9. Pelindung

79 56 28
                                    

Sepanjang jam pelajaran matematika, aku tidak bisa fokus memandang apa yang ada di depan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang jam pelajaran matematika, aku tidak bisa fokus memandang apa yang ada di depan mata. Apa yang Abbas lakukan pagi tadi terasa begitu membekas di ingatan dan senyumku yang tidak bisa aku bendung.

Laki-laki yang sudah terasa seperti supirku sendiri itu membuatku terus-menerus memikirkannya. Rasanya, aku ingin lebih sering berangkat dan pulang bersama dengannya.

Aku masih belum sadar, apa yang sudah Abbas lakukan benar-benar menjadi pembicaraan banyak orang. Padahal, Abbas hanya mengantarku ke depan kelas dengan sepeda antik pemberian kakaknya. Namun, orang-orang memandangnya sebagai sesuatu yang hebat dan bisa membuat rona gemas dan gregetan terpancar di wajah teman perempuan yang sedari tadi mencuri pandang, menatapku yang serasa jadi tontonan orang-orang.

Aku sudah biasa menjadi pusat perhatian. Aku tidak merasa terganggu dengan semua keramaian dan pertanyaan yang orang-orang tanyakan padaku. Sebaliknya, aku mencemaskan Abbas yang mungkin saja dicerca banyak pertanyaan oleh teman atau bahkan orang yang tidak ia kenal sama sekali.

***

Jam istirahat sudah tiba. Aku menghela napasku, bersiap menyambut orang-orang yang masih ingin mengetahui kebenaran dibalik adegan antar-mengantar yang tadi mereka saksikan.

"Erin, tadi pagi itu pacarmu?"

"Erin, bukannya kamu itu lagi deket sama Jonas?"

"Erin, Erin, Erin .."

Semua pertanyaan yang menggunduk menjadi sayup-sayup di telingaku, tidak aku perdulikan. Aku hanya berjalan melalui orang-orang yang masih ingin mengetahui sosok yang berhasil membuat Erina Pramaswati mau diantar sampai ke depan kelas.

Di balik keramaian, satu orang perempuan yang merasa dicurangi berdiri di hadapanku.

"Alin?"

Alin yang berdiri di hadapanku menatapku cukup lama, lalu ia menarik tanganku. Membawaku dari kerumunan orang yang masih mencoba mencari tahu sosok laki-laki yang tadi mengantarkanku.

Alin menarik tanganku, wajahnya tidak melihatku yang meringis agak kesakitan. Alin memegangi tanganku terlalu kuat, kenapa dia?

"Alin, kamu memegang tanganku terlalu kuat. Sakit—" Aku menahan langkahku. "Kenapa sih?"

Alin masih tidak mau memperlihatkan wajahnya. Ia juga tidak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Ini aneh, Alin yang biasanya cerewet tidak bersuara dan tiba-tiba menarikku seperti tadi di kelas.

"Kamu kenapa?" Genggaman tangan Alin mulai melemah, aku melepaskan genggaman tangan Alin, menghampiri wajahnya yang masih di sembunyikan.

Ia menangis.

***

Setiap perempuan memiliki rahasianya sendiri. Ada beberapa hal yang memang hanya bisa dipendam untuk diri sendiri. Bukan karena tidak memiliki siapapun, namun merasakannya sendiri jauh lebih baik daripada menceritakan pada sahabat atau orang di dekat kita, lalu membuat mereka ikut merasakan apa yang sedang kita rasakan.

Three Meters ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang