Perawat Sangpotirat — Krist
Aku dan Win keluar dari pulau itu di sore hari. Aku masih bisa mengingat setiap hal yang terjadi di pulau itu, mulai dari siapa saja pemainnya, apa yang aku lakukan, hingga semua perdebatan yang terjadi. Namun anehnya, aku jadi hanya bisa mengingat kalau aku dan Win adalah mafia ketika aku telah menginjakkan kaki di pantai Ra Wai. Aku tidak bisa mengingat siapa yang ikut bermain dan perdebatan-perdebatan yang terjadi. Rasanya seperti memoriku hilang begitu saja.
Aku bertanya pada Win dan ternyata dia merasakan hal yang sama. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk beristirahat sejenak dengan tidak bertemu maupun bicara. Selama kami tidak bertemu aku benar-benar dihantui oleh mimpi buruk dan rasa bersalah. Itu membuatku tidak bisa tidur hingga aku membutuhkan obat tidur. Ternyata hal yang sama terjadi pada Win.
Aku dan Win kembali bertemu di hari pertama kami masuk ke kampus. Kami bertemu di kantin fakultas kedokteran untuk sekedar mencari sarapan. Nasi ayam kemangi dengan telur dadar menjadi pilihan kami, padahal ini masih pagi. Win memutuskan untuk membeli susu strawberry hangat. Aneh bukan? Itu sebabnya aku memutuskan untuk membeli air minum kemasan lagi. Hampir saja aku mengutuk Win karena minuman pilihannya itu, untung saja aku baik hati nan penyabar. Bercanda.
"Lima belas bath," ujar Win sambil meletakkan minumannya.
"Kalau begitu, dua puluh lima bath."
"Aow. Ku kira kamu mentraktir aku."
"Kamu kan minta bayaran, ya aku juga minta lah."
"Aish kamu ini. Ingat ya, aku ini satu-satunya teman kamu."
"Heh Win, apa kamu gak punya kaca di istana besarmu itu?"
"Ayolah, aku bercanda."
"Baiklah.. Baiklah.. Ini makanan kamu, ayo makan. Jangan sampe aku denger kamu ngeluh karena kelaperan. Beneran aku tinggalin nanti."
"Iya," jawabnya sambil langsung memakan sarapannya.
Kami sarapan dengan tenang, tidak ada keributan maupun pembicaraan. Ini membuat perasaanku terasa canggung. Ada rasa aneh ketika aku hanya duduk diam tanpa mendengar keributan yang aku sendiri tidak tahu keributan apa. Apa itu keributan karena musik? Tapi sepertinya bukan, karena aku pernah mencoba makan dengan ditemani musik, tapi rasanya tetap berbeda.
"Krist, apa kamu merasa ada yang kurang?"
"Tidak," aku berbohong, lagi.
"Aku merasa ada yang berbeda. Aku merasakan kehilangan. Setiap pagi aku merasa biasanya aku mengirimkan ucapan selamat pagi, tapi aku tidak tahu untuk siapa dan sekarang aku merasa harusnya kita makan dengan suara-suara gaduh. Masalahnya aku tidak tahu suara gaduh apa?"
Aku terdiam. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasa di beberapa waktu, seharusnya aku membangunkan seseorang dan memasakkan sarapan. Tapi siapa? Aku tidak berselera untuk melanjutkan sarapanku.
"Win, aku harus ke kelas. Aku duluan, ya."
"Iya. Nanti bertemu lagi jam 11, okay."
"Okay. Kamu ke fakultas aku aja."
"Sip."
(It's You : Not Me)
Kini aku dan Win telah duduk di sebuah restoran mewah. Anak ini sedang ingin memakan makanan mewah untuk makan siangnya. Aku sih tidak masalah, selama aku dibayarin. Tekor guys, habis liburan masa langsung makan makanan mewah. Dompetku menangis nanti.
"Tenderloin-nya enak. Kamu mau nambah?"
Lihat. Mudah sekali dia menawarkan makanan mahal. Lalat di dompetku tertawa melihat kemiskinanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You : Not Me || END 🔒
Tajemnica / Thriller⚠ Warning ⚠ Cerita ini mengandung unsur pembunuhan, darah, bahasa yang kasar, dan adegan dewasa. Bagi para pembaca yang tidak kuat dengan darah dan masih di bawah umur disarankan untuk tidak membaca. (It's You :Not Me) Jika kalian diizinkan untuk be...