PROLOG: In Daniel Kang's Eyes

326 23 24
                                    

"And that's the thing about illicit affairs, and clandestine meetings, and longing stares
It's born from just one single glance"

𝕭𝖆𝖉 𝕳𝖆𝖇𝖎𝖙𝖘

Daniel baru berusia 24 tahun ketika ia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria yang selalu ia anggap sebagai seorang sahabat, Ong Seongwu.

Tidak ada begitu banyak alasan dibalik tindakannya itu—tidak semua orang membutuhkan alasan untuk semua hal yang mereka lakukan. Bagi Daniel, alasan dibalik tindakannya itu hanyalah hidupnya yang selalu berubah, bergerak dalam suatu ketidak pastian, membuatnya merasa seolah Ia selalu berlari tanpa garis finish yang terlihat jelas di hadapan matanya.

Semua dalam kehidupannya selalu seperti itu. Fakta bahwa ia memulai kariernya sebagai seorang penyanyi dan penulis lagu ketika Ia baru berusia enam belas tahun, hanya untuk dihadapi dengan sebuah kenyataan bahwa agensinya hanya menganggapnya sebagai sebuah aset dan tidak lebih—suatu peristiwa yang akhirnya menyebabkan Daniel memutuskan untuk membuat agensinya sendiri pada usia 22 tahun terlepas dari fakta bahwa selama ini, ia tak pernah memiliki pengalaman apapun dalam hal berbisnis. Segala hal dalam hidupnya selalu berubah.

Segalanya, kecuali Ong Seongwu, sahabatnya yang akan selalu berada di sisinya pada setiap perubahan itu, menyemangatinya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja—semua akan baik-baik saja, karena kau Kang Daniel. Kau ditakdirkan untuk selalu berhasil dalam setiap langkahmu, atau setidaknya begitulah yang dikatakan Seongwu pada hari itu.

Dan begitu saja, Daniel tidak berpikir terlalu jauh lagi dan langsung memutuskan untuk menikahi sahabatnya, Ong Seongwu.

Tak ada debaran jantung yang berpacu dengan begitu cepatnya, sampai ia merasa bahwa seluruh dunia ini berjalan secara lambat kecuali dirinya dan pujaan hatinya sebagaimana dikisahkan dalam lagu-lagu yang Ia dengar.

Tak ada pandangan yang hanya berfokus pada kekasih hatinya sebagaimana diceritakan dalam film-film yang Ia tonton.

Tak ada rasa panas yang menjalari wajahnya, menimbulkan rona merah pada wajahnya kala mereka bersama, sebagaimana dikatakan dalam novel-novel yang Ia baca.

Tak ada segala perasaan itu. Hanya ada rasa nyaman kala pria itu ada di sisinya, sebagaimana biasanya—just one single glimpse of certainty in Daniel's ever-changing life, and somehow that was enough for him.

Tempatnya untuk beristirahat kala Ia lelah berlari menuju garis finish yang masih tak kunjung ia temukan.

Dan selama bertahun-tahun, baginya itu semua sudah cukup. Siapa yang butuh perasaan cinta yang menggebu-gebu jika pada akhirnya, semuanya akan berubah sama seperti segala hal lain dalam kehidupannya?

Daniel jelas sekali merasa nyaman dan bahagia-bahagia saja di kehidupannya yang saat ini, terbukti dari semua orang yang mengatakan betapa mereka iri pada Daniel yang memiliki kehidupan yang sempurna.

Setidaknya begitu, sampai suatu hari, Daniel bertemu dengan pria itu.

Pria yang dengan eloknya meliukkan tubuh mungilnya mengikuti irama musik yang diputar melalui pengeras suara dengan peluh yang membanjiri dahinya, menimbulkan efek kilau yang menambah keindahan pada paras rupawan itu kala tubuh itu berada di bawah pencahayaan panggung. Detil pakaiannya mengikuti seluruh pergerakannnya, tertarik ke atas kala pria itu menurunkan tubuhnya dengan cepat, dan turun ke bawah kala pria itu menggerakkan tubuhnya ke atas.

And for a split second, Daniel thought that he had seen an angel.

