16. Ancaman

29 15 10
                                    

Layaknya mimpi-mimpi yang merupakan terusan dari ilusi yang tidak pernah ada tepi, aku mencoba mengingat kembali bagaimana manisnya kata-kata Abbas di malam kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Layaknya mimpi-mimpi yang merupakan terusan dari ilusi yang tidak pernah ada tepi, aku mencoba mengingat kembali bagaimana manisnya kata-kata Abbas di malam kemarin.

Senyum sudah terpahat di wajahku yang sudah kusam karena tidak tidur dengan nyaman. Sungguh, mendengar kalimat 'Abbas pasti jadikan Pram milik Abbas' di malam yang ditaburi bintang-bintang dengan orang asing yang tiba-tiba menjadi orang paling bising di dekatku, membuatku berdegup dan banyak menerka-nerka.

Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?

***

Pagi hari ini aku berangkat lebih awal. Aku sudah membuat janji dengan Alin untuk berangkat sekolah sama-sama. Rasa rindu dan khawatir disertai cemas yang tak usai-usai membuatku ingin segera menemuinya. Aku merasa kesal dengan diriku sendiri karena tidak bisa ada di dekat dia ketika dia sedang berduka. Sahabat macam apa aku ini?

Udara di pagi hari ini tidak terlalu dingin. Matahari yang baru menampakkan dirinya membuat tubuhku hangat. Sinarnya membuat pandanganku sedikit agak silau, wangi jalanan yang baru saja diguyur hujan semalam tercium di hidungku, burung-burung berdecit saling berciaran. Sepertinya ini adalah hari yang menjanjikan kebahagiaan-kebahagiaan lainnya untukku.

Semoga saja.

Alin sudah terlihat di ujung jalan tepat di depan pandanganku. Aku tidak bisa melihat raut wajahnya dengan jelas dari jarak yang masih jauh. Aku segera menuju ke arahnya, menghampirinya lebih dulu, memberinya pelukan yang mungkin tidak bisa mengobati luka dan dukanya. Namun, setidaknya dia bisa merasakan bahwa aku juga perduli dan memikirkannya akhir-akhir ini.

"Alin, miss u so much!" Aku memeluk Alin tanpa berpikir panjang dengan rintihan rindu yang memang sudah lama ingin aku ucapkan padanya.

Alin tersenyum, ia menerima hangatnya peluk yang aku berikan padanya. Alin tampak tidak begitu sehat, matanya terlihat masih memiliki kantung mata yang menandakan kelelahan pada dirinya.

"Kamu gak apa=apa kan?" ucapku menghentikan pelukanku, kini beralih menatap wajahnya yang masih kelelahan.

Alin menggelengkan kepalanya, sebuah konfirmasi bahwa dia baik-baik saja. "Aku gak apa-apa, Erin. Jangan lebay deh," ucap Alin berusaha terlihat tegar.

Aku tidak ingin menghancurkan ketegaran yang sedang ia coba perlihatkan kepadaku. "Tapi wajah kamu keliatan kayak masih cape banget, istirahat kamu cukup kan?"

Alin berusaha bersikap seperti Alin yang biasanya. Selalu bisa mengontrol emosi dan perasaannya, selalu menjadi sosok yang memberi pengaruh positif ketika di dekatku. "Aku gak apa-apa, Rin. Cuman sedikit kurang tidur aja, nanti juga gak apa-apa kok."

Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Alin hanyalah kalimat penenang untuk membuat dirinya tidak memikirkan kesedihan yang sedang ia coba untuk atasi. Aku mengerti itu dan coba untuk mengalihkan pembicaraan seraya kami melangkahkan kaki kami menuju sekolah.

Three Meters ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang