7. Maaf, Kau Salah!

1 0 0
                                    

Karena malu dibantah dengan lantang oleh seorang gadis kecil, wanita paruh baya itu membalas "hmph... semua uang itu juga uang orang tuanya, apa yang perlu dibanggakan?"

Mendengar ucapan ibu itu, beberapa orang di sekitar berbisik. Sebagian orang yang lebih berumur setuju dengan ibu itu, sedangkan yang lebih mudah terutama gadis-gadis mencibir ibu itu dan membela Hendro. Hehe... pria tampan selalu benar!

"Maaf, kau salah! Sepupuku menggunakan uangnya sendiri. Jaman sekarang siapa yang masih menggunakan uang orang tua setelah tamat SMA? Anak tante masih?" Ara menutup mulutnya dan membelalakkan matanya, seolah terkejut telah kelepasan membuka aib ibu itu.

Mendengar Ara wajah ibu itu masam seolah memakan kunyit. Tentu saja wajahnya seperti itu karena anaknya yang telah menikah dan memiliki dua anak masih saja meminta uang dari suaminya dan seluruh keperluannya masih ditanggung oleh orang tuanya. Tak bisa berkata-kata, Ibu itu segera berlalu.

"Kau tidak perlu menanggapi semua ucapan orang." Hendro memperingatkan Ara. Meskipun wajahnya datar, Ara tahu sepupunya tidak setuju dengan sikapnya. Menanggapinya, Ara menjulurkan lidahnya dengan kesal. 'Pria bodoh ini, apa dia tidak tahu aku sedang membantunya menaikkan poin untuknya di depan Ara? Tidak tahu terima kasih. Aku tidak mau mengatakan apapun lagi, Hmph. Berjuang sendiri sana dasar EQ rendah!' batinnya.

Setelah puas berbelanja mereka memutuskan untuk menonton film. Sementara Hendro kembali ke mobil untuk meletakkan belanjaan mereka, Aya dan Ara mengantre untuk membeli tiket. "Kau pergi mengantre tiket aku membeli popcorn okay?" Usul Ara. Aya mengangguk. Film mereka akan segera dimulai jadi akan lebih mudah jika mengantre bersamaan. Jika menunggu membeli tiket dulu baru membeli popcorn maka mereka bisa ketinggalan alur cerita. Aya tidak tahu kalau sahabatnya ini sebenarnya hanya mencari alasan untuk meninggalkannya dengan Hendro agar mereka bisa berduaan. Setelah membeli dua minuman dan popcorn, Ara menyerahkannya pada Hendro yang baru saja kembali. "Nah, kalau Aya bertanya, bilang aku pergi ke toilet karena sakit perut dan menyuruh kalian masuk dulu. Nanti aku akan beralasan kalau aku pulang duluan karena sakit perut." Ara tersenyum licik sambil berkata, "Jangan lupa kalau aku ingin chanel limited edition yang baru akan dikeluarkan bulan depan, jika kau berniat membelikan Aya, kau juga boleh sekalian membelikan satu untukku."

"Thanks." Guman Hendro.

"Ghzz...lihat betapa lapang dadanya aku, kau tidak mau membantuku saat aku memohonmu berpura-pura jadi pacarku. Sekarang tanpa diminta pun aku membantumu."

"Aku tidak mau Aya salah paham"

"Bagus, awas kalau kau berani menyakiti Aya. Kupanggang hidup-hidup dirimu!" Ancam Ara sambil tersenyum. Ara benar-benar berharap kedua orang ini bisa bersama. Hendro merupakan sepupunya jadi dia tahu benar sifatnya. Baik hendro maupun Aya adalah orang yang baik. Mereka berdua terlihat sangat serasi bagaimana bisa mereka tidak bersama, mereka berdua sama-sama pintar dalam caranya masing-masing.

"Dimana Ara?" tanya Aya saat melihat popcorn dan minuman di tangan Hendro.

"Ah, dia sudah pulang duluan, 'memberikan waktu untuk kita berdua' begitu katanya" Hendro berkata dengan jujur. Dia tidak ingin berbohong pada Aya, sekalian ini bisa menjadi caranya untuk memberitahu Aya dia sedang mengenalnya.

"Oh" jawab Aya tersipu. Aya menundukkan kepalanya tidak berani menatap Hendro.

"Jika kau tidak suka, mm... maksudku, aku... sebenarnya Ara sedang membantuku untuk..."Hendro terbata-bata.

"Menjodohkan?" bantu Aya.

"ah... iya." Hendro menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. 'Apa maksudnya semua ini? Dia setuju dijodohkan denganku oleh Ara atau..." sebelum Hendro sempat berpikir lebih jauh Aya berbisik, "Sudah mulai."

"hah?" Hendro mengerutkan dahinya bingung.

"Film." Bisik Aya lagi.

"Oh, ayo masuk?" pada akhir kalimatnya, ajakan Hendro berubah menjadi pertanyaan ketika dia sadar kalau dia masih mengerti apa Aya keberatan atau tidak dengan maksudnya mendekati Aya.

Aya tidak menjawab melainkan berjalan kearah studio. Melihat ini Hendro berasumsi gadis itu secara tidak langsung telah menyetujui pendekatannya. Dengan senyum menawan mengembang di wajahnya, Hendro mengikuti Aya menuju arah studio. Sepanjang film diputar, Hendro sama sekali tidak bisa konsentrasi, semua perhatiannya ada pada Aya. Walaupun dia tidak melihat gadis itu namun setiap gerakan Aya dapat dirasakannya. Bagaimana gadis itu tersenyum, tertawa, atau saat dia diam-diam menghapus air matanya ketika membaca surat dari peran pria pendamping yang sudah meninggal.

Saat mereka keluar dari bioskop, Aya bertanya bagaimana pendapat Hendro tentang film yang baru saja mereka tonton. Hendro menjawab lumayan. Aya bertanya apakah menurutnya pemeran pertama wanita lebih cocok bersama dengan pemeran pria utama atau pendamping, jika pria itu tidak meninggal. Hendro menjawab dengan asal, pemeran pria pertama. Mendengar itu Aya terlihat muram, matanya yang sejak tadi berbinar tiba-tiba seolah diwarnai kesedihan yang tidak Hendro mengerti.

"Kenapa?"

"Apakah semua heroin harus bersama dengan hero?" tanyanya. Debelum Hendro sempat berkomentar, Aya menjawab sendiri pertanyaannya. "Ya, memang sudah seharusnya begitu bukan? Dalam sebuah film selalu menceritakan tentang hero dan heroin, jika hero tidak bersama dengan heroin maka wanita itu bukan heroin lagi melainkan adalah pemeran pendamping." Lalu gadis itu kembali ceria saat itu juga seolah kesedihannya yang tadi sama sekali tidak pernah ada.

Saat mereka sampai di bawah gedung apartemen Aya, Hendro menghentikan mobilnya. "Makasih" ucap Aya sambil membuka sabuk pengamannya. "En." Guman Hendro. "Aya..." Hendro melanjutkan sebelum Aya sempat turun. "Hari ini...bukan terakhir kali kita nonton bersama kan?"

"En..." angguk Aya tersipu.

"Oh..." Hendro juga menganggukkan kepalanya menyengir dengan bodoh.

"Bye" Aya segera berlari memasuki apartemennya.

CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang