Pieces of Truth

234 27 14
                                    

Kalau dipikir-pikir, Namjoon tidak pernah semarah ini dalam hidupnya. Walaupun dia terkenal bebal dan kekanakan, pun sering dikatai terlampau gegabah, dia tidak benar-benar serius untuk memberontak. Namun, entahlah. Namjoon kali ini sama sekali tak bisa mentolerir sandiwara yang satu ini.

"Permaisuri," Namjoon membungkuk hormat di hadapan ibunya, baru duduk tegap di kursi depan meja kerja beliau.

"Panggil aku ibu, Putra Mahkota."

Pandangan permaisuri datar, dengan cangkir yang di angkat tinggi dekat dengan bibir tipisnya. Lelaki yang dilahirkannya, terlalu mirip dengan seseorang yang dibencinya kini, dan permaisuri harus menelan pil pahit tersebut setiap hari.

"Saya rasa Yang Mulia bukan bermaksud untuk beramah-tamah apabila saya sendiri dipanggil begitu formal. Apakah ada yang bisa saya bantu?" Dingin. Menusuk. Anti basa-basi.

Kiranya permaisuri mulai bisa mengerti hal apa yang ia turunkan kepada putranya ini.

"Baiklah. I think we are in the working mode, right Crown Prince? Kalau begitu aku akan mulai diskusinya."

Wanita itu membuka sebuah gulungan kertas berwarna coklat muda lusuh, dengan pita marun sebagai pengikatnya. Formal sekali. Agaknya Namjoon mulai mengaitkan masing-masing titik di dalam kepalanya. Gambarnya sudah semakin tampak jelas.

"A scheme." gumamnya tanpa mengalihkan mata dari permaisuri, tanpa pula memandang isi kertas gulungan itu sendiri.

"Kita akan memulai pelajaran sejarah dari dasar, Putra Mahkota. Dan aku sendiri yang akan menjelaskannya."

Ibunya adalah seorang alpha, dengan patronus rusa betina, tampak indah dengan kilau perak kebiruan yang menggambarkan keanggunan dan ketangkasan. Tegas, anggun, berpendirian. Selayaknya gelar yang didapatkan kini, sesuai dengan tugas yang diembannya hingga saat ini.

Namjoon sangat sadar apa maksud dari permaisuri, bahkan di detik beliau mulai membuka perkamen lawas tersebut dan berdongeng tentang sejarah klan.

"Jadi inti dari semua ini adalah, saya harus menikahi Kim Seokjin untuk meneruskan garis keturunan yang asli?"

Cerita permaisuri selama sepuluh menit itu langsung tertangkap jelas oleh Putra Mahkota. Tidak mengecewakan.

"Benar."

"Sulit dipercaya." dengus sang pangeran yang tidak habis pikir.

Permaisuri menyilangkan tangannya ke depan, mengamati putranya yang menunjukkan raut wajah datar, tak terbaca.

"Namjoon-ah..." panggil beliau dengan nada pelan.

Sang putra mahkota langsung menoleh, "Ya?"

"Kali ini, mohon dengarkan ibu, ya?" Permaisuri memandangnya teramat lembut, nyaris memelas.

"Untuk yang terakhir kalinya." tambah beliau, sebelum Namjoon memalingkan wajah, dan tersenyum kecut. Selalu begini.

Memangnya kapan ia pernah diberikan kebebasan untuk mengatur kehidupannya?

Ø

Kim Seokjin mengepalkan tangannya dengan wajah yang dibuat datar, sebisanya. Sang ayah yang kebingungan dengan kehadiran Seokjin yang hanya berdiri di depan pintu kamar, lantas menegurnya pelan.

"Nak?"

''Oh, Ayah sudah pulang?"

"Kenapa berdiri di sini?"

Seokjin gelagapan, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sebelum beranjak dari sana.

"Permaisuri bilang jika akan ada pertemuan keluarga dalam waktu dekat.."

Kaki Seokjin terhenti tepat di samping sang ayah. Lelaki itu tertegun, tanpa bisa menanggapi.

"Kau bisa membatalkannya sekarang jika masih ragu, Nak." Ayahnya menghela napas pelan.

"Aku masih belum bisa membiarkanmu melakukan ini semua."

Sang jenderal meraih bahu Seokjin, lantas menatap putranya lekat-lekat. Anak yang semula selalu mengikutinya kemana saja, senyum lebar dengan tawa riang yang tak pernah dilupakannya. Kini telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang menakjubkan. Rupa manisnya tak pernah berubah, lelaki ini masihlah Seokjin manisnya.

"Bisakah kau membatalkan semua ini Nak?" tanya beliau, sedikit emosional.

''Kenapa Ayah begitu bersikeras memintaku mundur? Apa yang sebenarnya yang Ayah khawatirkan?"

Lagi.

Seokjin ingin memastikan keinginannya sekali lagi, dan menguji seberapa jauh ayahnya akan menyembunyikan semua kebenaran ini.

Karena apapun alasan ayahnya, ia akan tetap maju. Demi ibunda yang telah melahirkannya.

''Kau telah mendengarnya, bukan?" tanya Kim Kijoon, menyelami mata lebar Seokjin yang tengah menatapnya.

Seokjin menghela napas pelan, dan mengangguk pelan. Dia sedikit menunduk untuk mengamati kakinya yang berbalut sepatu putih tanpa motif, sementara kepalanya tengah memikirkan skenario apa yang kiranya dapat membantunya untuk meyakinkan sang ayah.

"Kenapa Ayah enggan merebut tahta, sebelum Yang Mulia Raja saat ini memimpin? Apa yang sebenarnya Ayah ingin lakukan kepada mereka?" tanya Seokjin beruntun, tanpa jeda. Dia hanya ingin jawaban kenapa ibunya diperlakukan begitu kejam, dan berakhir mengenaskan di akhir hayatnya. Dan kenapa ayahnya begitu rela?

"Aku yang berhak untuk menduduki tahta saat ini, kan?" ujar Seokjin lirih, dan sang ayah memilih untuk memalingkan wajah.

''Ya." Helaan napas beliau terdengar berat.

"Tapi kamu adalah Omega. Itulah sebabnya mendiang kakekmu, atau Raja sebelumnya enggan memberikan kekuasaannya kepadamu.''

Ayahnya melepaskan bahu Seokjin, dan mengelus rambutnya yang tebal dengan teramat hati-hati.

"Tapi kenapa dulu aku harus berada di rumah pengasingan?" tanya Seokjin untuk yang kesekian kalinya, dengan nada pahit.

''Karena ibumu ingin kau tetap hidup Nak.''

Seokjin belum mengerti. Ayahnya selalu menjawabnya dengan singkat tanpa bisa ia pahami, dan justru malah menambah teka-teki.

Tapi Seokjin tak ingin mundur. Ia harus mendapatkan kebenarannya. Dia harus bisa menemukan keadilan untuk ibundanya yang telah tiada.

.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arrange Marriage (Extended) ON HOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang