Dugaan Seokjin mengenai ajakan ayahnya siang tadi adalah 100% benar adanya. Karena kini keduanya sudah berada di pemakaman di hutan kawasan selatan yang berbatasan langsung dengan wilayah manusia. Di mana tempat peristirahatan terakhir sang ibunda berada.
Pandangan Seokjin berubah kala menatap pusara beliau. Seokjin memang masih dalam wujud serigalanya, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang dulu selalu menghantuinya. Dia memejamkan matanya saat air matanya nyaris terjatuh, lalu memilih untuk beranjak sejenak menuju pohon besar terdekat, sebelum kembali dengan tubuh manusianya. Di sana, sang ayah yang berdiri di samping pusara benar-benar tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Ayah masih tidak setuju dengan tujuanmu mencoba memasuki istana."
Seokjin tidak juga bergeming, tangannya hanya mengepal dengan kuat.
"Tapi karena aku tahu kau akan sanggup untuk menahan diri di sana, itulah sebabnya aku tidak lagi memaksakan apa yang kupikirkan."
Ayahnya melirik singkat ke arah Seokjin yang menunduk dalam, dan memutuskan untuk tidak mengucapkan apapun di saat emosi sedang menguasai putranya.
"Demi ibunda yang sudah membawaku ke dunia, Ayah. Aku akan melakukan apa yang mestinya kulakukan, 7 tahun silam."
Pria paruh baya itu menghela napasnya pasrah. Yakin sekali jika pendirian Seokjin tidak akan goyah selama ambisinya belum padam. Beliau memang harus segera mencegahnya, tapi bunga tidurnya semalam selalu berhasil membuatnya seketika terbungkam saat membuka matanya.
"He has beautiful heart with a strong will, you won't regret anything. Let him be who the way he is."
Biarkan putranya, menjadi dirinya sendiri. Katanya.
Kenapa ucapan itu seperti suara mendiang istrinya? Dan kenapa dia kini menjadi ragu karena hal itu? Seharusnya dia menghentikan kehendak Seokjin karena bagaimanapun beliau tahu jika anak semata wayangnya pasti akan melakukan banyak pelanggaran di kemudian hari jika Seokjin berhasil terpilih. Beliau memang tidak bisa membaca masa depan, tapi bagaimana dia melihat putranya tumbuh begitu keras beberapa tahun ini, menjadikan dirinya sangat paham bagaimana sensitifnya Seokjin saat berkaitan dengan ibunya.
Maka, ketika istana membuka rekruitmen untuk mencari Permaisuri selanjutnya dan Seokjin yang memohon untuk ikut serta, beliau sudah paham jika kombinasi istana dengan putranya bukanlah hal bagus.
Omega cerdas seperti Seokjin tidaklah melakukan sesuatu tanpa rencana. Sedikit banyak, beliau benar-benar mengkhawatirkan apa yang kiranya akan terjadi nanti.
"Ayah sudah benar-benar mengikhlaskan segalanya, Nak."
"Tapi aku tidak. Belum."
Lelaki berusia seperempat abad tersebut berjongkok di samping makam, mengelus batu nisan bertuliskan nama ibunya.
"Aku mohon. Untuk kesekian kalinya." Raut sendu Seokjin mau tidak mau membuat pria paruh baya itu menghela napasnya.
Dan ketika Seokjin kembali menatapnya, beliau sungguh tidak bisa menolak permohonan putranya yang begitu tulus.
"Tolong pastikan aku masuk ke istana, dan akan kuputuskan langkah selanjutnya."
Tuan Sekretaris Jenderal yang terhormat kini tidak akan bisa untuk menghalangi keinginan putranya lagi, jika begini caranya.
Beliau lantas hanya berharap agar keputusannya, tidak akan menimbulkan marabahaya di keesokan harinya.
Semoga.
∅
Angin musim gugur menerbangkan rambut platina Namjoon hingga berantakan. Senyumannya mengembang kala kakinya berhasil mendarat di tanah kelahirannya. Dua bodyguard di samping kanan dan kirinya langsung mengambil alih bawaan, sementara seorang lelaki muda berkacamata mengekor di belakangnya.
"Sekretaris Jung, apa agenda hari ini?"
Namjoon sibuk membuka ponsel, membalas beberapa chat yang masuk. Sementara sekretaris Jung, atau Jung Hoseok memeriksa agenda yang tercatat di tablet yang tengah ia pegang.
"Hanya bertemu dengan Baginda Raja dan Permaisuri, Yang Mulia." Ia merapikan kacamatanya, kembali memeriksa ulang data di depannya, sebelum melanjutkan,
"Yang Mulia Permaisuri meminta agar Anda bisa beristirahat untuk hari ini setelah perjalanan panjang." tutupnya sembari mengamati Namjoon yang bergumam mengerti.
