Suara riuh dari ujung sana tak membuat satu onggok manusia itu gentar untuk mundur. Rel kereta api mulai bergetar. Bahkan bebatuan kecil di sana mulai melompat-lompat kecil, seakan memperingati bahwa ada satu getaran besar yang akan datang. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Saat sebuah moncong kereta api berhasil keluar dari lorong gelap di ujung sana. Kedua matanya terpejam otomatis. Ia menulikan pendengarannya saat orang-orang mulai berteriak heboh.
Sedikit lagi. Rapalnya dalam hati. Keringatnya mulai mengucur deras. Membuat kepalan tangan itu menjadi basah. Di bawah terik matahari ini, di rel kereta api ini akan jadi saksi akhir dari penderitaan si Puan yang sudah tidak tahan memikul beban kehidupan yang teramat pedih menurutnya. Moncong kereta api itu semakin dekat. Bahkan sekarang, sang masinis sudah menggemakan semboyan 39. Dimana suling lokomotif berbunyi tanda ada satu peristiwa atau bahaya di depan sana.
Lagi dan lagi, wanita semampai itu menulikan pendengarannya. Rambutnya mulai bergoyang tertiup angin. Tidak lagi ada jalan mundur. Siap atau tidak, dirinya harus menerima terjangan hebat dari depan sana. Hingga sebelum kejadian yang ada di kepala sang Puan terealisasi, asa sepasang lengan yang melingkar di pinggangnya. Membawa tubuhnya terbawa ke pinggiran rel kereta. Entah karna sudah terlanjur pasrah, sang Puan hanya diam merasa seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. Pendengaran terakhirnya ialah suara berisik dari kereta api yang lewat dan suara kerumunan orang di sekitarnya.
***
Telinganya menangkap suara-suara aneh. Seperti suara Tut yang berulang-ulang dengan jeda beberapa detik, kemudian suara entah apa itu tetapi seperti suara gelembungan air. Dan suara orang mengobrol (?)"Hanya shock. Selebihnya okay kok"
"Jangka panjang gak kira-kira?"
"Kalo itu saya gak tau juga. Kita liat aja pas dia udah sadar. Ya udah, gua duluan Jeff. Masih ada pasien"
"Yoi. Makasih ya?"
Dimana ia sekarang? Apa benar mati semudah itu? Tidak ada rasa sakit? Oh tuhan. Bahkan matanya perlahan bisa terbuka!
"Eummh.."
"Oh! Hei?! Kamu sudah sadar?" Tanya Si Tuan yang di panggil Jeff tadi sambil melangkah cepat mendekati ranjang persakitan ini. Kedua kelopak lentik itu masih menyesuaikan cahaya yang masuk padanya. Memijat kedua pelipisnya saat pening mulai menerjang kepalanya.
"Ini dimana?" Katanya menatap si lelaki dengan tatapan luar biasa datar. Tak berekspresi.
"I..itu. kamu di rumah sakit" katanya tergagu. Menjadi canggung karna si gadis memberi respon di luar dugaannya. Ia pikir begitu bangun, si gadis akan berteriak dan menangis karna tadi saat berbincang dengan dokter, dirinya sempat bertanya harus berbuat apa saat si gadis malang ini terbangun.
"Jadi, aku belum mati?"
"H..hah??" Kutuklah Jeff yang bodoh ini. Bagaimana bisa dirinya menjadi gugup karna tatapan tak berekspresi dari wanita itu? Tatapannya begitu kosong. Seperti tidak ada apa-apanya di sana. Hampa.
"Hhhh...Minggir" interupsinya mencabut infus lalu mencoba untuk menyingkirkan tubuh sang Tuan dari jalannya.
"H..hei. Kamu belum baik-baik aja" ia mencoba untuk mencegah dan terlihat gusar melihat darah mengucur sesaat setelah si Puan mencabut jarum infus dengan kasar tadi.
"Anda hanya orang asing. Jadi jangan sok peduli" bagai belati yang langsung menancap di dadanya, Jeff langsung terdiam. Oh ayolah. Jeff juga tak mau berurusan dengan masalah seperti ini. Bahkan tadi ia mati-matian mencari jawaban dari para warga kenapa wanita ini bisa hampir bunuh diri?
Jika bukan karna rasa kemanusiaan yang menyebalkan ini, Jeff juga mana mau membuang-buang waktu berharganya dengan gadis asing ini.
"Ya sudah. Jika kamu mau pulang, biar saya antar" Jeff masih diam di posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
Romance"Ngalah Edrea. Kamu itu kakak" "Kalo bisa milih, ibu gak mau kehadiran kamu Edrea! Kamu bisanya cuman buat susah. Sekarang bikin malu keluarga!" "Pergi dari sini sebelum ayah pukul kamu Edrea!" ____ Gadis itu menunduk. Padahal baru saja ia merasa ba...