Dan ketika pria itu mengakhiri penampilannya, membalikkan tubuhnya, membuat pandangan mereka bertemu untuk pertama kalinya, Daniel bisa merasakan itu semua.

Betapa jantungnya berdebar dengan begitu kencangnya sampai ia merasa hanya dirinya dan pria manis yang berdiri di hadapannya itulah yang bergerak dengan kecepatan normal.

Betapa pandangannya hanya mampu terfokus pada segala fitur wajah pria di hadapannya itu—menyadari bahwa pria itu cantik sekaligus tampan di saat yang bersamaan, dengan kedua manik mata yang berpendar indah bagaikan langit bertabur bintang di malam hari, hidung mancung, bibir dengan warna bagaikan merah mawar yang baru saja merekah, dan rahang tegas yang justru menambahkan kesan seksi pada fitur wajahnya.

Dan betapa rasa panas menjalari wajahnya kala kedua belah bibir itu mengulas sebuah senyuman ke arahnya, membungkukkan tubuhnya pada Daniel yang kebetulan merupakan seniornya—Park Jihoon, begitulah Ia memperkenalkan namanya.

Suaranya berat, namun merdu, mengalun lembut bagaikan sebuah simfoni di telinga Daniel yang pada saat itu hanya bisa tersenyum dan tak bisa mengatakan apapun lagi selain namanya yang rasanya nyaris ia lupakan karena keindahan di depan matanya itu.

Sejak saat itu, Daniel memastikan bahwa Park Jihoon harus menandatangani sebuah kontrak eksklusif dengan agensinya, apapun yang terjadi.

Tentu saja, egonya mengatakan bahwa itu hanya merupakan instingnya sebagai seorang pebisnis—siapa yang mau melepaskan seorang performer yang hebat seperti Jihoon? Begitu hebatnya sampai ia bisa menarik seluruh perhatian Daniel hanya dalam beberapa menit saja?

Namun jauh di lubuk hatinya Daniel tahu bahwa Ia hanya ingin pria itu—pemandangan indah itu untuk selalu berada di dekatnya. Pemandangan indah yang menginspirasinya untuk menulis entah berapa banyak lagu hanya dari pertemuan pertama mereka yang berlangsung kurang dari satu jam.

Beberapa lagu yang hanya berakhir tersimpan dengan rapi di dalam sebuah folder di komputernya karena Ia takut bahwa lagu-lagu tersebut akan menghancurkan sedikit kepastian yang ia miliki dalam hidupnya saat ini.

Dan ketika pada akhirnya Jihoon mau menandatangani sebuah kontrak eksklusif bersama perusahaannya, ketika untuk pertama kalinya, tangan Jihoon menjabat tangannya—merasakan betapa pasnya tangan mungil itu pada tangannya, seolah memang tangan mereka diciptakan untuk menggenggam satu sama lain.

Ketika untuk pertama kalinya, Daniel mampu untuk menatap kedua manik mata itu dari jarak yang begitu dekat untuk waktu yang cukup lama—seolah memang itulah mengapa kedua matanya diciptakan, untuk menatap dan menganggumi keindahan kedua manik mata di hadapannya itu yang terasa bagaikan lautan lepas pada suatu malam yang kelam. Begitu menggoda, begitu mengundang hingga rasanya Daniel nyaris melompat terjun ke dalamnya meskipun ia tahu bahwa lautan itu mampu menenggelamkan kapal manapun.

Ketika untuk pertama kalinya, elemen api bulan Desember milik Daniel yang membara dengan begitu kencangnya kala elemen angin bulan Mei milik Jihoon menerpanya.

Pada saat itulah Daniel tahu bahwa cepat atau lambat, Park Jihoon akan menjadi sebuah kebiasaan buruk baginya.

To be continued...

INIII sengaja agak aku bedain dari penulisan-penulisanku sebelumnya! Biasanya, aku jarang (atau bahkan gak pernah?) bikin karakter yang tertariknya pure dari fisik kaya Daniel ini, jadi di sini aku sengaja banget nulis banyak deskripsi fisik dan pake kata-kata puitis biar makin kerasa...

JADI LANJUT GAK NIHH?? Kalo responnya bagus aku lanjut!!

Bad Habits // nielwinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang