Dua tahun yang lalu ..
Tanganku tidak bisa berhenti gemetar. Pikiranku tidak sepenuhnya berada di tempat yang semestinya aku berada. Banyak sekali orang – orang yang memandangku sinis dan seakan – akan marah padaku.
"Erina, kamu gak apa – apa kan?" ucap Bu Rita, wali kelas SMP – ku. Bu Rita adalah guru matematika yang membuatku mencintai setiap pergantian angka yang kuhitung di setiap soal – soal yang diajarkan.
Jika untuk teman – temanku yang lain Bu Rita itu adalah salah satu guru yang pelajarannya ingin dihindari sedapat mungkin, lain halnya denganku yang sangat ingin menghadiri dan bersama – sama dengan Bu Rita.
Dengan Bu Rita aku bisa mengerjakan berbagai macam soal matematika dari yang paling mudah sampai soal yang membuatku tidak ingin pulang ke rumah karena tidak kunjung mendapat jawaban yang benar.
"Gak apa – apa kok, bu. Memangnya Erina keliatan gimana?" tanyaku menanyakan pendapat Bu Rita yang sangat bersemangat menemaniku yang sedang mengikuti olimpiade matematika tingkat SMP.
"Kamu keliatan tegang, Erina. Atur napas dan pikiranmu, jangan panik sebelum berperang," ucap Bu Rita memberiku kepercayaan diri yang sempat goyah.
"Keliatan banget ya gugupnya, Bu? Soalnya pesertanya banyak banget—Erina jadi gak pede aja," ucapku semakin merasa tidak ada apa – apanya dengan peserta lainnya.
Judulnya saja olimpiade, otomatis pesertanya juga berasal dari berbagai macam daerah dan kota. Aku yang kebetulan lolos dengan nilai pas – pasan saat dilombakan di tingkat provinsi, merasakan kecanggungan yang amat sangat.
Untungnya, aku sangat menyukai matematika. Kesukaanku pada pelajaran ini bukan tanpa alasan, menurutku matematika adalah salah satu ilmu pasti yang tidak akan pernah bisa dirubah nilai dan juga cara pengerjaannya. Ada kegembiraan di pikiranku tatkala aku berhasil menyelesaikan soal – soal rumit yang memerlukan banyak rumus untuk mencari jawabannya.
"Mau sebanyak apapun pesertanya, jawabannya kan cuma satu yang bener. Kamu hanya perlu mencari jawaban yang benar itu aja kan?" ucap Bu Rita seketika membuatku percaya diri kembali.
Aku tersenyum pada Bu Rita. "Terimakasih bu, karena ibu saya jadi memiliki sesuatu untuk dicintai dan diupayakan."
Sebagaimana perlombaan pada umumnya, ketegangan selalu muncul di awal – awal. Selebihnya, aku berhasil menjawab setiap soal yang memang luar biasa rumit dan membutuhkan banyak waktu untuk menjawab soal – persoalnya.
Ingatan yang membekas dari olimpiade itu bukanlah tentang hasil menakjubkan yang kudapat. Ingatan yang membekas di kepalaku adalah ingatan yang kini membuatku enggan berlomba dan berkompetisi kembali dalam hal apapun.
***
"Nomor 5 silahkan menaiki podium penghargaan untuk menerima hadiah secara simbolis dari Menteri Pendidikan Republik Indonesia," ucap pembawa acara yang memandu jalannya acara seremonial penghargaan.
Aku berhasil menjuarai olimpiade itu. Namun, aku tidak benar – benar bisa bahagia dengan apa yang kuraih. Aku menaiki podium dan berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menutupi amarahku sendiri.
Sementara, anak laki – laki yang duduk di depanku saat itu memberikan senyumannya padaku. Ya, dia adalah anak bernomor urut empat.
Satu hal yang mungkin tidak akan pernah bisa aku maafkan adalah fakta bahwa aku tidak mengerjakan soal itu seorang diri. Seseorang membantuku menjadi juara yang dapat memandang rendah ke arah ratusan peserta lainnya di atas podium itu.
Ada satu soal yang membuatku tidak dapat menggerakkan pensilku dengan lancar. Seolah – olah, aku tidak mengetahui apapun tentang matematika dan segala macam rumus – rumusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Meters Apart
Novela JuvenilErina Pramaswati masih terobsesi dengan cinta pada pandangan pertama yang ia temui di sebuah perlombaan tingkat SMP yang pernag ia ikuti. Tanpa tahu nama, asal sekolahnya dan informasi apapun menyangkut anak laki-laki itu, Erina masih amat terobsesi...