiri tidak bisa membuatnya berhenti. Sang pemilik kenangan.
"Aku merindukannya."
Perempuan di sampingku ini-dia terlihat tertekan. Perlahan dia terisak dalam senyumnya.
"Maafkan aku...seandainya aku tidak melepaskan tangannya..."
Yang kulakukan hanya membawanya ke rengkuhanku dan mengusap rambut sebahunya perlahan.
"Dia akan marah padamu jika melihatmu menangis. Aku yakin dia sedang bahagia di mana pun dia berada. Kehidupannya sudah jauh lebih baik."
Aku dan dia, mengalami keterpurukan yang sama, memiliki trauma yang sama. Dan menyimpan penyesalan yang sama.
Park Yoo Na, tidak bisa kah kau ke sini, sebentar saja?
Atau memang aku yang harus menemuimu?
Di sini, aku membutuhkanmu.
...
Hai eferibadiiiiiii~
Ini adalah cerita pertama aku.
Mohon maklum kalau terdapat unsur kerandoman yang tidak bisa dimaafkan.
Pantengin terus yaaaa!
Please leave a vote and comment for this:3
I hope u enjoy it<3
Wanna ask something?
Comment here...
its me, Khai<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Stars
Fanfic-Aku adalah benci yang sesungguhnya, yang harus dihapuskan dari dunia- Choi Soobin dan Park Yoona. Ke-2 nya memiliki sisi yang berkebalikan. Soobin si ramah dan Yoona si julid. Soobin merasa pernah mengenal Yoona, tapi ia sendiri tidak yakin. Hingga...