Kim Namjoon, Putra Mahkota berusia 20 tahun, penerus utama tahta kerajaan werewolf di Seoul, Korea. Terlahir dua bersaudara dengan adiknya, Putri Kim Yewon seorang gadis Beta berusia tiga tahun di bawahnya. Lelaki tegas, disiplin, walau sangat sering bertingkah seenaknya dan begitu gegabah. Tipikal anak berusia awal 20an pada umumnya, walau dikaruniai dengan kecerdasan yang luar biasa.
Banyak petinggi kerajaan yang maklum dengan tingkahnya karena usia yang belum matang, meski beberapa tetua menyayangkannya karena pelajaran tata krama Putra Mahkota nyaris terbengkalai karena terlalu lama berada di dunia manusia.
Baginda Raja-pun sebenarnya sudah terlalu lelah memperingatkan putra sulungnya, hingga pada batas akhir kesabaran beliau ketika Namjoon memilih seorang gadis berketurunan asing yang ditemuinya di kampus sebagai kekasih.
Beliau memang belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya, tapi setelah mengetahui seluk beluk kehidupan perempuan itu, Baginda Raja sama sekali enggan memberikan restu. Itulah sebabnya, beliau membiarkan Permaisuri, istrinya, membuat rekruitmen terbuka pencarian pasangan Raja selanjutnya.
"Ibu sudah gila." gerutu Namjoon, melihat pesan ibunya yang mengirimi foto-foto kandidat Permaisuri kepadanya.
"Setidaknya biarkan aku tidak menikah dulu, jika dia tidak ingin memberiku restu." keluh Namjoon, tangannya sudah memijat keningnya pusing.
"Maaf menginterupsi, Yang Mulia. Saya rasa, Yang Mulia Permaisuri hanya khawatir dengan para tetua yang mulai mendesak Anda agar berhenti bermain-main."
Namjoon hanya melirik sejenak, sebelum menghembuskan napasnya keras-keras.
"ORANG-ORANG TUA KOLOT ITU MANA TAHU AKU BELAJAR MATI-MATIAN SELAMA DI AMERIKA!"
Hoseok pun hanya membiarkan Namjoon berteriak frustasi di dalam mobil. Sedikit mengagetkan sopir pribadi memang, tapi setidaknya junjungannya itu tidak langsung mengomel kepadanya.
Lagipula, dia sudah cukup terbiasa dengan tindak tanduknya selama dirinya mulai bekerja sejak lebih dari satu tahun yang lalu. Hoseok lebih dari mumpuni untuk mendengar keluhan tiada habisnya dari Putra Mahkota selama ini.
"Maaf, kenapa macetnya lama sekali ya Pak?" tanya Hoseok kepada supir pribadi Pangeran, dia heran karena mobil belum juga kembali bergerak selama lebih dari lima belas menit.
Belum cukup lama, tapi sepadat-padatnya jalanan kota Seoul, ketika bukan akhir pekan jalanan cenderung lancar seingat Hoseok. Atau mungkin selama tiga tahun di Amerika membuat Seoul menjadi lebih padat?
"Sepertinya ada kecelakaan, Tuan Jung."
Supir paruh baya tersebut mengeraskan volume radio mobil yang sedang mengabarkan situasi jalanan terkini, membiarkan Namjoon dan Hoseok mendengarkan. Lantas Hoseok mengangguk mengerti.
"Ya sudah. Setidaknya bukan kecelakaan beruntun."
Hoseok lalu menoleh ke arah Namjoon, sedikit memberi pengertian walaupun jelas Namjoon juga mendengarkan berita barusan.
"Saya mohon maaf Yang Mulia, sepertinya kita masih harus menunggu beberapa menit lagi untuk melanjutkan perjalanan."
Namjoon di sampingnya memang tidak mengucapkan apapun, tapi Hoseok tahu benar jika atasannya itu kesal. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka tidak sedang memakai plat khusus kerajaan karena belum memasuki wilayah werewolf, mereka tidak bisa seenaknya meminta pembukaan jalan kepada para manusia di sini.
∅
"AKU TIDAK AKAN PERNAH MENURUTIMU BAJINGAN! PERGI DARI HADAPANKU!"
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrange Marriage (Extended) ON HOLD
FanfictionDunia Seokjin sudah cukup terjungkir balik, dia bahkan tidak pernah berpikir jika selama dua puluh lima tahun hidupnya akan menjadi sebegini pelik. Dan masalah utama dari semua hal ini, baru saja akan dimulai. Royalty Modern AU ABO Slow burn Kim...