Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang kita ketahui pasti kebenarannya. Setiap hal yang kita lihat, tidak selalu memaparkan kebenaran dan hal yang sebenarnya melekat pada dirinya. Sudah genap dua minggu aku mengenal Abbas, namun aku masihlah orang asing di dalam kehidupan Abbas.
Senyuman manisnya yang selalu membuatku tenang dan bisa serasa bisa menyelesaikan setiap masalah dan kebosananku di sekolah, kini berubah menjadi sesuatu yang misterius dan membuatku khawatir.
Abbas berlalu dengan dikawal dua orang polisi yang menyamai langkahnya di sebelah kiri dan kanannya. Aku hanya bisa melihatnya sambil memanjatkan doa supaya tidak ada sesuatu yang buruk yang menimpa Abbas.
"Rin, kamu gak apa-apa kan?"
Alin yang melihatku tampak sangat cemas mencoba menenangkanku. Aku tidak pernah secemas ini dalam mencemaskan orang lain. Aku tidak pernah merasa jika keberadaan orang lain akan menjadi penting untukku. Hanya saja, perihal Abbas yang selalu membuatku terkesima dengan cara bicara dan ucapan-ucapannya, aku tidak bisa berhenti khawatir dan cemas.
"Tentu saja aku apa-apa, Lin. Abbas dibawa polisi seperti itu, aku takut dia kenapa-napa," ucapku sembari memperlihatkan raut kecemasan di wajahku pada Alin.
Alin lalu memelukku, mencoba meredakan kegelisahan yang kini sedang melingkupi perasaanku. "Tenang aja, kan kamu sendiri yang bilang kalau dia laki-laki yang unik. Aku yakin, Abbas tidak akan berbuat hal sejahat itu."
Mendengar ucapan Alin, ketakutanku sedikit terobati. Setidaknya ada satu orang yang kukenal yang mempercayai jika Abbas bukan laki-laki jahat yang tega menjarah tempat usaha seseorang sampai menimbulkan korban.
"Terima kasih, Lin. Aku seneng kamu percaya akan hal itu, tapi aku tidak akan bisa tenang kalau belum tahu Abbas bersalah apa tidak."
"Erina, aku ngerti kamu khawatir. Tapi kamu gak harus secemas ini, kamu juga baru kenal dia sebentar kan? Bisa aja semua yang kamu lihat dan tahu tentang dia itu gak sama seperti kenyataan yang sebenarnya," ucap Alin mencoba membuatku untuk tidak begitu ketakutan akan kejadian buruk yang bisa saja menimpa Abbas.
Aku tidak bisa mengelak dari ucapan Alin. Dia benar, aku memang tidak benar-benar mengenal Abbas. Dua minggu bukanlah waktu yang cukup untuk membuatku berucap jika aku sudah tahu siapa Abbas dan apa saja yang mungkin dan tidak mungkin dia lakukan.
Dua minggu masih menjadikanku dan Abbas hanyalah 'orang asing' yang kebetulan dipertemukan di sebuah petang yang membuat kesadaranku melayang.
Aku masih memerlukan banyak waktu agar dapat menenangkan pikiranku yang sedari tadi berpikir jika Abbas akan tertimpa sesuatu yang buruk dan tidak mengenakkan. Aku masih terlalu mudah merelakan pikiranku untuk sepenuhnya memikirkan orang yang belum tentu sebaik yang aku pikirkan.
"Rin, mending kita balik lagi ke kelas yuk?" ucap Alin sembari berusaha memalingkan pandanganku dari Abbas yang kini sudah tak terlihat di mataku.
"Tapi kan kita gak sekelas, Lin."
Alin tertawa mendengar jawaban spontanku yang tidak selaras dengan raut wajah yang kubuat. "Iya maksud aku—kamu ke kelas kamu, aku ke kelasku sendiri, Rin."
"Terus Abbas gimana?" ucapku masih mencemaskan keadaan Abbas.
"Udah, nanti lagi mikirinnya. Lagian, nanti juga ada kabar dan berita dari guru-guru kan?" ucap Alin berusaha mengalihkan perhatianku yang terlalu mencemaskan Abbas.
Untuk beberapa saat, pikiranku lebih memilih untuk mendengarkan ucapan Alin yang terdengar lebih realistis. Aku tidak harus menaruh seluruh perasaanku pada laki-laki asing yang baru aku kenali dua minggu lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Meters Apart
Teen FictionErina Pramaswati masih terobsesi dengan cinta pada pandangan pertama yang ia temui di sebuah perlombaan tingkat SMP yang pernag ia ikuti. Tanpa tahu nama, asal sekolahnya dan informasi apapun menyangkut anak laki-laki itu, Erina masih amat terobsesi...