11. Mereka Berdua Buah Asam

1 0 0
                                    

"Bagus, dengan begitu aku bisa mengikuti ekormu dan menanam beberapa saham di perusahaanmu, dengan begitu aku juga bisa berbelanja segila dirimu." Ara memutuskan dengan ambisi yang tak kalah dari sahabatnya.

Tiba-tiba telepon genggam Aya berbunyi. Aya mengeluarkan teleponnya dan melihat pesan dari Hendro. 'Kau dimana?'

'Sedang di TBX bersama Ara' balas Aya.

'Kalau sudah selesai chat aku, kujemput.'

Aya ingin membalas tidak usah, namun setelah berpikir sesaat dia membalas 'Kami sudah selesai. Kami tunggu di lobi depan.'

"Wow, kalian sudah di fase jemput-menjemput dengan santai seperti ini? Kalau aku tidak tahu aku akan mengira kalian sudah pacaran lama." Goda Ara yang sejak tadi membaca pesan Aya.

"Hush, jangan asal bicara." Aya tersenyum malu.

Mereka singgah disebuah kafe membeli minuman sebelum menuju lobi. Mengingat Hendro akan menjemput mereka, Aya sekalian membelikan minuman untuk pria itu. 'Kau mau yang mana?' ketik Aya setelah mengirimkan foto berisi menu minuman.

'Latte Macchiato'

Saat mobil Hendro berhenti di depan lobi. Aya dan Ara masuk ke dalam mobil, karena belanjaan mereka terlalu banyak, salah satu staff menawarkan untuk mengirimkan belanjaan Aya ke alamatnya jadi mereka tidak punya belanjaan yang perlu dimasukkan ke bagasi. Aya menaruh macchiato Hendro pada rak di jok samping tempat duduknya. Sebenarnya dia canggung duduk di kursi penumpang depan namun dia juga tidak enak kalau dirinya dan Ara duduk di belakang membiarkan Hendro sendiri di depan mengemudi. Akhirnya Aya mau tidak mau duduk di samping Hendro setelah Ara mendorongnya dan membukakan pintu depan.

"Ini punyamu."

"Makasih" Tutur Hendro pendek.

"Kak Hen, kau harus bekerja keras. Hari ini Aya telah membuka mataku, kau tidak bisa membiayainya dengan pendapatanmu sekarang. Kau harus setidaknya masuk ke daftar lima puluh orang terkaya di negeri ini untuk membiayainya." Ara menginformasikan dengan semangat.

"Ara!" Desis Aya tertahan.

"Benarkah?" Hendro menaikkan alisnya melirik Aya dengan jenaka sebelum melanjutkan, "Aku akan berusaha."

Siapa yang perlu dibiayai! Rutuk Aya dalam hati. Walau begitu wajahnya memerah dengan cepat. 'Ara kadang membuatnya kehabisan kata-kata, juga Hendro mengapa harus menjawab ocehan sepupunya itu?! Inikah yang disebut buah tidak jatuh jauh dari pohonnya? Mereka berdua buah asam!' Omel Aya dalam hati.

Aya sedang duduk di ruang tamu mengeluarkan belanjaannya bersama Bibi Mun. Bibi Mun dengan sigap mengumpulkan semua baju baru untuk dicuci. Aya menyerahkan sebuah tas pada Bibi Mun."Ini untuk Bibi."

"Eh, apa ini Non? Aduh ga perlu repot-repot Non." Bibi Mun sedikit terharu setelah melihat tas yang diberikan oleh
Aya. Meskipun dia tidak pernah memiliki tas mahal, Bibi Mun tahu kalau merek ini adalah merek mahal dan harganya sama dengan dua bulan gajinya.

"Bi, cukup panggil saya Aya, okay?" Aya menawarkan senyum ramah pada bibi Mun.

Sebelum Bibi Mun sempat menjawab, telepon genggam Aya bordering. Aya melihat pesan WA dari Hendro. 'Besok aku jemput ke kampus.' Aya tertegun sebentar, jemput? Sebelumnya Aya tidak berpikir banyak ketika Ara ingin menjodohkan dia dengan Hendro. Namun setelah mengenal Hendro dia semakin ragu apakah benar dia ingin bersama dengan Hendro atau hanya karena dia ingin membalas dendamnya? Jika dia hanya ingin bersama dengan Hendro untuk balas dendam, hal ini akan sangat tidak adil untuk Hendro. Ada banyak cara yang bisa digunakannya untuk balas dendam, dia tidak perlu menyakiti orang lain demi membalas dendamnya.

"Bi Mun, kalau seseorang mendekati Bibi, orang itu baik dan sangat perhatian pada Bibi. Namun alasan Bibi mendekatinya sejak awal adalah demi balas dendam pada musuh Bibi. Maksudku, apakah..." Aya tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya dan keraguannya pada Bi Mun.

"Non Aya suka padanya?" Tanya Bi Mun dengan penuh pengertian.

"Aku tidak tahu, maksudku dia baik dan perhatian padaku, disisi lain aku mendekatinya karena ingin balas dendam pada orang. Bukankah aku akan menyakitinya jika dia tahu." Ini pertama kali Aya blak-blakan menyampaikan isi hatinya pada seseorang setelah Ibunya meninggal. Aya selalu hati-hati dalam berbicara dengan orang lain baik orang itu lawan maupun kawan. Sejak ayahnya membunuh ibunya, Aya mendapat pelajaran yang sangat berharga. Jangan pernah percaya pada siapapun. Itu sebabnya bahkan terhadap Ara dia tidak pernah seutuhnya terbuka tentang apa yang sedang dipikirkannya. Bibi Mun memberikan Aya intensi yang sama dengan yang dirasakannya dari Ibunya. Mungkin karena itulah dia dapat membuka diri pada Bi Mun.

"Yang pertama harus Aya lakukan adalah memastikan perasaan Aya dulu, jika Aya memang menyukainya, beritahu Nak Hendro. Beritahu dia kenapa Non Aya mendekatinya pada awalnya. Biarkan dia memilih. Aya mendekatinya dengan tujuan tertentu, itu adalah pilihan Aya. Namun Nak Hendro juga memiliki hak untuk tahu kebenarannya dan menentukan pilihannya."

"Bagaimana kalau dia marah?"

"Marah atau tidak, hubungan yang diawali dengan kebohongan tidak akan berakhir baik. Jika dia memang tulus suka padamu, dia tidak akan meninggalkanmu semarah apapun dia. Jika dia bisa meninggalkanmu karena masalah kecil seperti ini, Aya mau berpacaran dengan pria seperti itu?" Tanya Bi Mun sambil tersenyum.

Aya menjawab dalam hatinya,'tidak, aku tidak mau.'

Saat Aya turun mobil Hendro sudah terparkir di bawah apartemennya. Aya masuk ke dalam mobil disambut oleh Hendro dengan senyuman hangat yang membuat Aya tersipu. Hendro meyerahkan segelas teh melati pada Aya.

"Thanks." Guman Aya. "Tunggu." Seru Aya saat melihat Hendro hendak memulai mesin mobilnya. "Ada yang ingin aku bicarakan."

"Hm?" Guman Hendro sambil menoleh menatap Aya yang gugup. Matanya memancarkan kehangatan.

"Aku ingin kau tahu kenapa aku mendekatimu." Aya tidak berani mengangkat kepalanya.

"Bukannya aku yang mendekatimu?" Hendro mengangkat sebelah alisnya, heran.

"Aku meminta Ara mengenalkanku padamu. Aku ingin menjauhkanmu dari Nana." Suara Aya semakin lama semakin hilang karena rasa malu dan bersalahnya.

"Hm... kau yakin kau yang meminta Ara, bukan sebaliknya?"

CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang